Derita Tanpa Luka
A
A
A
Sepakat! Tragedi bocah tewas dan dicampakkan di dalam kardus di sebuah gang di Jakarta itu sangat memilukan hati.Sedih bercampur marah menggumpal satu. Namun, ketika masyarakat luas menaruh perhatian mendalam ke kasus anak di Kalideres itu, mengapa banyak orang pada saat yang sama terkesan abai terhadap penderitaan anakanak di Riau, Jambi, dan Kalimantan yang tengah pelanpelan menyongsong ajal. Ini masalah asap, Tuan dan Puan sekalian! Lapar kau bisa tahan.Mengantuk bisa pula kau lawan. Tapi ketika paru-paru sudah tak mampu lagi mencari udara bersih, jangan harap hidup kalian akan panjang! Dan baca baik-baik, simak lamatlamat: aku pampangkan kepada Tuan dan Puan nama Gibran Doktora Desyra dan sekian banyak anak-anak lainnya yang seakan kalian biarkan mati menghirup gas beracun di dalam kurungan. Gibran dan lainnya memang tidak berdarah-darah. Tak ada luka badan yang menganga terlihat oleh mata.Tak juga tampak lebam dan patah-patah tulang. Tapi mereka, yang ribuan bahkan jutaan jumlahnya, juga menderita. Mereka tersiksa. Orang tua anak-anak malang itu pun bisa berbuat apa? Meladang, khawatir nyawa hilang. Menjala di laut, maut menyambut. Menakik getah, napas bukan main payah.Meminta- minta pun tak berguna, karena tidak ada orang kaya sekali pun yang sanggup menyedekahkan udara. Paling-paling bapak-emak hanya mampu mengungsikan anak-anak ke keluarga di lain pulau. Tengok, akibat asap, anggota keluarga tak pelak hidup berserak. Tak dapat akal; jerebu yang melanda Indonesia saban tahun, dan situasi tahun ini adalah yang terburuk, harus diakui telah menjadi bencana lingkungan berskala nasional.*** Gibran dan lainnya yang juga teracuni jerebu berada di titik simpul dari dua unsur dalam bencana lingkungan di Indonesia. Pertama, mereka masih berusia kanak-kanak. Kedua, akibat jerebu, anak-anak itu kini mengidap penyakit yang mengancam nyawa.Dengan kondisi ”sesempurna” itu Gibran dan teman-teman sebayanya adalah korban kegagalan Tuan dan Puan dalam melindungi salah satu kelompok yang paling rentan menjadi korban dalam situasi bencana, sebagaimana isi Sendai Framework for Disaster Risk Reduction2015-2030.Karenaitu, Tuan dan Puan patut selekasnya menjadikan anak sebagai subjek yang tak terpisahkan dalam perancangan dan penerapan kebijakan, rencana, dan standar penanggulangan bencana. Pesan ini juga kukirim ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang baru saja memilih kepengurusan baru. Singkaplah kesadaran masyarakat tentang betapa sulitnya, betapa jarangnya kita bicara tentang jerebu sebagai ancaman nyata terhadap pemenuhan kepentingan terbaik anak.Pun ketukketuklah kepala para aktivis perlindungan anak. Sudah berhari-hari ini forum-forum diskusi memperdengarkan gelumat tentang serba-serbi nelangsa anak-anak yang mengalami kekerasan. Tapi aku kecewa, karena dalam kurun yang sama aku tak melihat mereka bersungguh hati membuat pengang Tuan dan Puan dengan kegusaran mengenai anakanak yang hidup sesak dibekap asap.Kuyakin, semua satu kata ketika menyebut Indonesia darurat kekerasan (seksual) terhadap anak, betapa pun juga kuyakin tak sungguh-sungguh ada parameter tentang kedaruratan yang mereka lambunglambungkan ke angkasa itu. Beda kisah dengan Gibran dan kawan-kawan. Tidak perlu buat gaduh panjang, karena Pasal 59 dan 60 UU Nomor 35/2014 sudah sedemikian telanjang. Tercantum terang-benderang bahwa anak-anak korban bencana alam adalah anak dalam situasi darurat.Dan kepada anak-anak tersebut undang-undang tegaskan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya wajib dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus. Bukan perlindungan biasa! Apa bentuk perlindungan khusus itu? Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya. Cepat. Bukan lambat atau tempo biasa sekalipun!*** Menyala-nyala harapanku agar KPAI mengurangi pendekatan-pendekatan ”pemadam kebakaran” dalam menangani masalah anak-anak Indonesia. KPAI perlu lebih berkonsentrasi membangun sistem yang terkonsep rapi, terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan demi lebih terjaminnya perlindungan anak dan pemenuhan kepentingan terbaik anak-anak Indonesia.Tidak terkecuali perlindungan anak terkait pen-cegahan maupun penanggulangan situasi bencana. Pesanku ke segenap Tuan dan Puan di Istana Negara dan Gedung Kura-Kura: jangan hanya singgah di Negeri Melayu. Ada orang-orang percaya bahwa saat Presiden SBY datang, asap menghilang. Saat Presiden Jokowi tiba, asap pun mereda.Karena itu, sebagaimana penantian rakyat Melayu yang telah berbilang bulan, jangan tergesa-gesa balik ke Jakarta. Menginaplah agak dua tiga hari di Riau, agar bisa merasa langsung bagaimana asap menggerus paru-paru. Wabilkhusus, bangkitkan nyawa anak-anak di sana; beri mereka kesembuhan dan jaminan bahwa ini kali terakhir mereka tak bersekolah karena diserbu jerebu. Pun bagi orang-orang yang sudah mendaulat diri mereka sebagai sosok laksamana di bumi Lancang Kuning.Dulu, kalian angkat sumpah dan disiram beras kuning. Kini kalian bisa dianggap makan sumpah dan dilempar bungin. Berpikirlah lebih lantip daripada keledai dalam mencari akal agar rakyat kalian, tanah kalian, dari masa ke masa lebih terjaga dari dera malapetaka. Bergeraklah lebih ligat sebelum asap terlanjur sampai di langit membawa doa, murka, dan air mata rakyat yang terzalimi. Sudahlah. Malas aku cerita.Telinga kiriku mendesing. Sahlah itu pertanda ”orang-orang kampung” tengah mengeluhkan aku yang tak mampu menolong mereka. Tinggal doa saja di ujung lidah, bahwa rubuh tegaknya Tuan dan Puan sepantasnya ditentukan oleh seberapa jauh kalian mampu memberikan perlindungan bagi anakanak Indonesia. Termasuk perlindungan khusus bagi Gibran dan anak-anak korban bencana alam. Allahu a’lam.Reza Indragiri AmrielPsikolog Forensik, Penulis Buku ”Ajari Ayah, ya Nak”, Pernah Sekolah di Riau
(bhr)