Saudi Permudah RI Akses Identifikasi Jenazah Tragedi Mina
A
A
A
MEKKAH - Memasuki hari ke-17 pasca tragedi Jalan 204, Mina, proses identifikasi jenazah jamaah haji yang dilakukan petugas dari Arab Saudi terus berlangsung.
Meski demikian, sejumlah negara masih kesulitan untuk mengakses data hasil identifikasi, seperti salinan pemindaian sidik jari.
Keluhan dari sejumlah negara ini sampai ke telinga pimpinan pemerintahan Arab Saudi. Raja Salman kemudian memerintahkan agar otoritas kesehatan memudahkan perwakilan negara pengirim jamaah haji untuk membantu melakukan identifikasi.
Dirjen Pembinaan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag), Abdul Djamil menjelaskan, perintah langsung dari Raja Salam itu terungkap saat pihaknya bertemu dengan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Kementerian Luar Negeri wilayah Barat Arab Saudi.
Djamil menjelaskan, dalam pertemuan itu dia menyampaikan permintaan tentang penanganan korban peristiwa Mina, yakni Indonesia meminta agar tim identifikasi mendapatkan kemudahan akses untuk mengidentifikasi jenazah.
“Selanjutnya dikatakan, ada perintah dari Raja Salman untuk memberikan akses bagi misi haji untuk melakukan proses identifikasi atas korban yang ada," kata Djamil di Mekkah, Sabtu 10 Oktober 2015.
Sebelumnya Djamil juga menggelar pertemuan dengan Deputi Menteri Haji Saudi Hussein bin Nasser Al-Sharief. Dalam pertemuan, lanjut Djamil, Syamil menjamin Indonesia bakal memberikan kemudahan akses.
Di hadapan Syarief, Djamil menyatakan masih ada sejumlah jamaah haji Indonesia yang belum kembali ke pemondokan hotelnya di Mekkah.
“Saya meminta supaya Kementerian Haji Arab Saudi ikut cawe-cawe (membantu) dalam memberikan kemudahan dan membantu proses itu,” tegasnya.
Pihak Saudi, lanjut Djamil, menyatakan sudah membuat kantor penanganan darurat di Muaisim. Polisi darurat di Muaisim juga sudah melakukan proses identifikasi terhadap jenazah yang dikumpulkan dari beberapa rumah sakit.
Menurut Djamil, Indonesia mendesak kemudahan akses identifikasi korban mina karena tragedi saling dorong dan injak di akses jalan menuju dan pulang dari jamarat tersebut itu sudah terjadi cukup lama.
“Indonesia tidak hanya membutuhkan data jumlah korban, namun juga identitas para korban tersebut. Siapa dan dari kloter mana,” tandasnya.
Menurut mantan Rektor IAIN Walisongo Semarang ini, identifikasi yang dilakukan oleh kepolisian di Muaishim sering kali tidak jelas. Misalnya, terjadi kesalahan penulisan nama karena otoritas setempat menulis nama latin dengan aksara Arab.
"Terlebih petugas Arab Saudi kurang familiar dengan nama warga Indonesia. Karena itu, kami perlu lakukan kroscek dengan tiga hal,” ucapnya.
Pertama, dari data jamaah yang berangkat haji tahun ini. Kedua, pengecekan melalui kloter dan rombongan yang ada di maktab. Sedangkan ketiga, tim melakukan verifikasi ulang sehingga ada konsistensi nama dan data.
“Setelah itu baru diumumkan secara resmi. Kami mengantisipasi jangan sampai sudah diumumkan menjadi korban namun ternyata orangnya segar-bugar. Ini yang tidak boleh terjadi dan harus kita hindari,” lanjutnya.
Selain itu, lanjut Djamil, pemeriksaan oleh petugas Indonesia diperlukan karena hasil sidik jari tidak langsung menunjukkan identitas. Jika Arab Saudi memberikan akses maka Indonesia dapat melengkapinya.
Apalagi tim Disaster Victim Identification (DVI) Mabes Polri dilengkapi peralatan canggih. Diketahui tim identifikasi dari Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) dan tim Disaster Victim Identification (DVI) kesulitan dalam proses identifikasi jenazah di Pemulasaraan Jenazah Al Muaisim.
Sementara itu, anggota tim identifikasi PPIH Naif Bahri Basri Marjan mengatakan, tim identifikasi PPIH sering menyalin data yang tersimpan di Muaishim secara diam-diam. Dia juga menggunakan aplikasi yang dapat memindai dokumen di telepon selulernya.
“Kalau tidak begitu nanti prosesnya lama sehingga memperlambat proses identifikasi jenazah,” jelasnya.
