Jangan Sepenuhnya Salahkan Dokter dan RS Terkait Vaksin Palsu
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengimbau pemerintah jangan langsung menyalahkan dokter dan rumah sakit (rs) terkait penyebaran vaksin palsu. Karena menurut Fahri, pihak RS dan para dokter juga merupakan korban.
"Mereka juga korban karena pemerintah tidak mengawasi dengan cermat peredaran vaksin palsu. Mereka itu konsumen juga, karena disuplai melalui jalur resmi," kata Fahri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (18/7/2016).
Dia mengatakan, pemerintah justru perlu melakukan investigasi agar mengetahui proses masuknya vaksin palsu itu ke dalam sistem distribusi resmi yang kabarnya dikuasai oleh hanya satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Setelah diimpor, diproduksi lalu diverifikasi oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Kemudian didistribusikan melalui ketentuan Kemenkes (Kementerian Kesehatan) dan jajarannya (dinkes). Menuntut rumah sakit bukan pekerjaan mudah," ucap Fahri.
"Kecuali terbukti bahwa secara institusi rumah sakit itu memang terlibat sebagai bagian dari jaringan pengedaran vaksin palsu. Jangan korbankan perawat, dokter, klinik dan rumah sakit, karena dalam jalur peredaran obat atau vaksin, keempat unsur ini adalah user," jelasnya.
Fahri menyampaikan, sejauh ini belum ada prosedur standar pengujian asli atau tidaknya obat vaksin yang dapat dilakukan oleh user. Menurutnya, dalam peredaran vaksin palsu, produsen, distributor dan penjual yang seharusnya ditelusuri dan diusut.
Karena itu dia mengimbau kepada pemerintah agar menghargai proses hukum. Sehingga jangan ada kesan main hakim sendiri. Keputusan pemerintah mengumumkan secara luas nama-nama pengguna vaksin palsu di media massa, patut disayangkan.
"Masyarakat yang panik dan tidak paham harus bertindak apa, akhirnya main hakim sendiri. Beberapa dokter dan rumah sakit mendapat ancaman fisik," jelasnya.
"Mereka juga korban karena pemerintah tidak mengawasi dengan cermat peredaran vaksin palsu. Mereka itu konsumen juga, karena disuplai melalui jalur resmi," kata Fahri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (18/7/2016).
Dia mengatakan, pemerintah justru perlu melakukan investigasi agar mengetahui proses masuknya vaksin palsu itu ke dalam sistem distribusi resmi yang kabarnya dikuasai oleh hanya satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Setelah diimpor, diproduksi lalu diverifikasi oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Kemudian didistribusikan melalui ketentuan Kemenkes (Kementerian Kesehatan) dan jajarannya (dinkes). Menuntut rumah sakit bukan pekerjaan mudah," ucap Fahri.
"Kecuali terbukti bahwa secara institusi rumah sakit itu memang terlibat sebagai bagian dari jaringan pengedaran vaksin palsu. Jangan korbankan perawat, dokter, klinik dan rumah sakit, karena dalam jalur peredaran obat atau vaksin, keempat unsur ini adalah user," jelasnya.
Fahri menyampaikan, sejauh ini belum ada prosedur standar pengujian asli atau tidaknya obat vaksin yang dapat dilakukan oleh user. Menurutnya, dalam peredaran vaksin palsu, produsen, distributor dan penjual yang seharusnya ditelusuri dan diusut.
Karena itu dia mengimbau kepada pemerintah agar menghargai proses hukum. Sehingga jangan ada kesan main hakim sendiri. Keputusan pemerintah mengumumkan secara luas nama-nama pengguna vaksin palsu di media massa, patut disayangkan.
"Masyarakat yang panik dan tidak paham harus bertindak apa, akhirnya main hakim sendiri. Beberapa dokter dan rumah sakit mendapat ancaman fisik," jelasnya.
(maf)