Hindari Gaduh Masela
A
A
A
KEPUTUSAN pemerintah yang memilih pembangunan Blok Masela dengan skema di darat (onshore) serta-merta menimbulkan berbagai isu yang menjadi santapan segar di masyarakat.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said santer dikabarkan akan meninggalkan kursi di Kabinet Kerja. Isu yang berkembang bahwa Sudirman Said sudah tidak didengar lagi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Isu kencang lainnya yang berembus dengan cepat bahwa Inpex dan Shell selaku kontraktor Masela memilih mengundurkan diri karena tidak sejalan dengan keputusan pemerintah soal skema pembangunan Blok Masela, kontraktor tersebut sejak awal menawarkan skema di laut (offshore).
Namun, isu-isu panas itu segera mendingin setelah Sudirman Said menggelar jumpa pers yang awalnya menjelaskan bahwa keputusan Presiden memilih skema onshore sudah tepat yang mengutamakan kepentingan masyarakat.
Bahkan, mantan direktur utama PT Pindad itu menyatakan selama ini dirinya netral soal pemilihan skema pembangunan Blok Masela. Padahal sudah menjadi rahasia umum perseteruannya dengan Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman Rizal Ramli, salah satunya dipicu oleh proyek Blok Masela yang memilih skema offshore .
Tapi sudahlah toh polemik ini sudah selesai. Dan, Sudirman Said masih menduduki kursi Kabinet Kerja dengan alasan dirinya masih dibutuhkan untuk memberesi negeri ini dari berbagai persoalan serius.
Bagaimana dengan kontraktor Blok Masela? Meski belum ada pemberitahuan secara resmi soal keputusan pemerintah memilih skema onshore, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi memastikan Inpex dan Shell dapat menerima keputusan pemerintah.
Sehari setelah Presiden Jokowi mengumumkan skema pembangunan kilang liquefied natural gas (LNG) di Provinsi Maluku itu, Amien Sunaryadi membeberkan bahwa pihaknya sudah berdiskusi dengan pihak investor yang intinya tidak akan cabut dari proyek Blok Masela.
Persoalannya sekarang, pihak kontraktor memerlukan waktu untuk menghitung ulang rencana kerja atau revisi plan of development (PoD) dari semula memakai skema offshore berubah menjadi skema onshore .
Isu panas yang sempat "membakar" para pengelola negara di tingkat pusat itu memang sudah mendingin, tetapi persoalan besar di daerah sedang mengancam terutama terkait di wilayah atau pulau mana kilang LNG nantinya akan dibangun.
Jangan sampai masyarakat Maluku nanti bertikai di lokasi mana yang layak dibangun kilang Blok Masela, sebab terdapat tiga pulau, yakni Selaru, Tanimbar, dan Aru yang jadi alternatif lokasi pembangunan kilang.
Apalagi, soal pemilihan lokasi kilang menjadi hak penuh kontraktor yang disesuaikan perhitungan dan pertimbangan mereka, terutama terkait dengan lahan yang luas dan pantai yang memenuhi persyaratan untuk menghadirkan pelabuhan besar.
Sementara itu, pihak Kementerian Koordinator Kemaritiman sudah menyebut-nyebut Pulau Selaru yang masuk wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat sebagai tempat yang layak untuk pembangunan kilang LNG Blok Masela. Pulau Selaru sebagaimana diistilahkan Rizal Ramli akan menjadi Balikpapan baru berkat proyek LNG Masela.
Mantan menteri di zaman Presiden Gus Dur itu telah membayangkan sejumlah industri seperti industri petrokimia dan pupuk yang akan menyertai kehadiran kilang LNG di Pulau Selaru.
Pendapatan negara pun akan terdongkrak, setidaknya kocek pemerintah akan terisi sebesar USD6,5 miliar per tahun. Bandingkan bila proyek tersebut menggunakan skema offshore, yang hanya akan menyumbang pendapatan negara sekitar USD2,5 miliar per tahun.
Keputusan pemerintah soal skema pembangunan Blok Masela yang lebih cepat dari target semula pada 2018 yang dibangun di darat, bukan hanya disambut riang dan gembira oleh masyarakat Maluku, melainkan juga kalangan dunia usaha.
