Prakosa: Sistem Pertanggungjawaban Kunker Rendahkan Martabat DPR

Jum'at, 13 Mei 2016 - 21:09 WIB
Prakosa: Sistem Pertanggungjawaban...
Prakosa: Sistem Pertanggungjawaban Kunker Rendahkan Martabat DPR
A A A
JAKARTA - DPR kembali dilanda isu tak sedap terkait temuan sementara ‎Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa ada kunjungan kerja (Kunker) fiktif anggota dewan. Kunker fiktif itu diduga sampai senilai Rp945 miliar.

Menjawab tudingan itu, ‎Anggota DPR dari Fraksi PDIP M Prakosa menyatakan, bahwa sebenarnya tudingan fiktif itu kurang berdasar. Sebab, dugaan fiktif muncul karena sistem pertanggungjawaban yang dibuat bagi anggota dewan adalah lumpsum.

Padahal, kegiatan politik seperti kunjungan kerja tidak bisa diatur-atur orang lain. Yang menentukan adalah politisi itu sendiri, apakah masih ingin terpilih atau tidak.

"Yang memutuskan dia hadir atau tidak dalam suatu rapat atau kunjungan, ya politisi itu sendiri. Oleh karena itu pertanggungjawaban dibuat lumpsum. Lumpsum pun sebenarnya tidak pas," ujara Prakosa melalui rilis yang diterima Sindonews, Jumat (13/5/2016).

Menurutnya, sistem yang pas adalah seperti yang dipraktikkan di negara-negara dengan pemilihan langsung. Yakni politikus mendapat suatu jumlah biaya tertentu dalam satu tahun untuk kebutuhan bertemu konstituen dan kunjungan kerja.

Dari situ, apakah si anggota memakai staf atau tidak untuk daerah pemilihan masing-masing, akan menjadi keputusan politiknya. "Sementara kalau DPR kita sekarang ini sebenarnya merendahkan martabatnya sendiri. Karena kalau kita akan kunjungan dapil, harus minta uang ke Sekjen SPR. Setelah Sekjen oke, baru kita bisa ke dapil," kata dia.

Dengan praktik demikian, anggota dewan sepertinya berada di bawah Sekjen DPR, paling tidak dalam hak keuangan. "Sementara Anggota parlemen di negara-negara lain pasti punya hak keuangan, tidak seperti di Indonesia yang diperlakukan seperti pegawai. Masa akan melakukan kegiatan harus minta Sekjen? Dan setelah selesai kegiatan harus membuat laporan pertanggungjawaban?"

"Sepertinya Sekjen seakan seperti atasan yang memutuskan kita untuk dapat berkegiatan. Sekjen DPR itu kan bagian dari eksekutif atau pemerintah. Jadinya, kalau mau melakukan kegiatan politik adalah harus izin pemerintah atau eksekutif," jelasnya lagi.

Diketahui, adanya potensi kerugian negara dalam kunker perseorangan anggota DPR disampaikan pertama kali oleh Wakil Ketua Fraksi PDIP di DPR Hendrawan Supratikno. BPK menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp945.465.000.000 dalam kunjungan kerja perseorangan yang dilakukan oleh anggota DPR RI. Laporan ini sudah diterima oleh Sekretariat Jenderal DPR dan diteruskan ke 10 fraksi di DPR.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2610 seconds (0.1#10.140)