Hubungan Dua Presiden
A
A
A
SULIT untuk tidak mengatakan bahwa saat ini hubungan antara Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dengan (mantan) Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sedang kurang harmonis. Bahkan sebagian menyebutkan komunikasi Presiden Jokowi dengan pendahulunya itu sedang dalam tensi tinggi alias memanas.
SBY yang belakangan ini sibuk turun ke daerah dalam rangka konsolidasi Partai Demokrat memang beberapa kali melontarkan kritik terhadap kinerja Presiden Jokowi. Mulai soal fokus pembangunan infrastruktur yang kurang pas dengan situasi ekonomi, intervensi negara dalam kisruh partai politik, serta prahara persebakbolaan Indonesia yang tak kunjung selesai. Kritik-kritik ini sebenarnya mirip-mirip dengan apa yang selama ini muncul ke ranah publik baik di media massa maupun di media sosial.
Berarti sebenarnya tidak ada yang spektakuler dari poin-poin kritikan yang disampaikan SBY selaku mantan presiden sekaligus ketua umum Partai Demokrat kepada pemerintahan Jokowi. Tanpa disampaikan SBY pun tiga masalah pokok (infrastruktur, PSSI, perpecahan parpol) yang dikemukakan di atas telah menjadi pertanyaan besar banyak pihak.
Yang membedakan adalah respons pemerintah Jokowi terhadap kritikan itu. Kritik yang mencuat di media massa dan ruang publik terhadap kinerja pemerintah tidak mendapat respons dahsyat seperti halnya terhadap kritik yang disampaikan Presiden SBY. Presiden Jokowi pantaslah memperlakukan kritikan SBY sebagai input penting dan krusial untuk ditanggapi.
Posisi SBY sebagai ketua umum parpol serta mantan presiden telah melipatgandakan efek yang ditimbulkan dari kritikan itu. Faktor politisnya sangat terasa meskipun apa yang disampaikan SBY sama dengan apa yang dirasakan sebagian masyarakat.
Melihat kondisi itu, Presiden Jokowi bereaksi cepat dengan counter attack yang cukup mengejutkan lawan. Tiba-tiba saja, di luar jadwal resmi, Presiden Jokowi blusukan ke area proyek Hambalang di Bogor, Jawa Barat, yang mangkrak dan ditumbuhi rumput liar yang lebat. Semua orang tahu, kasus Hambalanglah yang menyeret elite-elite Partai Demokrat masuk bui dan menjadi aib bagi SBY. Karena itu blusukan dadakan Jokowi bisa dibaca sebagai pesan langsung kepada SBY atas kritikan-kritikan itu.
Lantas apa manfaat yang bisa diambil dari kritikan mantan presiden yang dijawab sindiran oleh presiden yang sedang berkuasa? Manfaatnya tentu saja ada. Karena dalam iklim demokrasi, kritik dan beda pendapat terhadap sebuah kebijakan adalah hal lumrah. Akan menjadi aneh ketika publik atau siapa saja yang kurang puas terhadap pemerintah hanya diam dan menerima nasib menjadi orang miskin.
Namun saling lempar bola panas ini bisa menjadi hal yang kontraproduktif bagi keduanya, SBY dan Presiden Jokowi. Bagi Jokowi, kritik berbalas sindiran atau kritik balik itu bisa menjadi sumber kegaduhan baru yang sulit dikontrol Istana. Manajemen konflik Presiden Jokowi terhadap orang-orang sekitar di Istana maupun di kabinet menjadi catatan serius. Hubungan Jokowi dengan pendahulunya (para mantan presiden) terlihat kurang baik dan ini menjadikan poin negatif di mata masyarakat. Ada kesan antikritik di pihak Presiden dan muncul kesan kritik tendensius di sisi SBY.
Mayoritas masyarakat ingin dua presiden ini bisa bahu-membahu sesuai dengan peran dan kedudukannya untuk memajukan negara. Era lama atau semangat membuang jejak para pendahulu oleh pemimpin yang sedang berkuasa harusnya sudah ditinggalkan. Karena di situlah peluang dan terobosan bisa lahir. Paling tidak ada kesinambungan pembangunan antara presiden satu dengan presiden lainnya.
Apa yang dipertontonkan SBY dan Jokowi juga kurang elok. Sebagai sesama politikus berpengalaman, mestinya tidak perlu perang terbuka seperti itu. Jokowi bisa saja memanggil para pengkritiknya kemudian berdebat hebat di ruang privat. Tapi syaratnya tidak boleh dibawa ke luar ruangan.
