Tragedi Yuyun, Salah Siapa?
A
A
A
EMOSI itu kontan saja meluap begitu mendengar nasib tragis yang menimpa seorang siswi SMP bernama Yuyun, 14. Bagaimana tidak, remaja asal Desa Kasie Kasubun, Ke Padang Ulak Tanding (PUT), Bengkulu tersebut diperkosa 14 orang secara bergantian dan berulang hingga tewas. Jenazah kemudian dibuang begitu dan ditutup dedaunan. Jenazahnya ditemukan 4 April lalu setelah hilang dua hari sebelumnya.
Nurani kian tersayat karena para pelaku ternyata sebagian besar masih remaja. Beberapa di antaranya kakak kelas Yuyun di SMP, satu di antaranya bahkan mantan pacar. Semakin memprihatinkan, mereka melakukan tindakan biadab tersebut setelah mereka menenggak minuman keras. Mereka juga diketahui sering menonton video porno.
Tiada kata yang pantas untuk menggambarkan betapa tragisnya nasib yang menimpa Yuyun tersebut, karena tindakan keji yang menimpanya di luar nalar manusia. Kejamnya perlakuan terhadap Yuyun pun bahkan di luar perilaku kebinatangan. Karena itu, pantas jika kasus yang menimpa Yuyun dianggap sebagai sebuah tragedi kemanusiaan. Tragedi yang terjadi di luar kekejian manusia yang dipraktikkan terhadap sesamanya.
Bagaimana hal tersebut terjadi? Mengapa keempat belas pelaku begitu tega melakukan tindakan tersebut terhadap Yuyun, di antaranya bahkan masih ada hubungan famili? Bagaimana di usia muda tersebut mereka sudah melakukan pemerkosaan dan pembunuhan? Dari mana mereka mendapat inspirasi untuk berlaku biadab? Bagaimana mereka tidak mempunyai setitik pun rasa belas kasihan? Apa yang ada dalam benak dan pikiran mereka?
Nafsu liar nan keji keempat belas remaja tersebut muncul setelah berpesta minuman keras. Alkohol yang merasuk dalam aliran darah mereka memberikan stimulan munculnya nafsu seksual yang selama ini mereka pendam akibat sering melihat tontonan dewasa. Didukung kondisi psikologi yang masih labil dan kebebasan yang selama ini mereka nikmati, nafsu tersebut mereka curahkan dengan "kedahsyatan" di luar nalar manusia.
Kebebasan turut menjadi faktor determinan, karena faktanya selama ini mereka luput dari pengawasan. Mereka bisa menikmati tontonan dewasa tanpa-baik lewat gadget maupun sarana lain sebebas-bebasnya tanpa ada yang mengingatkan. Walaupun masih pelajar, mereka juga bisa bebas menenggak minuman keras sepuas-puasnya. Hingga kemudian kedua kebiasaan tersebut membentuk karakter mereka.
Keempat belas remaja tersebut memang salah. Mereka telah memilih berperilaku buruk hingga berujung pada munculnya tragedi kemanusiaan. Namun, keluarga dan masyarakat di lingkungan tersebut patut dipersalahkan dan harus turut bertanggung jawab karena mereka mempunyai andil membentuk munculnya karakter biadab.
Orang tua dan keluarga telah melepaskan begitu pengawasan terhadap anak-anak mereka, hingga tidak mengetahui bagaimana dan dengan siapa mereka sehari-hari bergaul dan tidak peka terhadap perkembangan kejiwaannya. Orang tua hanya memberi fasilitas dan memberikan uang tanpa mengontrol tanpa mengontrol untuk apa anak-anak mereka memanfaatkannya.
Lingkungan masyarakat juga patut dipertanyakan. Bagaimana tidak, di desa yang relatif terpencil tersebut, remaja-remaja mereka bisa bebas bermabuk-mabukan. Mereka pun membiarkan begitu pedagang menyuguhkan minuman keras. Bagaimana mereka bisa, generasi penerus mereka merusak diri tanpa ada sedikit pun kekhawatiran?
Sangat tidak masuk akal kondisi tersebut tercipta di lingkungan masyarakat tradisional yang notabene budaya dan adat lazimnya masih mengakar kuat. Sekarang nasi telah menjadi bubur? Yuyun telah menjadi korban, dan anak-anak mereka telah melakukan kebiadaban dan harus bersiap menerima hukuman setimpal. Tragedi kemanusiaan tersebut harus menjadi pelajaran bukan hanya untuk warga Desa Kasie Kasubun, melainkan juga orang tua dan lingkungan masyarakat lainnya agar kasus kekerasan seksual terhadap yang melibatkan remaja tidak terulang.
