TNI dan Penggusuran

Jum'at, 13 Mei 2016 - 13:29 WIB
TNI dan Penggusuran
TNI dan Penggusuran
A A A
TNI hulubalang siapa? Hulubalang Ahok atau hulubalang negara? Pertanyaan ini begitu mengganjal di ranah akal sehat melihat kecenderungan yang ditunjukkan Kodam Jaya belakangan ini yang begitu intens dan bersemangat membekingi Gubernur DKI Jakarta tersebut dalam melakukan sejumlah penggusuran seperti di Kalijodo dan Luar Batang beberapa waktu lalu.

Para prajurit dengan seragam loreng kebanggaan bersanding dengan satpol PP menakut-nakuti rakyat agar tidak berani melawan saat rumah dan tanahnya digusur. Padahal, sebagian dari mereka berhak secara hukum karena mempunyai bukti kepemilikan atas tanah seperti sertifikat hak milik, hak guna bangunan, dan girik.

Jika demikian, bukankah TNI berdiri di balik kesewenang-wenangan? Bagaimana TNI begitu bersemangat pasang badan terhadap apa pun langkah satu orang bernama Ahok, dan di sisi lain menegasikan kepentingan hak rakyat yang menjadi korban? Bagaimana mereka begitu tega melihat rakyat yang tidak berdaya tersebut menangis karena terampas haknya.

TNI bersemangat membantu Ahok dan sebaliknya tidak peduli terhadap penderitaan rakyat yang tergusur tidak lain karena uang. Ahok sendiri mengaku mengalokasikan uang sebesar Rp250.000 plus uang makan Rp38.000 untuk setiap personel yang terlibat penggusuran. Uang diambilkan dari APBD. Jumlah ini bisa lebih besar karena Dirut Podomoro Land Ariesman Widjaja saat diperiksa KPK mengaku mengeluarkan Rp6 miliar atas permintaan Ahok untuk membiayai penggusuran. Yusril Ihza Mahendra menuding duit sebesar itu di antaranya untuk membayar TNI dan Polri.

Perilaku TNI sebagai ‘tentara bayaran untuk membela yang bayar’ memang sejauh ini hanya ditunjukkan Kodam Jaya. Tetapi, ibarat racun setetes merusak susu sebelanga, kondisi demikian juga memengaruhi citra TNI. Hal ini bahkan diakui mantan Kaster TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo yang kini menjabat sebagai gubernur Lemhanas. Menurut dia, reformasi TNI telah mengalami kemunduran karena kembali memasuki fungsi-fungsi di luar pertahanan nasional.
Kondisi ini tentu sangat disayangkan, karena sejauh ini citra TNI sangat positif. Hal ini bukanlah isapan jempol. Lihat saja hasil survei yang baru ini digelar sejumlah lembaga seperti CSIS, Poltracking Indonesia, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menunjukkan TNI lembaga paling dipercaya publik, yang hanya bisa disaingi KPK. Hal ini tidak lain karena TNI konsisten mewujudkan amanat reformasi.

Karena itulah, perlaku yang ditunjukkan prajurit TNI di lingkungan Kodam Jaya harus dievaluasi. Prajurit TNI tidak bisa digunakan atau dicomot begitu saja oleh seorang kepala daerah karena kewenangannya milik negara. Apalagi jika digunakan untuk menggusur rakyat karena imbalan bayaran. Fungsi TNI adalah sebagai hulubalang atau alat pertahanan negara, bukan hulubalang Ahok. Jikapun TNI mempunyai tugas pokok selain perang, tentu hal itu bukanlah untuk menggusur rakyat. Dan tugas-tugas yang diembankan dilaksanakan berdasar kebijakan dan keputusan politik negara, bukan karena comotan kepala daerah seperti Ahok.

Lebih dari itu, prajurit TNI harus kembali ke jati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional. Sebagai tentara rakyat, haram jika dia menindas rakyat; sebagai tentara pejuang, dia fokus mempertahankan tegaknya NKRI; sebagai tentara nasional, dia hanya bertugas demi kepentingan negara di atas kepentingan daerah dan SARA; dan sebagai tentara profesional, dia di antaranya tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, serta menjunjung hukum dan HAM.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1619 seconds (0.1#10.140)