Daratan Indonesia Masih Luas, Apa Perlu Reklamasi?
A
A
A
JAKARTA - Rencana beberapa daerah untuk melakukan reklamasi, seperti Bali, Makassar, dan DKI Jakarta dianggap sebagai langkah yang belum perlu dilakukan. Karena Indonesia masih memiliki daratan yang cukup luas.
Penolakan adanya reklamasi tersebut diungkap oleh Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo. “Indonesia tidak perlu reklamasi. Karena tanahnya (masih) luas,” kata Hary, Senin (30/11/2015).
Bukan tanpa alasan Hary menolaknya. Karena dampak yang dihasilkan dari reklamasi tersebut adalah perubahan keseimbangan alam.
Seperti diketahui rencana reklamasi di Jakarta, Bali, dan Makassar, dilatari berbagai alasan.
Reklamasi pantai utara Jakarta dilatarbelakangi agar warga tidak meninggalkan pantai utara dan memadati kawasan Selatan dan Pusat kota Jakarta. Saat ini, Pemprov DKI baru mengkaji 17 pulau yang akan direklamasi.
"Reklamasi dapat berkontribusi pada kawasan pantai utara, pembangunan rumah susun, dan pembangunan hutan mangrove. Pantai utara pun akan ditinggalkan bila tidak dilakukan reklamasi. Penduduk akan memilih ke Selatan, dan Pusat saja," ujar Kepala Bagian Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Jakarta Benny Agus Chandra, Sabtu 22 Agustus 2015 lalu.
Reklamasi pantai utara Jakarta juga perlu dilakukan mengingat kawasan tersebut secara lingkungan cenderung lebih buruk dari kawasan Jakarta lainnya. Seperti kerapnya terjadi banjir rob, maraknya sampah dan limbah, sehingga kerusakannya pun cukup memprihatinkan. Reklamasi diharapkan dapat memperbaiki kawasan utara Jakarta itu.
Namun masyarakat sekitar diberitakan menolak rencana Pemprov DKI tersebut. Mereka menilai, reklamasi pantai utara justru akan merusak alam. Dampak dari reklamasi pulau itu yakni perubahan bentang alam sehingga dikhawatirkan menimbulkan pendangkalan dan berpotensi menciptakan persoalan baru. Selain itu, reklamasi juga berpotensi merusak terumbu karang, dan mengganggu pendinginan PLTU yang dekat dengan lokasi pengembang.
Meski mendapat tentangan, Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama telah mengeluarkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) Gubernur DKI Jakarta No.2238/2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra tertanggal 23 Desember 2014.
PT Muara Wisesa Samudera mendapatkan izin prinsip reklamasi Pulau G di pantai utara Jakarta. Pulau buatan tersebut rencananya akan dibangun seluas 165 hektare. Konsesinya, lima persen dari total lahan akan diserahkan ke Pemprov DKI. PT Muara Wisesa Samudera juga diwajibkan membangun rumah pompa dan membeli mesin pompa air sebagai kompensasi izin reklamasi tersebut.
Di Bali, berbekal Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, Gubernur I Made Mangku Pastika siap melakukan reklamasi.
Namun Pastika menolak menggunakan istilah reklamasi. Menurutnya, yang dilakukannya bukanlah reklamasi, melainkan revitalisasi. "Kalau revitalisasi itu berarti menghidupkan kembali apa yang sudah hampir mati. Saat ini di Teluk Benoa itu sudah hampir mati, rusak, alur air laut juga rusak. Revitalisasi itu akan menghidupkan kembali apa yang sudah mati itu," katanya usai sidang paripurna di Gedung DPRD Bali, Denpasar, Selasa 21 April 2015 silam.
Saat ini, kata Pastika, kondisi Teluk Benoa terancam mati. Alur air laut terhalang oleh sedimentasi.Apabila itu dibiarkan, ancaman banjir rob akan terjadi. Air laut akan membanjiri daratan.
"Vegetasi pesisir juga akan terancam dan sebagainya. Itulah sebabnya perlu revitalisasi. Revitalisasi sangat dibutuhkan untuk mengembalikan alam Teluk Benoa sebagaimana mestinya," ungkapnya.
Aktivis lingkungan menolak keras rencana reklamasi atau revitalisasi itu. Jika rencana itu direaliasikan, maka akan sangat merusak lingkungan dan kehidupan makhluk hidup yang ada di sekitar Teluk Benoa.
Menurutnya biota-biota laut akan mati dan nelayan-nelayan sekitar akan kehilangan mata pencaharian secara permanen. Reklamasi itu juga akan menyebabkan abrasi pantai yang akhirnya akan merusak struktur tanah yang ada di sekitar Teluk Benoa.
Selain merusak kondisi pantai, reklamasi dan membuat pulau baru itu juga akan menyebabkan banjir di sekitar wilayah Bali Selatan. Efeknya akan sangat luar biasa bagi kehidupan sosial masyarakat.
Sementara reklamasi di Makassar juga ditentang oleh para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Tolak Reklamasi (MTR). Seluas 4.000 hektare lahan pesisir di Kecamatan Tamalate, Mariso, Tallo, Biringkanaya, dan Tamalanrea itu, akan berdampak pada kerusakan lingkungan di antaranya rusaknya lahan hutan bakau. Selain itu, akan melenyapkan sumber-sumber ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya di daerah pesisir.
Koalisi MTR yang terdiri dari WALHI Sulsel, Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, LBH Makassar, Forum Informasi dan Komunikasi (FIK) Ornop Sulsel, berpendapat reklamasi akan mengubah bentang alam pesisir, mengubah pola arus lautan karena akan menambah daratan baru. Hutan bakau berpeluang mengalami kerusakan dengan ada reklamasi pesisir seluas 4.000 hektare tersebut.
