Freeport dan Petral

Senin, 23 November 2015 - 06:17 WIB
Freeport dan Petral
Freeport dan Petral
A A A
JIKA kita mendengar nama dua perusahaan itu, asosiasi kita langsung mengarah pada pertarungan kepentingan pelik yang mengelilinginya. PT Freeport adalah perusahaan penambangan emas dan tembaga milik Amerika Serikat (AS) yang diberi kuasa pemerintah Indonesia untuk mengeksplorasi sumber daya alam paling menggiurkan di Papua. Kontrak karya PT Freeport Indonesia akan berakhir pada 2021 mendatang, dan mereka minta pemerintah Indonesia segera memberi kepastian tentang perpanjangan kontrak baru. Sesuai ketentuan perundang-undangan, perpanjangan kontrak karya baru akan dibicarakan dua tahun sebelum kontrak lama habis masa berlakunya, yaitu 2019. Paling tidak itu yang tergambar dari respons Presiden Joko Widodo, yang dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa perpanjangan kontrak karya itu harus mematuhi undang-undang.

Di tengah-tengah situasi yang kurang kondusif itu, tiba-tiba Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said membuka hasil rekaman pertemuan tertutup antara direktur utama PT Freeport Indonesia, ketua DPR, dan seorang pengusaha yang berinisial MRC. Ada poin penting yang ingin disampaikan Sudirman Said kepada publik, yaitu membongkar usaha pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla yang diduga dilakukan ketua DPR bersama pengusaha kondang itu untuk keperluan meminta saham. Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR kini sedang menelaah bukti rekaman yang diberikan Menteri Sudirman Said. MKD akan memutuskan apakah ketua DPR melanggar etika atau tidak, setelah mendengarkan rekaman pembicaraan itu dan tentu setelah memanggil dan meminta keterangan berbagai pihak terkait.

Pergulatan kepentingan mengenai Freeport di internal kabinet Jokowi pun luar biasa vulgar dan terbuka setelah transkrip dan suara rekaman yang dimaksud diberitakan secara luas di media massa. Perang kata dan saling klaim kebenaran di internal kabinet perihal Freeport ini memang pantas kita sesalkan. Apa yang terjadi di lingkungan Kabinet Kerja dalam menangani isu Freeport ini bisa disebut berantakan. Betapa tidak, Menteri ESDM tidak akur dengan menkonya sendiri yang membawahi bidang energi dan sumber daya manusia. Belum lagi pengakuan Menkopolhukam Luhut Pandjaitan yang semakin membuat titik terang di balik kemelut rekaman, catut nama dan permintaan saham PT Freeport Indonesia ini semakin tertutup awal tebal.

Kita tidak tahu mana yang benar dan mana yang berbohong. Publik juga tidak tahu sebenarnya apa yang sedang terjadi di internal kabinet terkait isu perpanjangan kontrak karya Freeport ini. Apakah benar sedang terjadi perebutan ”kue” di balik berbagai manuver isu Freeport ini? Jika dugaan itu benar, tentu ini sangat memalukan bangsa Indonesia. Kita berharap itu tidak benar.

Banyaknya kepentingan di balik isu Freeport juga bisa sangat terlihat pada isu Petral, perusahaan milik Pertamina yang ditugasi mengimpor minyak dari luar negeri. Karena dugaan adanya mafia yang menguasai bisnis minyak sejak puluhan tahun silam, Petral resmi dibubarkan dan diganti sistem baru yang dianggap lebih terbuka dan akuntabel. Namun, isu tentang siapa di balik Petral dan sejauh mana si aktor ini mampu mengendalikan para penguasa, menjadi lebih menarik perhatian publik. Freeport dan Petral adalah dua isu seksi yang sedang berkecamuk di ranah publik. Kita tunggu saja bagaimana hasil akhir dari perang antargeng (meminjam istilah Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli) di balik isu Freeport dan Petral ini? Apakah yang akan dimenangkan adalah kepentingan bangsa dan negara? Atau kepentingan segelintir orang yang akan menang? Kita tunggu saja.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6432 seconds (0.1#10.140)