Pengusaha yang bernaung di bawah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) memberi apresiasi tersendiri, seraya mengingatkan pemerintah untuk melibatkan pengusaha lokal, entah sebagai pemasok, subkontraktor. Jangan sampai pengusaha lokal jadi penonton di daerahnya. Dan, kita berharap jangan sampai muncul kegaduhan lagi dalam penetapan lokasi kilang.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said santer dikabarkan akan meninggalkan kursi di Kabinet Kerja. Isu yang berkembang bahwa Sudirman Said sudah tidak didengar lagi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Isu kencang lainnya yang berembus dengan cepat bahwa Inpex dan Shell selaku kontraktor Masela memilih mengundurkan diri karena tidak sejalan dengan keputusan pemerintah soal skema pembangunan Blok Masela, kontraktor tersebut sejak awal menawarkan skema di laut (offshore).
Namun, isu-isu panas itu segera mendingin setelah Sudirman Said menggelar jumpa pers yang awalnya menjelaskan bahwa keputusan Presiden memilih skema onshore sudah tepat yang mengutamakan kepentingan masyarakat.
Bahkan, mantan direktur utama PT Pindad itu menyatakan selama ini dirinya netral soal pemilihan skema pembangunan Blok Masela. Padahal sudah menjadi rahasia umum perseteruannya dengan Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman Rizal Ramli, salah satunya dipicu oleh proyek Blok Masela yang memilih skema offshore .
Tapi sudahlah toh polemik ini sudah selesai. Dan, Sudirman Said masih menduduki kursi Kabinet Kerja dengan alasan dirinya masih dibutuhkan untuk memberesi negeri ini dari berbagai persoalan serius.
Bagaimana dengan kontraktor Blok Masela? Meski belum ada pemberitahuan secara resmi soal keputusan pemerintah memilih skema onshore, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi memastikan Inpex dan Shell dapat menerima keputusan pemerintah.
Sehari setelah Presiden Jokowi mengumumkan skema pembangunan kilang liquefied natural gas (LNG) di Provinsi Maluku itu, Amien Sunaryadi membeberkan bahwa pihaknya sudah berdiskusi dengan pihak investor yang intinya tidak akan cabut dari proyek Blok Masela.
Persoalannya sekarang, pihak kontraktor memerlukan waktu untuk menghitung ulang rencana kerja atau revisi plan of development (PoD) dari semula memakai skema offshore berubah menjadi skema onshore .
Isu panas yang sempat "membakar" para pengelola negara di tingkat pusat itu memang sudah mendingin, tetapi persoalan besar di daerah sedang mengancam terutama terkait di wilayah atau pulau mana kilang LNG nantinya akan dibangun.
Jangan sampai masyarakat Maluku nanti bertikai di lokasi mana yang layak dibangun kilang Blok Masela, sebab terdapat tiga pulau, yakni Selaru, Tanimbar, dan Aru yang jadi alternatif lokasi pembangunan kilang.
Apalagi, soal pemilihan lokasi kilang menjadi hak penuh kontraktor yang disesuaikan perhitungan dan pertimbangan mereka, terutama terkait dengan lahan yang luas dan pantai yang memenuhi persyaratan untuk menghadirkan pelabuhan besar.
Sementara itu, pihak Kementerian Koordinator Kemaritiman sudah menyebut-nyebut Pulau Selaru yang masuk wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat sebagai tempat yang layak untuk pembangunan kilang LNG Blok Masela. Pulau Selaru sebagaimana diistilahkan Rizal Ramli akan menjadi Balikpapan baru berkat proyek LNG Masela.
Mantan menteri di zaman Presiden Gus Dur itu telah membayangkan sejumlah industri seperti industri petrokimia dan pupuk yang akan menyertai kehadiran kilang LNG di Pulau Selaru.
Pendapatan negara pun akan terdongkrak, setidaknya kocek pemerintah akan terisi sebesar USD6,5 miliar per tahun. Bandingkan bila proyek tersebut menggunakan skema offshore, yang hanya akan menyumbang pendapatan negara sekitar USD2,5 miliar per tahun.
Keputusan pemerintah soal skema pembangunan Blok Masela yang lebih cepat dari target semula pada 2018 yang dibangun di darat, bukan hanya disambut riang dan gembira oleh masyarakat Maluku, melainkan juga kalangan dunia usaha.
Pengusaha yang bernaung di bawah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) memberi apresiasi tersendiri, seraya mengingatkan pemerintah untuk melibatkan pengusaha lokal, entah sebagai pemasok, subkontraktor. Jangan sampai pengusaha lokal jadi penonton di daerahnya. Dan, kita berharap jangan sampai muncul kegaduhan lagi dalam penetapan lokasi kilang.
(dam)