Penolakan adanya reklamasi tersebut diungkap oleh Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo. “Indonesia tidak perlu reklamasi. Karena tanahnya (masih) luas,” kata Hary, Senin (30/11/2015).
Bukan tanpa alasan Hary menolaknya. Karena dampak yang dihasilkan dari reklamasi tersebut adalah perubahan keseimbangan alam.
Seperti diketahui rencana reklamasi di Jakarta, Bali, dan Makassar, dilatari berbagai alasan.
Reklamasi pantai utara Jakarta dilatarbelakangi agar warga tidak meninggalkan pantai utara dan memadati kawasan Selatan dan Pusat kota Jakarta. Saat ini, Pemprov DKI baru mengkaji 17 pulau yang akan direklamasi.
"Reklamasi dapat berkontribusi pada kawasan pantai utara, pembangunan rumah susun, dan pembangunan hutan mangrove. Pantai utara pun akan ditinggalkan bila tidak dilakukan reklamasi. Penduduk akan memilih ke Selatan, dan Pusat saja," ujar Kepala Bagian Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Jakarta Benny Agus Chandra, Sabtu 22 Agustus 2015 lalu.
Reklamasi pantai utara Jakarta juga perlu dilakukan mengingat kawasan tersebut secara lingkungan cenderung lebih buruk dari kawasan Jakarta lainnya. Seperti kerapnya terjadi banjir rob, maraknya sampah dan limbah, sehingga kerusakannya pun cukup memprihatinkan. Reklamasi diharapkan dapat memperbaiki kawasan utara Jakarta itu.
Namun masyarakat sekitar diberitakan menolak rencana Pemprov DKI tersebut. Mereka menilai, reklamasi pantai utara justru akan merusak alam. Dampak dari reklamasi pulau itu yakni perubahan bentang alam sehingga dikhawatirkan menimbulkan pendangkalan dan berpotensi menciptakan persoalan baru. Selain itu, reklamasi juga berpotensi merusak terumbu karang, dan mengganggu pendinginan PLTU yang dekat dengan lokasi pengembang.
Meski mendapat tentangan, Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama telah mengeluarkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) Gubernur DKI Jakarta No.2238/2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra tertanggal 23 Desember 2014.
PT Muara Wisesa Samudera mendapatkan izin prinsip reklamasi Pulau G di pantai utara Jakarta. Pulau buatan tersebut rencananya akan dibangun seluas 165 hektare. Konsesinya, lima persen dari total lahan akan diserahkan ke Pemprov DKI. PT Muara Wisesa Samudera juga diwajibkan membangun rumah pompa dan membeli mesin pompa air sebagai kompensasi izin reklamasi tersebut.
Di Bali, berbekal Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, Gubernur I Made Mangku Pastika siap melakukan reklamasi.
Namun Pastika menolak menggunakan istilah reklamasi. Menurutnya, yang dilakukannya bukanlah reklamasi, melainkan revitalisasi. "Kalau revitalisasi itu berarti menghidupkan kembali apa yang sudah hampir mati. Saat ini di Teluk Benoa itu sudah hampir mati, rusak, alur air laut juga rusak. Revitalisasi itu akan menghidupkan kembali apa yang sudah mati itu," katanya usai sidang paripurna di Gedung DPRD Bali, Denpasar, Selasa 21 April 2015 silam.
Saat ini, kata Pastika, kondisi Teluk Benoa terancam mati. Alur air laut terhalang oleh sedimentasi.Apabila itu dibiarkan, ancaman banjir rob akan terjadi. Air laut akan membanjiri daratan.
"Vegetasi pesisir juga akan terancam dan sebagainya. Itulah sebabnya perlu revitalisasi. Revitalisasi sangat dibutuhkan untuk mengembalikan alam Teluk Benoa sebagaimana mestinya," ungkapnya.
Aktivis lingkungan menolak keras rencana reklamasi atau revitalisasi itu. Jika rencana itu direaliasikan, maka akan sangat merusak lingkungan dan kehidupan makhluk hidup yang ada di sekitar Teluk Benoa.
Menurutnya biota-biota laut akan mati dan nelayan-nelayan sekitar akan kehilangan mata pencaharian secara permanen. Reklamasi itu juga akan menyebabkan abrasi pantai yang akhirnya akan merusak struktur tanah yang ada di sekitar Teluk Benoa.
Selain merusak kondisi pantai, reklamasi dan membuat pulau baru itu juga akan menyebabkan banjir di sekitar wilayah Bali Selatan. Efeknya akan sangat luar biasa bagi kehidupan sosial masyarakat.
Sementara reklamasi di Makassar juga ditentang oleh para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Tolak Reklamasi (MTR). Seluas 4.000 hektare lahan pesisir di Kecamatan Tamalate, Mariso, Tallo, Biringkanaya, dan Tamalanrea itu, akan berdampak pada kerusakan lingkungan di antaranya rusaknya lahan hutan bakau. Selain itu, akan melenyapkan sumber-sumber ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya di daerah pesisir.
Koalisi MTR yang terdiri dari WALHI Sulsel, Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, LBH Makassar, Forum Informasi dan Komunikasi (FIK) Ornop Sulsel, berpendapat reklamasi akan mengubah bentang alam pesisir, mengubah pola arus lautan karena akan menambah daratan baru. Hutan bakau berpeluang mengalami kerusakan dengan ada reklamasi pesisir seluas 4.000 hektare tersebut.
(hyk)