Khitah Ekonomi Kerakyatan NU

Senin, 25 April 2016 - 13:29 WIB
Khitah Ekonomi Kerakyatan...
Khitah Ekonomi Kerakyatan NU
A A A
A Helmy Faishal Zaini
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

NAHDLATUL Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan didirikan tentu saja bukan bertujuan hanya untuk semata-mata menyebarkan nilai-nilai keagamaan yang ramah ala ahlussunnah wal jama ahlussunnah wal jamaah, namun lebih dari yang tidak kalah penting adalah dari itu, NU sesungguhnya dilahirkan dalam rangka penguatan ekonomi kerakyatan. Penguatan ekonomi kerakyatan adalah isu penting yang menjadi tonggak berdirinya NU. Adanya Nahdlatut Tujjar atau semacam serikat pedagang yang menjadi cikal bakal berdirinya NU adalah bukti nyata bahwa isu ekonomi tidak bisa dipandang sebelah mata.

Komitmen NU untuk memajukan ekonomi kerakyatan bisa kita temukan dalam Statute NU fatsal 3: "mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan, dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh sjara”mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan, dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh sjara.

Mengenai salah satu tujuan diberdirikannya NU yang berkonsentrasi untuk memberikan perhatian kepada ekonomi kerakyatan tersebut tercantum dalam ekonomi kerakyatan ala NU tentu saja menyangkut banyak bidang, seperti perdagangan, penyediaan barang dan jasa, dan tentu saja pertanian dan yang terakhir tentu saja kelautan. Khusus untuk sektor dua ekonomi yang terakhir, yakni tentang pertanian dan juga kelautan, perhatian NU tidak main-main. Sebab kita tahu bahwa sektor pertanian dan kelautan ini merupakan sektor dominan masyarakat Indonesia, khususnya kalangan Nahdliyin.

Perhatian ke Sektor Pertanian
Sebelumnya pada tahun lalu saya pernah menulis di salah satu media nasional mengenai kondisi pertanian kita yang masih tertinggal. Pada tahun 2013, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa pada tahun 2013 45% penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, di urutan kedua menyusul sektor industri dengan porsi 23,5% dan sisanya tersebar di pelbagai sektor di luar dua sektor mainstream tersebut.

Dengan kenyataan seperti itu, tidak mengherankan NU memberikan perhatian dengan porsi yang sangat besar terhadap sektor pertanian, baik pada tingkat mikro maupun makro. Perhatian terhadap sektor pertanian itu dibuktikan dengan rekomendasi muktamar 32 di Makassar 2010 yang memerintahkan kepada PBNU untuk melakukan serangkaian advokasi dan mendesak pemerintah untuk menciptakan keadilan ekonomi terutama pada sektor pertanian.

Adalah merupakan sebuah ironi bahwa dengan penduduk yang sebagian besar memilih pertanian sebagai ladang mata pencarian, hari ini kita masih mengimpor pelbagai bahan pokok makanan. Pada keadaan yang demikian, sesungguhnya yang menjadi korban utama atas kebijakan impor bahan pangan adalah rakyat kecil yang berprofesi petani tersebut.

Komitmen Sektor Kelautan
Di pihak lain, pada tahun 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) telah juga merilis bahwa jumlah nelayan tradisional di Indonesia berjumlah 864 ribu rumah tangga. Jumlah tersebut sesungguhnya menurun drastis jika dibandingkan data tahun 2013 yang menyebutkan bahwa jumlah nelayan tradisional di Indonesia mencapai 1,6 juta. Persoalannya kemudian mengapa jumlah nelayan menurun drastis dan kian hari kian sedikit saja? Atau dalam pertanyaan yang lebih menukik mengapa orang Indonesia cenderung tidak memilih profesi nelayan sebagai mata pencarian hidup? Ironis memang. Dengan struktur komposisi geografis Indonesia yang 2/3 permukaannya berupa lautan, rakyat Indonesia justru seolah berlari dan menjauh dari pesisir pantai dan lalu memutuskan diri untuk masuk ke pedalaman, ke daratan.

Saya berpendapat, bahwa besar kemungkinan ketidaktertarikan warga untuk menjadi nelayan adalah karena faktor kesejahteraan dan jaminan hidup. Dua faktor tersebut saya rasa adalah dua dari di antara sekian banyak faktor yang menyebabkan sektor kelautan itu lesu.

Melihat realitas yang ada, bisnis makanan laut (seafood) sampai saat ini masih menjadi salah satu primadona bisnis kuliner. Namun melihat geliat bisnis kuliner makanan laut tersebut, sangat miris jika tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan para nelayannya.

Meminjam analisis Sonny Harmadi (2014) bahwa tingkat upah nelayan hanya mencapai sekitar Rp1,1 juta per bulan. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja bukan nelayan yang mengantongi upah sampai Rp1,2 juta per bulan. Pendapatan itu sesungguhnya jauh di bawah kategori sejahtera.

Melihat kenyataan seperti itu, NU tidak menutup mata. Pada Muktamar ke-33 di Jombang tahun lalu, NU memutuskan untuk membentuk sebuah badan otonom baru. Badan otonom yang khusus mewadahi para nelayan tersebut bernama Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama.

Berpaling dari Laut
Saya sependapat dengan pandangan yang menyebutkan bahwa selama ini yang cenderung kita lakukan dalam "pembangunan" adalah gerak-gerak yang mengarah pada usaha memunggungi laut. Laut cenderung kita tinggalkan. Komoditasnya cenderung kita abaikan. Kesadaran utama kita masih kesadaran daratan, sehingga yang sibuk kita lakukan adalah membangun daratan bukan memperkuat dominasi lautan.Pola pikir kita cenderung menomorduakan laut beserta seluruh perantinya, termasuk nelayan. Lagu nenek moyangku seorang pelaut tampaknya juga sudah tidak terdengar lagi mengalun di sekolah-sekolah kita.

Padahal, laut adalah wahana di mana kita bisa berpanen tanpa harus menanam. Kita bisa menuai tanpa harus menyemai. Kita panen ikan tanpa harus menanamnya terlebih dahulu. Semua itu adalah anugerah yang harus kita syukuri. Dan NU sekali lagi berkomitmen untuk melakukan kerja-kerja sosial dalam rangka meningkatkan sektor kelautan, utamanya kesejahteraan nelayan-nelayannya.

Walhasil, NU yang memang salah satu tujuan didirikannya adalah agar menjadi jamiyyah kemasyarakatan yang menguatkan kemandirian ekonomi kerakyatan dalam momentum usianya yang menapaki 93 tahun ini akan lebih mengupayakan untuk mengambil langkah-langkah yang dirasa tepat guna memajukan sektor pertanian dan juga kelautan sebagai sektor-sektor yang harus diperhatikan. Apa yang sudah dilakukan hari ini tentu saja harus dipertahankan lalu kemudian untuk dikembangkan ke arah yang lebih baik. Selamat Harlah ke-93 untuk Nahdlatul Ulama. Wallahu a’lam bis showab.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7548 seconds (0.1#10.140)