Ancaman hukuman berat, termasuk kebiri, dan hukuman tambahan seperti mengekspos foto wajah tersangka memang bisa menjadi efek jera bagi siapa pun untuk tidak melakukan hal yang sama. Namun, perhatian orang tua terhadap anak dan pengawasan masyarakat terhadap lingkungannya menjadi faktor paling penting. Tidak akan muncul karakter biadab jika mereka bisa menjaga dan mendidik anak dan remaja di lingkungannya. Dengan demikian, tidak akan lagi tragedi kemanusiaan seperti menimpa Yuyun.
Nurani kian tersayat karena para pelaku ternyata sebagian besar masih remaja. Beberapa di antaranya kakak kelas Yuyun di SMP, satu di antaranya bahkan mantan pacar. Semakin memprihatinkan, mereka melakukan tindakan biadab tersebut setelah mereka menenggak minuman keras. Mereka juga diketahui sering menonton video porno.
Tiada kata yang pantas untuk menggambarkan betapa tragisnya nasib yang menimpa Yuyun tersebut, karena tindakan keji yang menimpanya di luar nalar manusia. Kejamnya perlakuan terhadap Yuyun pun bahkan di luar perilaku kebinatangan. Karena itu, pantas jika kasus yang menimpa Yuyun dianggap sebagai sebuah tragedi kemanusiaan. Tragedi yang terjadi di luar kekejian manusia yang dipraktikkan terhadap sesamanya.
Bagaimana hal tersebut terjadi? Mengapa keempat belas pelaku begitu tega melakukan tindakan tersebut terhadap Yuyun, di antaranya bahkan masih ada hubungan famili? Bagaimana di usia muda tersebut mereka sudah melakukan pemerkosaan dan pembunuhan? Dari mana mereka mendapat inspirasi untuk berlaku biadab? Bagaimana mereka tidak mempunyai setitik pun rasa belas kasihan? Apa yang ada dalam benak dan pikiran mereka?
Nafsu liar nan keji keempat belas remaja tersebut muncul setelah berpesta minuman keras. Alkohol yang merasuk dalam aliran darah mereka memberikan stimulan munculnya nafsu seksual yang selama ini mereka pendam akibat sering melihat tontonan dewasa. Didukung kondisi psikologi yang masih labil dan kebebasan yang selama ini mereka nikmati, nafsu tersebut mereka curahkan dengan "kedahsyatan" di luar nalar manusia.
Kebebasan turut menjadi faktor determinan, karena faktanya selama ini mereka luput dari pengawasan. Mereka bisa menikmati tontonan dewasa tanpa-baik lewat gadget maupun sarana lain sebebas-bebasnya tanpa ada yang mengingatkan. Walaupun masih pelajar, mereka juga bisa bebas menenggak minuman keras sepuas-puasnya. Hingga kemudian kedua kebiasaan tersebut membentuk karakter mereka.
Keempat belas remaja tersebut memang salah. Mereka telah memilih berperilaku buruk hingga berujung pada munculnya tragedi kemanusiaan. Namun, keluarga dan masyarakat di lingkungan tersebut patut dipersalahkan dan harus turut bertanggung jawab karena mereka mempunyai andil membentuk munculnya karakter biadab.
Orang tua dan keluarga telah melepaskan begitu pengawasan terhadap anak-anak mereka, hingga tidak mengetahui bagaimana dan dengan siapa mereka sehari-hari bergaul dan tidak peka terhadap perkembangan kejiwaannya. Orang tua hanya memberi fasilitas dan memberikan uang tanpa mengontrol tanpa mengontrol untuk apa anak-anak mereka memanfaatkannya.
Lingkungan masyarakat juga patut dipertanyakan. Bagaimana tidak, di desa yang relatif terpencil tersebut, remaja-remaja mereka bisa bebas bermabuk-mabukan. Mereka pun membiarkan begitu pedagang menyuguhkan minuman keras. Bagaimana mereka bisa, generasi penerus mereka merusak diri tanpa ada sedikit pun kekhawatiran?
Sangat tidak masuk akal kondisi tersebut tercipta di lingkungan masyarakat tradisional yang notabene budaya dan adat lazimnya masih mengakar kuat. Sekarang nasi telah menjadi bubur? Yuyun telah menjadi korban, dan anak-anak mereka telah melakukan kebiadaban dan harus bersiap menerima hukuman setimpal. Tragedi kemanusiaan tersebut harus menjadi pelajaran bukan hanya untuk warga Desa Kasie Kasubun, melainkan juga orang tua dan lingkungan masyarakat lainnya agar kasus kekerasan seksual terhadap yang melibatkan remaja tidak terulang.
Ancaman hukuman berat, termasuk kebiri, dan hukuman tambahan seperti mengekspos foto wajah tersangka memang bisa menjadi efek jera bagi siapa pun untuk tidak melakukan hal yang sama. Namun, perhatian orang tua terhadap anak dan pengawasan masyarakat terhadap lingkungannya menjadi faktor paling penting. Tidak akan muncul karakter biadab jika mereka bisa menjaga dan mendidik anak dan remaja di lingkungannya. Dengan demikian, tidak akan lagi tragedi kemanusiaan seperti menimpa Yuyun.
(kur)