Mendukung Calon Independen

Minggu, 26 Juni 2016 - 13:19 WIB
Mendukung Calon Independen
Mendukung Calon Independen
A A A
KERAMAIAN yang ditimbulkan oleh para pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang ingin mendukung Ahok maju menjadi calon gubernur independen (atau perseorangan dalam bahasa resmi Komisi Pemilihan Umum/KPU) sangat luar biasa.

Terlepas dari berbagai perdebatan politik mengenai motif pendirian Teman Ahok yang ditengarai didukung oleh konsultan politik Ahok yang dengan sendirinya menepiskan landasan apolitis yang digembar-gemborkan pencapaian mereka yang mampu mengumpulkan satu juta lebih KTP untuk mendukung Ahok-Heru, bukan hal kecil.

Satu juta lebih KTP tersebut adalah pernyataan kekecewaan terhadap partai politik dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Semangat itu dititipkan pada Ahok. Namun, sepertinya Ahok yang diamanatkan pernyataan kekecewaan itu justru tidak berdiri di jalur yang sama dengan yang dijanjikan. Ahok rupanya tergoda untuk tetap merangkul parpol.

Kita perlu kembali ke semangat munculnya peluang untuk pengajuan calon independen dalam pilkada di Indonesia. Peluang ini muncul dilatarbelakangi perdebatan yang panjang mengenai perlu tidaknya calon independen dalam UU Pilkada. Sudah barang tentu kita pasti menduga bahwa partai politik di DPR akan sengit menghadapi ide diperbolehkannya calon independen bertarung dalam pilkada.

Alasannya apalagi kalau bukan peran parpol akan berkurang dalam pilkada. Minimal dengan adanya calon independen, masyarakat memiliki pilihan lain di samping pilihan partai yang dalam banyak studi sering kali tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan rakyat banyak.

Akhirnya dengan perdebatan panjang, calon independen diperbolehkan ikut dalam pilkada. Syaratnya pun dibuat cukup berat. Selain agar tidak ada pihak yang main-main dalam mengajukan diri sebagai calon independen, juga untuk memperberat langkah calon independen sendiri, karena parpol tentu tak ingin memberikan jalan tol bagi calon independen.

Lalu, dengan sejarah terbukanya kesempatan untuk calon independen yang seperti itu, bagaimana layaknya kita menilai langkah Ahok yang sudah sibuk merangkul parpol, sekalipun dengan bahasa komunikasi politik bahwa parpol yang mendekat dan bergabung?

Ahok mungkin bisa berkelit ke publik bahwa dia menunggu terlalu lama pencalonan parpol dalam Pilkada DKI Jakarta. Namun, dia seharusnya tak bisa berkelit dari semangat calon independen yang merupakan pemberontakan terhadap parpol. Alasan bahwa parpol dibutuhkan untuk memudahkan kemenangan adalah sebuah logika yang dipaksakan, karena bagaimanapun Ahok sudah menggadaikan independensi yang dari awal diusungnya.

Bahkan, Ahok tak malu untuk berkata "Gua tanya nih gimana kita masih mau pakai tiket sulit atau mau tiket yang mudah. Prinsipnya tiga partai ini sama mau dukung mau ngusung sama." Padahal sebelumnya dia berkata tidak ingin mengkhianati kerja Teman Ahok, sekian banyak warga Jakarta yang sudah mempercayakan KTP-nya untuk Ahok.

Lalu di mana letaknya malu para petinggi parpol yang salah satu tujuan utamanya adalah kaderisasi melahirkan kader-kader terbaik, justru memohon-mohon untuk bergabung dengan calon independen yang bisa kita katakan tidak percaya dengan sistem yang dijalankan parpol. Kalau calon independen dalam hal ini Ahok percaya dengan parpol, tentu dia akan maju lewat parpol.

Mungkin kita bisa menjadikan omongan mantan Presiden Uni Soviet Nikita Khruschev. Dia mengatakan bahwa seorang politisi akan menjanjikan membangun jembatan bahkan ketika tidak ada sungai sekalipun. Dari sini bisa kita refleksikan bagaimana akhirnya Ahok bertingkah seperti layaknya politisi pada umumnya. Dia menjanjikan akan maju sebagai calon independen dan dia sendiri yang tampaknya akan mengingkarinya.

Lalu, bagaimana dengan satu juta lebih orang yang disebut-sebut oleh Teman Ahok sebagai pendukung Ahok-Heru untuk maju sebagai pasangan independen dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta 2017? Hanya satu kata: sabar.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0792 seconds (0.1#10.140)