Reklamasi dan Tata Ruang Laut Rawan Korupsi
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan potensi korupsi terkait reklamasi dan tata ruang laut Indonesia.
Fakta itu disampaikan Koordinator Tim Kajian Sumber Daya Alam pada Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK Dian Patria. Dia menegaskan, KPK pernah melakukan kajian tentang Sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan pada Februari hingga Desember 2014.
Dua materi yang masuk dalam kajian ini yakni tentang reklamasi dan zonasi. Artinya kata Dian, kajian ini dilakukan sebelum pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mengumandangkan cita-cita Indonesia menjadi poros maritim dunia.
"Tim kajian melihat dan menemukan ada jejak-jejak sektoral dalam tara ruang laut termasuk reklamasi dengan konflik kepentingan. Bagaimana didesain dan dilegalisir secara struktural sehingga korupsi lebih tinggi," kata Dian di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 26 April 2016.
Dia menyatakan, hasil kajian dan rekomendasi KPK sudah dipaparkan dan disampaikan kepada lembaga/kementerian dan pemerintah daerah terkait untuk ditindaklanjuti. Di antaranya kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Dian menuturkan, masalah tata ruang laut, zonasi, reklamasi, dan pulau-pulau pesisir mirip dengan di daratan atau tata ruang provinsi/kota/kabupaten. "Belum ada kajian rencana zonasi wilayah-wilayah kecil dan pulau-pulau terluar. Belum satu pun provinsi ada raperda itu. Ada fakta KPK terakhir, orang lupa masalah sektoral. Baru saat korupsi terjadi seperti di Jakarta baru sibuk," katanya.
Menurut dia, KPK mendorong perbaikan sistem, regulasi, dan tata laksana tata ruang laut. KPK juga mendesak pemerintah daerah menyusun aturan/perda tentang Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Pasalnya aturan atau perda ini akan menjadi landasan bagi pemberian izin prinsip dan izin pelaksanaan reklamasi.
"Harus dilihat hak milik publik. Apakah nelayan dan publik tidak berdampak dengan itu?" tandasnya.
Dari dokumen Laporan Hasil Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumber Daya Kelautan KPK (2014) yang diperoleh KORAN SINDO tertuang bahwa kajian KPK diarahkan kepada tiga hal. Ketiganya, yakni aspek regulasi, ketatalaksanaan dan kelembagaan.
Kajian difokuskan pada penetapan batas wilayah laut Indonesia yakni batas laut teritorial, zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif; pengelolaan tata ruang laut Indonesia, termasuk pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan pengelolaan sumber daya kelautan Indonesia, khususnya berkaitan dengan sumberdaya perikanan.
Hasil kajian menunjukkan sejumlah permasalahan muncul di sektor kelautan. Permasalahan hadir mulai dari penetapan batas wilayah laut, penataan ruang laut hingga pengelolaan sumberdaya yang ada di dalamnya, termasuk zonasi dan reklamasi.
Permasalahan terjadi tidak terlepas dari sejumlah kendala yang muncul terkait dengan aturan perundang-undangan yang belum disusun, kesalahan tekstual dan kontekstual dalam aturan perundang-undangan hingga permasalahan substansi dari aturan perundang-undangan tersebut.
Permasalahan kian kompleks karena adanya permasalahan kelembagaan lintas sektoral dan kapasitas kelembagaan pemerintah, seperti yang terjadi di internal KKP.
Dari sisi reklamasi termasuk di Jakarta maupun di Teluk Benoa, Provinsi Bali, KPK menemukan ada sejumlah permasalahan lintas sektor terkait reklamasi wilayah pesisir. Padahal dalam Pasal 34 UU Nomor 27/2007 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, ditetapkan bahwa reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan atau nilai tambah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Oleh karena itu, kata KPK, pelaksanaan reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat, keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian, serta persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.
Tapi dalam pelaksanaannya, persoalan reklamasi pesisir seringkali menimbulkan protes dari berbagai kalangan masyarakat karena dianggap mengabaikan sejumlah hal. Seperti hak-hak kelola masyarakat, keseimbangan ekosistem, hak sosial budaya masyarakat setempat, dan dianggap hanya berpihak pada investor.
"Permasalahan lintas sektor yang muncul terkait dengan reklamasi, mencakup permasalahan dengan sektor perhubungan, kehutanan, perusahaan, pertanahan, pariwisata, lingkungan hidup, pertambangan, dan pemerintah daerah," tulis laporan dalam kajian tersebut.
Perihal Zonasi, KPK menemukan sejumlah permasalahan lintas sektor terkait tata ruang wilayah laut.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau keci dilaksanakan oleh pemerintah daerah (provinsi dan/atau kabupaten/kota).
Rencana zonasi wilayah harusnya diselaraskan dengan rencana tata ruang wilayah yang bersifat spasial dengan rencana pembangunan yang sifatnya nonspasial. Penyusunan rencana tata ruang laut juga memerlukan sejumlah data dan informasi yang harus disiapkan berbagai sumber.
Akan tetapi, sejumlah permasalahan dalam penyusunan tata ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil muncul. Seperti terbatasnya fasilitator yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, anggaran untuk pengumpulan data dan informasi pelaksanaan pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, sumber daya manusia dan masih rendahnya komitmen daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Permasalahan-permasalahan ini mengakibatkan penyusunan rencana zonasi laut, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi terhambat. Selain itu, permasalahan lintas sektor yang muncul terkait dengan penataan ruang laut antara lain dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian LHK.