Pilihan:
Keponakan Prabowo Kritik Sikap Pemerintah Lelet Tangani Asap
JK Tak Setuju Koruptor Diampuni
Meski demikian, sejumlah negara masih kesulitan untuk mengakses data hasil identifikasi, seperti salinan pemindaian sidik jari.
Keluhan dari sejumlah negara ini sampai ke telinga pimpinan pemerintahan Arab Saudi. Raja Salman kemudian memerintahkan agar otoritas kesehatan memudahkan perwakilan negara pengirim jamaah haji untuk membantu melakukan identifikasi.
Dirjen Pembinaan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag), Abdul Djamil menjelaskan, perintah langsung dari Raja Salam itu terungkap saat pihaknya bertemu dengan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Kementerian Luar Negeri wilayah Barat Arab Saudi.
Djamil menjelaskan, dalam pertemuan itu dia menyampaikan permintaan tentang penanganan korban peristiwa Mina, yakni Indonesia meminta agar tim identifikasi mendapatkan kemudahan akses untuk mengidentifikasi jenazah.
“Selanjutnya dikatakan, ada perintah dari Raja Salman untuk memberikan akses bagi misi haji untuk melakukan proses identifikasi atas korban yang ada," kata Djamil di Mekkah, Sabtu 10 Oktober 2015.
Sebelumnya Djamil juga menggelar pertemuan dengan Deputi Menteri Haji Saudi Hussein bin Nasser Al-Sharief. Dalam pertemuan, lanjut Djamil, Syamil menjamin Indonesia bakal memberikan kemudahan akses.
Di hadapan Syarief, Djamil menyatakan masih ada sejumlah jamaah haji Indonesia yang belum kembali ke pemondokan hotelnya di Mekkah.
“Saya meminta supaya Kementerian Haji Arab Saudi ikut cawe-cawe (membantu) dalam memberikan kemudahan dan membantu proses itu,” tegasnya.
Pihak Saudi, lanjut Djamil, menyatakan sudah membuat kantor penanganan darurat di Muaisim. Polisi darurat di Muaisim juga sudah melakukan proses identifikasi terhadap jenazah yang dikumpulkan dari beberapa rumah sakit.
Menurut Djamil, Indonesia mendesak kemudahan akses identifikasi korban mina karena tragedi saling dorong dan injak di akses jalan menuju dan pulang dari jamarat tersebut itu sudah terjadi cukup lama.
“Indonesia tidak hanya membutuhkan data jumlah korban, namun juga identitas para korban tersebut. Siapa dan dari kloter mana,” tandasnya.
Menurut mantan Rektor IAIN Walisongo Semarang ini, identifikasi yang dilakukan oleh kepolisian di Muaishim sering kali tidak jelas. Misalnya, terjadi kesalahan penulisan nama karena otoritas setempat menulis nama latin dengan aksara Arab.
"Terlebih petugas Arab Saudi kurang familiar dengan nama warga Indonesia. Karena itu, kami perlu lakukan kroscek dengan tiga hal,” ucapnya.
Pertama, dari data jamaah yang berangkat haji tahun ini. Kedua, pengecekan melalui kloter dan rombongan yang ada di maktab. Sedangkan ketiga, tim melakukan verifikasi ulang sehingga ada konsistensi nama dan data.
“Setelah itu baru diumumkan secara resmi. Kami mengantisipasi jangan sampai sudah diumumkan menjadi korban namun ternyata orangnya segar-bugar. Ini yang tidak boleh terjadi dan harus kita hindari,” lanjutnya.
Selain itu, lanjut Djamil, pemeriksaan oleh petugas Indonesia diperlukan karena hasil sidik jari tidak langsung menunjukkan identitas. Jika Arab Saudi memberikan akses maka Indonesia dapat melengkapinya.
Apalagi tim Disaster Victim Identification (DVI) Mabes Polri dilengkapi peralatan canggih. Diketahui tim identifikasi dari Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) dan tim Disaster Victim Identification (DVI) kesulitan dalam proses identifikasi jenazah di Pemulasaraan Jenazah Al Muaisim.
Sementara itu, anggota tim identifikasi PPIH Naif Bahri Basri Marjan mengatakan, tim identifikasi PPIH sering menyalin data yang tersimpan di Muaishim secara diam-diam. Dia juga menggunakan aplikasi yang dapat memindai dokumen di telepon selulernya.
“Kalau tidak begitu nanti prosesnya lama sehingga memperlambat proses identifikasi jenazah,” jelasnya.
Pilihan:
Keponakan Prabowo Kritik Sikap Pemerintah Lelet Tangani Asap
JK Tak Setuju Koruptor Diampuni
(maf)