Perda Anti Investasi
A
A
A
Sebanyak 3.143 peraturan daerah (perda) telah dicabut. Pemerintah pusat beralasan bahwa penghapusan ribuan perda bermasalah karena menjadi penghambat pertumbuhan perekonomian dan bertentangan dengan peraturan yang dibuat pemerintah pusat. Dalam publikasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ditegaskan bahwa perda yang dibatalkan itu terdiri atas empat kategori.
Mulai perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, perda yang memperpanjang jalur birokrasi, perda yang hambat perizinan investasi, menghambat kemudahan usaha, hingga perda yang bertentangan dengan undang-undang (UU). Jadi pembatalan perda tersebut, kelakar Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, tidak terkait perda di Serang yang menyangkut razia warteg pada bulan puasa.
Kebijakan menertibkan perda bermasalah memang tidak bisa ditunda, sebagaimana ditegaskan Mendagri Tjahjo Kumolo, munculnya persoalan yang terjadi di daerah karena berbelit-belitnya aturan. Namun, penilaian politikus dari PDI Perjuangan itu dikritisi Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas.
Seharusnya, pemerintah tidak hanya fokus pada pembatalan perda yang dinilai bermasalah terkait investasi. Pasalnya, seperti diungkapkan Supratman, perda bermasalah yang menyangkut investasi sebagian besar terkait dengan pungutan uang. Dengan pembatalan perda tersebut, pendapatan daerah yang seharusnya diperuntukkan pembangunan infrastruktur berkurang.
Apa boleh buat pedang Kemendagri yang dipakai membabat perda yang dinilai bermasalah pemerintah pusat sudah diayunkan. Mengantisipasi munculnya persoalan baru di balik pencabutan perda, terutama terkait investasi di daerah, Supratman sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah agar dibarengi dengan peningkatan pendanaan daerah, khususnya terhadap daerah dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur yang mendesak.
Namun, Presiden Joko Widodo melihat sebaliknya, justru perda bermasalah itu harus dihapus karena dinilai menghambat masuknya investasi dan arus perekonomian di daerah. Mantan gubernur DKI Jakarta itu balik menantang pemerintah daerah agar paket-paket kebijakan yang gencar diterbitkan pemerintah pusat belakangan ini segera ditindaklanjuti pemerintah daerah.
Mengapa begitu banyak perda dinilai bermasalah oleh pemerintah pusat? Bagi Robert Endi Jaweng, peneliti dari Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, disebabkan dua hal. Pertama, terkait proses pembentukan perda. Pembentukan perda bergantung pada kapasitas pembuat aturan. Bila kepala daerah hanya fokus pada uang pungutan, arah perda hanya mengatur bagaimana investasi mendatangkan pungutan untuk kepentingan daerah. Kedua, manajemen penanganan perda di tingkat pusat kurang perhatian.
Seharusnya pemerintah pusat memfasilitasi pemerintah daerah, misalnya terkait penggunaan aplikasi berbasis informasi dalam pembentukan perda. Terlepas dari dua persoalan tersebut, kelemahan pemerintah daerah paling mendasar kurang kolaborasi antarlembaga dan lemah dalam melibatkan partisipasi publik.
Sebaliknya, Supratman justru meminta pemerintah pusat harus mengoreksi diri sebelum meluruskan atau mencabut perda yang dinilai bermasalah. Pemerintah pusat diminta mengoreksi aturan teknis pada tataran kementerian/lembaga sebelum merapikan perda yang dianggap menghambat pembangunan. Mengapa? Karena dasar pembuatan perda mengacu pada peraturan pemerintah (PP) atau peraturan menteri (permen).
Jadi, pemerintah pusat juga memberi kontribusi atas terbitnya perda bermasalah sehingga tidak adil jika hanya menyalahkan pemerintah daerah. Supratman menunjukkan sekitar 98 UU yang berpotensi bermasalah dengan aturan teknis, baik PP maupun permen. Dicontohkan, UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) melarang ekspor material, tetapi dalam permen ekspor tersebut diperbolehkan.
Berbicara dari sisi ideal memang seharusnya bagaimana membangun sinergi antara pusat dan daerah. Kunci untuk memenangkan persaingan terutama dalam
kerangka kerja sama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai diberlakukan sejak akhir tahun lalu, adalah sinergi dan koordinasi dari berbagai aspek terutama hubungan pusat dan daerah.
