Draf UU Pilkada Dinilai Belum Sentuh Persoalan Substansial
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah fraksi di Komisi II DPR menilai bahwa draf revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang dibuat oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) belum menyentuh persoalan substansial pilkada berkaca pada Pilkada Serentak 2015.
"Pertama saya apresiasi pemerintah khususnya Kemendagri yang telah bekerja ekstra keras dalam membuat draf revisi UU Pilkada. Tapi, revisinya tidak substantif dan selesaikan masalah pilkada," tandas Anggota Komisi II DPR Fraksi PDIP Arteria Dahlan kepada SINDO di Jakarta, Minggu (10/4/2016).
Arteria berpandangan, masih ada banyak hal yang harus dicermati seperti misalnya terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang cenderung keliru ke dalam rumusan norma. Yang dengan diakomodirnya putusan MK justru kontraproduktif dengan semangat demokrasi dan prinsip HAM universal maupun karakteristik rezim hukum pilkada.
"Kalau tidak diakomodir nanti dijudicial review ladi dan tidak selesai-selesai," imbuhnya.
Menurut Arteria, ada beberapa isu staregis pasca putusan MK. Seperti petahana, calon tunggal, syarat calon independen, mantan narapidana dan syarat anggota TNI, Polri, PNS, BUMN dan DPR harus mundur. Semua ini harus dikaji lebih mendalam dan cermat.
"Kalau tidak hari-hari rumusan norma yang mengacu pada putusan MK di kemudian hari justru menjadi sumber polemik dan konflik baru," sesalnya.
Kemudian, lanjutnya, masih ada masalah yang lebih kompleks lagi yakni terkait pencalonan, masalah dukungan paslon perseorangan, dukungan parpol ganda, konflik internal parpol, masalah data dan daftar pemilih, masalah panitia pengawas adhoc, masalah jadwal tahapan, sengketa pilkada, pelanggaran pilkada belum tercakup dalam draf UU Pilkada.
"Saya juga menyarankan agar UU dibuat lebih detail karena UU Pilkada ini kemungkinan besar hadir tanpa Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaannya, sehingga kita harus buat sejelas-jelasnya guna mencegah akrobat hukum dari KPU melalui PKPU nantinya," tandasnya.
"Pertama saya apresiasi pemerintah khususnya Kemendagri yang telah bekerja ekstra keras dalam membuat draf revisi UU Pilkada. Tapi, revisinya tidak substantif dan selesaikan masalah pilkada," tandas Anggota Komisi II DPR Fraksi PDIP Arteria Dahlan kepada SINDO di Jakarta, Minggu (10/4/2016).
Arteria berpandangan, masih ada banyak hal yang harus dicermati seperti misalnya terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang cenderung keliru ke dalam rumusan norma. Yang dengan diakomodirnya putusan MK justru kontraproduktif dengan semangat demokrasi dan prinsip HAM universal maupun karakteristik rezim hukum pilkada.
"Kalau tidak diakomodir nanti dijudicial review ladi dan tidak selesai-selesai," imbuhnya.
Menurut Arteria, ada beberapa isu staregis pasca putusan MK. Seperti petahana, calon tunggal, syarat calon independen, mantan narapidana dan syarat anggota TNI, Polri, PNS, BUMN dan DPR harus mundur. Semua ini harus dikaji lebih mendalam dan cermat.
"Kalau tidak hari-hari rumusan norma yang mengacu pada putusan MK di kemudian hari justru menjadi sumber polemik dan konflik baru," sesalnya.
Kemudian, lanjutnya, masih ada masalah yang lebih kompleks lagi yakni terkait pencalonan, masalah dukungan paslon perseorangan, dukungan parpol ganda, konflik internal parpol, masalah data dan daftar pemilih, masalah panitia pengawas adhoc, masalah jadwal tahapan, sengketa pilkada, pelanggaran pilkada belum tercakup dalam draf UU Pilkada.
"Saya juga menyarankan agar UU dibuat lebih detail karena UU Pilkada ini kemungkinan besar hadir tanpa Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaannya, sehingga kita harus buat sejelas-jelasnya guna mencegah akrobat hukum dari KPU melalui PKPU nantinya," tandasnya.
(kri)