Fakta itu disampaikan Koordinator Tim Kajian Sumber Daya Alam pada Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK Dian Patria. Dia menegaskan, KPK pernah melakukan kajian tentang Sistem Pengelolaan Ruang Laut Dan Sumber Daya Kelautan pada Februari hingga Desember 2014.
Dua materi yang masuk dalam kajian ini yakni tentang reklamasi dan zonasi. Artinya kata Dian, kajian ini dilakukan sebelum pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mengumandangkan cita-cita Indonesia menjadi poros maritim dunia.
"Tim kajian melihat dan menemukan ada jejak-jejak sektoral dalam tara ruang laut termasuk reklamasi dengan konflik kepentingan. Bagaimana didesain dan dilegalisir secara struktural sehingga korupsi lebih tinggi," kata Dian di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 26 April 2016.
Dia menyatakan, hasil kajian dan rekomendasi KPK sudah dipaparkan dan disampaikan kepada lembaga/kementerian dan pemerintah daerah terkait untuk ditindaklanjuti. Di antaranya kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Dian menuturkan, masalah tata ruang laut, zonasi, reklamasi, dan pulau-pulau pesisir mirip dengan di daratan atau tata ruang provinsi/kota/kabupaten. "Belum ada kajian rencana zonasi wilayah-wilayah kecil dan pulau-pulau terluar. Belum satu pun provinsi ada raperda itu. Ada fakta KPK terakhir, orang lupa masalah sektoral. Baru saat korupsi terjadi seperti di Jakarta baru sibuk," katanya.
Menurut dia, KPK mendorong perbaikan sistem, regulasi, dan tata laksana tata ruang laut. KPK juga mendesak pemerintah daerah menyusun aturan/perda tentang Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Pasalnya aturan atau perda ini akan menjadi landasan bagi pemberian izin prinsip dan izin pelaksanaan reklamasi.
"Harus dilihat hak milik publik. Apakah nelayan dan publik tidak berdampak dengan itu?" tandasnya.
Dari dokumen Laporan Hasil Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumber Daya Kelautan KPK (2014) yang diperoleh KORAN SINDO tertuang bahwa kajian KPK diarahkan kepada tiga hal. Ketiganya, yakni aspek regulasi, ketatalaksanaan dan kelembagaan.
Kajian difokuskan pada penetapan batas wilayah laut Indonesia yakni batas laut teritorial, zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif; pengelolaan tata ruang laut Indonesia, termasuk pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan pengelolaan sumber daya kelautan Indonesia, khususnya berkaitan dengan sumberdaya perikanan.
Hasil kajian menunjukkan sejumlah permasalahan muncul di sektor kelautan. Permasalahan hadir mulai dari penetapan batas wilayah laut, penataan ruang laut hingga pengelolaan sumberdaya yang ada di dalamnya, termasuk zonasi dan reklamasi.
Permasalahan terjadi tidak terlepas dari sejumlah kendala yang muncul terkait dengan aturan perundang-undangan yang belum disusun, kesalahan tekstual dan kontekstual dalam aturan perundang-undangan hingga permasalahan substansi dari aturan perundang-undangan tersebut.
Permasalahan kian kompleks karena adanya permasalahan kelembagaan lintas sektoral dan kapasitas kelembagaan pemerintah, seperti yang terjadi di internal KKP.
Dari sisi reklamasi termasuk di Jakarta maupun di Teluk Benoa, Provinsi Bali, KPK menemukan ada sejumlah permasalahan lintas sektor terkait reklamasi wilayah pesisir. Padahal dalam Pasal 34 UU Nomor 27/2007 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, ditetapkan bahwa reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan atau nilai tambah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Oleh karena itu, kata KPK, pelaksanaan reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat, keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian, serta persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.
Tapi dalam pelaksanaannya, persoalan reklamasi pesisir seringkali menimbulkan protes dari berbagai kalangan masyarakat karena dianggap mengabaikan sejumlah hal. Seperti hak-hak kelola masyarakat, keseimbangan ekosistem, hak sosial budaya masyarakat setempat, dan dianggap hanya berpihak pada investor.
"Permasalahan lintas sektor yang muncul terkait dengan reklamasi, mencakup permasalahan dengan sektor perhubungan, kehutanan, perusahaan, pertanahan, pariwisata, lingkungan hidup, pertambangan, dan pemerintah daerah," tulis laporan dalam kajian tersebut.
Perihal Zonasi, KPK menemukan sejumlah permasalahan lintas sektor terkait tata ruang wilayah laut.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau keci dilaksanakan oleh pemerintah daerah (provinsi dan/atau kabupaten/kota).
Rencana zonasi wilayah harusnya diselaraskan dengan rencana tata ruang wilayah yang bersifat spasial dengan rencana pembangunan yang sifatnya nonspasial. Penyusunan rencana tata ruang laut juga memerlukan sejumlah data dan informasi yang harus disiapkan berbagai sumber.
Akan tetapi, sejumlah permasalahan dalam penyusunan tata ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil muncul. Seperti terbatasnya fasilitator yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, anggaran untuk pengumpulan data dan informasi pelaksanaan pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, sumber daya manusia dan masih rendahnya komitmen daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Permasalahan-permasalahan ini mengakibatkan penyusunan rencana zonasi laut, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi terhambat. Selain itu, permasalahan lintas sektor yang muncul terkait dengan penataan ruang laut antara lain dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian LHK.
(dam)