Mempertanyakan Helikopter Kepresidenan
A
A
A
PRESIDEN Joko Widodo tahun depan bisa blusukan dengan menggunakan helikopter kepresidenan baru, Agusta Westland-AW101. Inilah perdebatan terbaru nan seru mengenai pembelian alutsista di Renstra Minimum Essential Force (MEF) II 2015-2019, selain rencana pembelian pesawat tempur pengganti F-5 Tiger, yakni apakah memilih Sukhoi Su-35 buatan Rusia atau F-16 Viper dari Amerika Serikat (AS) yang belakangan mencoba menyalip di tikungan.
Sorotan paling awal adalah senyapnya rencana pembelian helikopter hasil joint venture antara Westland Helicopters Inggris dan Agusta Italia tersebut. Khalayak membandingkan saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di akhir pemerintahannya membeli pesawat kepresidenan Boeing 737-800 Business Jet. Banyak politikus, pengamat, atau anggota DPR yang dulu bersuara lantang memilih diam pada pembelian helikopter AW 101. Padahal sama-sama sarana transportasi VVIP dan sama-sama tidak urgen.
Namun perdebatan tersebut dengan sendirinya mentah ketika TNI AU menegaskan rencana pembelian helikopter tersebut merupakan bagian dari rencana belanja TNI yang sudah dirancang jauh hari dalam renstra. Bahkan rencananya TNI akan membeli 6 AW 101. Mereka juga mengklaim pilihan membeli AW 101 sudah sesuai dengan kajian Skuadron VVIP TNI AU dan keputusan membeli AW 101 sebagai pilihan terbaik, termasuk bila dibandingkan dengan EC- 725 Cougar yang diproduksi PT Dirgantara Indonesia (DI).
Selesaikah perdebatan dengan adanya jawabanTNIAU tersebut? Tidak. Masih banyak soal yang diperdebatkan sehingga TNI AU perlu berpikir lebih matang lagi, bahkan menganulir rencana pembelian helikopter tersebut. Beberapa soal yang harus dikaji kembali adalah offset seperti apa yang bakal diperoleh? Apakah AW 101 satu-satunya pilihan sehingga tidak bisa disubstitusi dengan jenis lain? Dan apakah benar pembelian helikopter sudah sangat urgen hingga harus diwujudkan dalam renstra II MEF?
Rencana pembelian helikopter maritim supermewah tersebut bisa dibilang cukup mengagetkan. Tiba-tiba TNI AU sudah memutuskan membeli! Di sisi lain, kalangan DPR, terutama Komisi I DPR, sama sekali tidak mengetahui program pembelian tersebut. Jika rencana itu sudah ditetapkan DPR periode sebelumnya, program tersebut juga jauh dari hiruk-pikuk perdebatan. Terutama offset apa yang ditawarkan, termasuk di dalamnya transfer of technology (ToT). ToT menjadi variabel penting karena sudah diamanatkan UU No 03 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Pada rencana pembelian pesawat pengganti F-5 Tiger, misalnya, perdebatan ToT cukup mengemuka selain persoalan politis dan kebutuhan membangun air superiority. AS, dalam hal ini Lockheed Martin, sudah siap menawarkan ToT yang dimaui Indonesia serta iming-iming paket penjualan yang menggiurkan. Adapun Rusia yang selama ini sangat pelit, setelah melalui negosiasi panjang, sudah menyatakan kesediaannya untuk melaksanakan ToT, di antaranya joint production suku cadang dan mendirikan service center di Indonesia.
Selain senyapnya perdebatan ToT, pembelian helikopter memunculkan pertanyaan karena Indonesia, dalam hal ini PT DI, sudah membuat helikopter yang tak kalah canggih dan layak untuk kebutuhan VVIP, yaitu EC-725 Cougar. Malahan, helikopter tersebut sudah digunakan 32 kepala negara. Jika TNI AU mengedepankan keamanan dan kenyamanan sebagai syarat mutlak, PT DI sudah memberikan jaminan akan memenuhinya, termasuk melakukan kustomisasi. Di sisi lain, PT DI berani mengingatkan bahwa AW 101 sangat rentan serangan rudal karena bermesin tiga. Tambahan lagi, harga heli PT DI jauh lebih murah, USD30 juta, daripada AW 101 yang harga bodongnya mencapai USD45 juta per unit.
Poin krusial lain yang tak kalah penting dipersoalkan, apakah Indonesia mutlak memerlukan helikopter untuk VVIP, yakni helikopter yang hanya digunakan untuk wara-wiri Presiden, Wapres, para pejabat negara, atau pimpinan TNI? Padahal, faktanya, Indonesia masih membutuhkan helikopter multiperan yang bisa dimanfaatkan untuk banyak kepentingan, termasuk untuk operasi nonmiliter seperti penanganan bencana. Atau, ketimbang membeli helikopter yang hanya melayani kepentingan segelintir pembesar, kenapa tidak sekalian membeli helikopter tempur yang jumlahnya masih jauh dari kebutuhan minimum?
