Tiga Alasan Kuat untuk Reshuffle Kabinet
A
A
A
JAKARTA - Isu perombakan (reshuffle) kabinet terus bergaung di tengah publik. Meski sinyal reshuffle menguat, namun pihak Istana Negara belum juga memberi kepastian kapan reshuffle akan direalisasikan.
Pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan, setidaknya ada tiga hal yang menjadikan reshuffle kabinet mendesak untuk dilakukan. Pertama faktor urgenitas. Menurutnya, pencapaian pemerintah di sektor selain infrastruktur berjalan lamban.
Sementara, kerja cepat adalah jargon yang digaungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama ini. "Kan ini ada masalah di kabinet yang tidak bisa aplikasikan keinginan presiden," kata Ray saat dihuhungi, Senin (25/7/2016).
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) ini menyebutkan, kedua faktor strategis. Pemerintah tengah dihadapkan pada kondisi ekonomi yang buruk. Sementara kondisi tertentu, menteri baru bekerja cepat setelah mendapat isyarat presiden.
"Padahal presiden tidak suka menterinya tunggu-tunggu isyarat, baru bekerja," ucap Ray.
Ketiga lanjut Ray, yakni faktor politik. Dengan bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar, secara otomatis presiden harus melakukan akomodasi politik.
"Ada partai baru, Golkar dan PAN. Sodorkan nama atau tidak, tentu presiden punya rasa dan terikat. Tentu menarik satu-dua orang jadi menteri untuk kepentingan konsolidasi," tandas Ray.
Pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan, setidaknya ada tiga hal yang menjadikan reshuffle kabinet mendesak untuk dilakukan. Pertama faktor urgenitas. Menurutnya, pencapaian pemerintah di sektor selain infrastruktur berjalan lamban.
Sementara, kerja cepat adalah jargon yang digaungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama ini. "Kan ini ada masalah di kabinet yang tidak bisa aplikasikan keinginan presiden," kata Ray saat dihuhungi, Senin (25/7/2016).
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) ini menyebutkan, kedua faktor strategis. Pemerintah tengah dihadapkan pada kondisi ekonomi yang buruk. Sementara kondisi tertentu, menteri baru bekerja cepat setelah mendapat isyarat presiden.
"Padahal presiden tidak suka menterinya tunggu-tunggu isyarat, baru bekerja," ucap Ray.
Ketiga lanjut Ray, yakni faktor politik. Dengan bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar, secara otomatis presiden harus melakukan akomodasi politik.
"Ada partai baru, Golkar dan PAN. Sodorkan nama atau tidak, tentu presiden punya rasa dan terikat. Tentu menarik satu-dua orang jadi menteri untuk kepentingan konsolidasi," tandas Ray.
(maf)