Hakim Agung Gayus Lumbun Sebut Dunia Peradilan Alami Turbulensi
A
A
A
JAKARTA - Hakim Agung Gayus Lumbun buka-bukaan soal kebobrokan dunia peradilan di Indonesia yang sudah memprihatinkan. Ibarat sebuah pesawat, dunia peradilan kita mengalami turbulensi. Virus-virus berbahaya sudah menyerang kokpit, di mana pilot mengendalikan laju pesawat terbang.
"Karut marut sekarang ini sudah disebut turbulensi peradilan, atau goncangan peradilan. Kalau di penerbangan sudah masuk ke kocpit. Sangat berbahaya," ujar Gayus saat dihubungi, Jumat (10/6/2016).
Kondisi demikian, kata Gayus, diperparah dengan dicekalnya Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terlebih, Nurhadi juga sudah dua kali tidak hadir dalam rapat dengar pendapat dengan DPR. Kondisi demikian, lanjut Lumbun, membuat MA lumpuh.
"Saat ini Sekretaris MA sudah dicekal dan digeledah rumah dan kantornya. Artinya dia orang yang paling berkuasa di bidang SDM angaran dan administrasi. Aset sudah lumpuh," kata Lumbun.
Nurhadi memang telah dilarang pergi ke luar negeri selama enam bulan ke depan, karena KPK masih membutuhkan keterangannya dalam dugaan suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Panitera PN Jakpus, Edy Nasution dan seorang swasta bernama Dody Aryanto Supeno sebagai tersangka.
"Karut marut sekarang ini sudah disebut turbulensi peradilan, atau goncangan peradilan. Kalau di penerbangan sudah masuk ke kocpit. Sangat berbahaya," ujar Gayus saat dihubungi, Jumat (10/6/2016).
Kondisi demikian, kata Gayus, diperparah dengan dicekalnya Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terlebih, Nurhadi juga sudah dua kali tidak hadir dalam rapat dengar pendapat dengan DPR. Kondisi demikian, lanjut Lumbun, membuat MA lumpuh.
"Saat ini Sekretaris MA sudah dicekal dan digeledah rumah dan kantornya. Artinya dia orang yang paling berkuasa di bidang SDM angaran dan administrasi. Aset sudah lumpuh," kata Lumbun.
Nurhadi memang telah dilarang pergi ke luar negeri selama enam bulan ke depan, karena KPK masih membutuhkan keterangannya dalam dugaan suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Panitera PN Jakpus, Edy Nasution dan seorang swasta bernama Dody Aryanto Supeno sebagai tersangka.
(kri)