SBY yang belakangan ini sibuk turun ke daerah dalam rangka konsolidasi Partai Demokrat memang beberapa kali melontarkan kritik terhadap kinerja Presiden Jokowi. Mulai soal fokus pembangunan infrastruktur yang kurang pas dengan situasi ekonomi, intervensi negara dalam kisruh partai politik, serta prahara persebakbolaan Indonesia yang tak kunjung selesai. Kritik-kritik ini sebenarnya mirip-mirip dengan apa yang selama ini muncul ke ranah publik baik di media massa maupun di media sosial.
Berarti sebenarnya tidak ada yang spektakuler dari poin-poin kritikan yang disampaikan SBY selaku mantan presiden sekaligus ketua umum Partai Demokrat kepada pemerintahan Jokowi. Tanpa disampaikan SBY pun tiga masalah pokok (infrastruktur, PSSI, perpecahan parpol) yang dikemukakan di atas telah menjadi pertanyaan besar banyak pihak.
Yang membedakan adalah respons pemerintah Jokowi terhadap kritikan itu. Kritik yang mencuat di media massa dan ruang publik terhadap kinerja pemerintah tidak mendapat respons dahsyat seperti halnya terhadap kritik yang disampaikan Presiden SBY. Presiden Jokowi pantaslah memperlakukan kritikan SBY sebagai input penting dan krusial untuk ditanggapi.
Posisi SBY sebagai ketua umum parpol serta mantan presiden telah melipatgandakan efek yang ditimbulkan dari kritikan itu. Faktor politisnya sangat terasa meskipun apa yang disampaikan SBY sama dengan apa yang dirasakan sebagian masyarakat.
Melihat kondisi itu, Presiden Jokowi bereaksi cepat dengan counter attack yang cukup mengejutkan lawan. Tiba-tiba saja, di luar jadwal resmi, Presiden Jokowi blusukan ke area proyek Hambalang di Bogor, Jawa Barat, yang mangkrak dan ditumbuhi rumput liar yang lebat. Semua orang tahu, kasus Hambalanglah yang menyeret elite-elite Partai Demokrat masuk bui dan menjadi aib bagi SBY. Karena itu blusukan dadakan Jokowi bisa dibaca sebagai pesan langsung kepada SBY atas kritikan-kritikan itu.
Lantas apa manfaat yang bisa diambil dari kritikan mantan presiden yang dijawab sindiran oleh presiden yang sedang berkuasa? Manfaatnya tentu saja ada. Karena dalam iklim demokrasi, kritik dan beda pendapat terhadap sebuah kebijakan adalah hal lumrah. Akan menjadi aneh ketika publik atau siapa saja yang kurang puas terhadap pemerintah hanya diam dan menerima nasib menjadi orang miskin.
Namun saling lempar bola panas ini bisa menjadi hal yang kontraproduktif bagi keduanya, SBY dan Presiden Jokowi. Bagi Jokowi, kritik berbalas sindiran atau kritik balik itu bisa menjadi sumber kegaduhan baru yang sulit dikontrol Istana. Manajemen konflik Presiden Jokowi terhadap orang-orang sekitar di Istana maupun di kabinet menjadi catatan serius. Hubungan Jokowi dengan pendahulunya (para mantan presiden) terlihat kurang baik dan ini menjadikan poin negatif di mata masyarakat. Ada kesan antikritik di pihak Presiden dan muncul kesan kritik tendensius di sisi SBY.
Mayoritas masyarakat ingin dua presiden ini bisa bahu-membahu sesuai dengan peran dan kedudukannya untuk memajukan negara. Era lama atau semangat membuang jejak para pendahulu oleh pemimpin yang sedang berkuasa harusnya sudah ditinggalkan. Karena di situlah peluang dan terobosan bisa lahir. Paling tidak ada kesinambungan pembangunan antara presiden satu dengan presiden lainnya.
Apa yang dipertontonkan SBY dan Jokowi juga kurang elok. Sebagai sesama politikus berpengalaman, mestinya tidak perlu perang terbuka seperti itu. Jokowi bisa saja memanggil para pengkritiknya kemudian berdebat hebat di ruang privat. Tapi syaratnya tidak boleh dibawa ke luar ruangan.
(kur)