Untuk mewujudkan sinergi dan koordinasi yang baik di balik puluhan ribu aturan atau regulasi memang sebuah tantangan tersendiri. Karena itu, bisa dipahami apabila Presiden Jokowi meminta tak ada lagi aturan yang ditambah terutama yang berpotensi bermasalah, sehingga pemerintah lebih leluasa melaksanakan aktivitas pembangunan.
Mulai perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, perda yang memperpanjang jalur birokrasi, perda yang hambat perizinan investasi, menghambat kemudahan usaha, hingga perda yang bertentangan dengan undang-undang (UU). Jadi pembatalan perda tersebut, kelakar Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, tidak terkait perda di Serang yang menyangkut razia warteg pada bulan puasa.
Kebijakan menertibkan perda bermasalah memang tidak bisa ditunda, sebagaimana ditegaskan Mendagri Tjahjo Kumolo, munculnya persoalan yang terjadi di daerah karena berbelit-belitnya aturan. Namun, penilaian politikus dari PDI Perjuangan itu dikritisi Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas.
Seharusnya, pemerintah tidak hanya fokus pada pembatalan perda yang dinilai bermasalah terkait investasi. Pasalnya, seperti diungkapkan Supratman, perda bermasalah yang menyangkut investasi sebagian besar terkait dengan pungutan uang. Dengan pembatalan perda tersebut, pendapatan daerah yang seharusnya diperuntukkan pembangunan infrastruktur berkurang.
Apa boleh buat pedang Kemendagri yang dipakai membabat perda yang dinilai bermasalah pemerintah pusat sudah diayunkan. Mengantisipasi munculnya persoalan baru di balik pencabutan perda, terutama terkait investasi di daerah, Supratman sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah agar dibarengi dengan peningkatan pendanaan daerah, khususnya terhadap daerah dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur yang mendesak.
Namun, Presiden Joko Widodo melihat sebaliknya, justru perda bermasalah itu harus dihapus karena dinilai menghambat masuknya investasi dan arus perekonomian di daerah. Mantan gubernur DKI Jakarta itu balik menantang pemerintah daerah agar paket-paket kebijakan yang gencar diterbitkan pemerintah pusat belakangan ini segera ditindaklanjuti pemerintah daerah.
Mengapa begitu banyak perda dinilai bermasalah oleh pemerintah pusat? Bagi Robert Endi Jaweng, peneliti dari Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, disebabkan dua hal. Pertama, terkait proses pembentukan perda. Pembentukan perda bergantung pada kapasitas pembuat aturan. Bila kepala daerah hanya fokus pada uang pungutan, arah perda hanya mengatur bagaimana investasi mendatangkan pungutan untuk kepentingan daerah. Kedua, manajemen penanganan perda di tingkat pusat kurang perhatian.
Seharusnya pemerintah pusat memfasilitasi pemerintah daerah, misalnya terkait penggunaan aplikasi berbasis informasi dalam pembentukan perda. Terlepas dari dua persoalan tersebut, kelemahan pemerintah daerah paling mendasar kurang kolaborasi antarlembaga dan lemah dalam melibatkan partisipasi publik.
Sebaliknya, Supratman justru meminta pemerintah pusat harus mengoreksi diri sebelum meluruskan atau mencabut perda yang dinilai bermasalah. Pemerintah pusat diminta mengoreksi aturan teknis pada tataran kementerian/lembaga sebelum merapikan perda yang dianggap menghambat pembangunan. Mengapa? Karena dasar pembuatan perda mengacu pada peraturan pemerintah (PP) atau peraturan menteri (permen).
Jadi, pemerintah pusat juga memberi kontribusi atas terbitnya perda bermasalah sehingga tidak adil jika hanya menyalahkan pemerintah daerah. Supratman menunjukkan sekitar 98 UU yang berpotensi bermasalah dengan aturan teknis, baik PP maupun permen. Dicontohkan, UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) melarang ekspor material, tetapi dalam permen ekspor tersebut diperbolehkan.
Berbicara dari sisi ideal memang seharusnya bagaimana membangun sinergi antara pusat dan daerah. Kunci untuk memenangkan persaingan terutama dalam
kerangka kerja sama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai diberlakukan sejak akhir tahun lalu, adalah sinergi dan koordinasi dari berbagai aspek terutama hubungan pusat dan daerah.
Untuk mewujudkan sinergi dan koordinasi yang baik di balik puluhan ribu aturan atau regulasi memang sebuah tantangan tersendiri. Karena itu, bisa dipahami apabila Presiden Jokowi meminta tak ada lagi aturan yang ditambah terutama yang berpotensi bermasalah, sehingga pemerintah lebih leluasa melaksanakan aktivitas pembangunan.
(kur)