Sorotan paling awal adalah senyapnya rencana pembelian helikopter hasil joint venture antara Westland Helicopters Inggris dan Agusta Italia tersebut. Khalayak membandingkan saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di akhir pemerintahannya membeli pesawat kepresidenan Boeing 737-800 Business Jet. Banyak politikus, pengamat, atau anggota DPR yang dulu bersuara lantang memilih diam pada pembelian helikopter AW 101. Padahal sama-sama sarana transportasi VVIP dan sama-sama tidak urgen.
Namun perdebatan tersebut dengan sendirinya mentah ketika TNI AU menegaskan rencana pembelian helikopter tersebut merupakan bagian dari rencana belanja TNI yang sudah dirancang jauh hari dalam renstra. Bahkan rencananya TNI akan membeli 6 AW 101. Mereka juga mengklaim pilihan membeli AW 101 sudah sesuai dengan kajian Skuadron VVIP TNI AU dan keputusan membeli AW 101 sebagai pilihan terbaik, termasuk bila dibandingkan dengan EC- 725 Cougar yang diproduksi PT Dirgantara Indonesia (DI).
Selesaikah perdebatan dengan adanya jawabanTNIAU tersebut? Tidak. Masih banyak soal yang diperdebatkan sehingga TNI AU perlu berpikir lebih matang lagi, bahkan menganulir rencana pembelian helikopter tersebut. Beberapa soal yang harus dikaji kembali adalah offset seperti apa yang bakal diperoleh? Apakah AW 101 satu-satunya pilihan sehingga tidak bisa disubstitusi dengan jenis lain? Dan apakah benar pembelian helikopter sudah sangat urgen hingga harus diwujudkan dalam renstra II MEF?
Rencana pembelian helikopter maritim supermewah tersebut bisa dibilang cukup mengagetkan. Tiba-tiba TNI AU sudah memutuskan membeli! Di sisi lain, kalangan DPR, terutama Komisi I DPR, sama sekali tidak mengetahui program pembelian tersebut. Jika rencana itu sudah ditetapkan DPR periode sebelumnya, program tersebut juga jauh dari hiruk-pikuk perdebatan. Terutama offset apa yang ditawarkan, termasuk di dalamnya transfer of technology (ToT). ToT menjadi variabel penting karena sudah diamanatkan UU No 03 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Pada rencana pembelian pesawat pengganti F-5 Tiger, misalnya, perdebatan ToT cukup mengemuka selain persoalan politis dan kebutuhan membangun air superiority. AS, dalam hal ini Lockheed Martin, sudah siap menawarkan ToT yang dimaui Indonesia serta iming-iming paket penjualan yang menggiurkan. Adapun Rusia yang selama ini sangat pelit, setelah melalui negosiasi panjang, sudah menyatakan kesediaannya untuk melaksanakan ToT, di antaranya joint production suku cadang dan mendirikan service center di Indonesia.
Selain senyapnya perdebatan ToT, pembelian helikopter memunculkan pertanyaan karena Indonesia, dalam hal ini PT DI, sudah membuat helikopter yang tak kalah canggih dan layak untuk kebutuhan VVIP, yaitu EC-725 Cougar. Malahan, helikopter tersebut sudah digunakan 32 kepala negara. Jika TNI AU mengedepankan keamanan dan kenyamanan sebagai syarat mutlak, PT DI sudah memberikan jaminan akan memenuhinya, termasuk melakukan kustomisasi. Di sisi lain, PT DI berani mengingatkan bahwa AW 101 sangat rentan serangan rudal karena bermesin tiga. Tambahan lagi, harga heli PT DI jauh lebih murah, USD30 juta, daripada AW 101 yang harga bodongnya mencapai USD45 juta per unit.
Poin krusial lain yang tak kalah penting dipersoalkan, apakah Indonesia mutlak memerlukan helikopter untuk VVIP, yakni helikopter yang hanya digunakan untuk wara-wiri Presiden, Wapres, para pejabat negara, atau pimpinan TNI? Padahal, faktanya, Indonesia masih membutuhkan helikopter multiperan yang bisa dimanfaatkan untuk banyak kepentingan, termasuk untuk operasi nonmiliter seperti penanganan bencana. Atau, ketimbang membeli helikopter yang hanya melayani kepentingan segelintir pembesar, kenapa tidak sekalian membeli helikopter tempur yang jumlahnya masih jauh dari kebutuhan minimum?
(hyk)