Bencana Asap

Jum'at, 18 September 2015 - 19:14 WIB
Bencana Asap
Bencana Asap
A A A
Malang nian nasib masyarakat Riau dan sebagian besar mereka yang tinggal di Sumatera dan Kalimantan. Sudah lebih dari dua pekan belakangan mereka tidak bisa ”hidup” selayaknya seperti hari-hari biasa.

Bagaimana bisa menikmati hidup, untuk bernapas pun mereka kesulitan. Bagaimana tidak, udara bebas yang mereka hirup sudah penuh dengan partikel asap akibat kebakaran hutan dan lahan di wilayah mereka. Tidak ada lagi ruang segar bisa mereka nikmati, termasuk dalam ruangan tertutup. Mereka kini sepenuhnya dalam cengkeraman bencana asap.

Bernapas sulit, melihat pun sulit. Celakanya, mereka tidak lari dari kondisi tersebut, karena hampir semua moda transportasi di wilayah mereka lumpuh. Penerbangan udara seperti di Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Riau; Bandara Sultan Thaha Kota Jambi, Jambi; dan Bandara Hang Nadim Batam, Kepulauan Riau hingga kemarin masih terganggu.

Tak ayal masyarakat di sana seperti nyamuk yang terjebak dalam kamar yang tengah disemprot asap saat wabah demam berdarah melanda. Akibatnya, satu per satu jatuh sakit dan harus masuk rumah sakit. Hingga kemarin, sudah puluhan ribu masuk rumah sakit, sebagian besar akibat infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Bahkan di Riau, seorang bocah sudah meninggal dunia.

Lantas apa yang bisa dilakukan negara untuk menolong dan melindungi warganya? Hampir bisa dikatakan tidak ada. Kondisi demikian terus berulang dan berulang setiap tahun di musim kemarau. Sejauh ini pula, berbagai jurus yang dikeluarkan pemerintah, termasuk di dalamnya pencegahan dan penegakan hukum, seperti membentur ruang kosong.

Teranyar, Presiden Joko Widodo kembali meneriakkan pentingnya penegakan hukum terhadap mereka yang sengaja melakukan pembakaran lahan dan hutan, terutama dari korporasi. Di sisi lain, Polri pun sudah menetapkan 140 tersangka, di antaranya 7 dari korporasi. Siapa pun berharap hukum benar-benar bisa ditegakkanapalagi diikuti dengan sanksi berat, black list, dan pencabutan izinhingga bisa menjadi efek jera.

Harapan ini perlu digarisbawahi karena selama ini penegakan hukum tidak pernah berdaya, terutama menghadapi kekuatan korporasi. Terakhir, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengeluhkan 10 kasus yang ditangani jajarannya masih pada tahap L-19 alias bolak-balik di kejaksaan.

Bahkan, Kementerian LHK sudah dibuat tak berdaya dengan adanya keputusan Pengadilan Negeri Bengkalis yang menjatuhkan vonis bebas untuk PT National Sago Prima (NSP) yang diduga telah membakar lahan seluas 21.418 hektare di kawasan Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Memang tidak mudah menangani kasus yang melibatkan korporasi.

Kalaupun mereka benar membakar lahan dan hutan, mereka melakukannya dengan cara yang sangat rapi, seperti mengupas buah nangka tanpa terkena getahnya. Kalaupun ada yang terjerat, hanya sebatas kaki tangan atau pelaku lapangan, bukan eksekutif atau otak intelektual. Korporasi yang berlaku jahat pun aman dari jangkauan.

Tak dapat dimungkiri, seperti kasak-kusuk yang banyak bertebaran, korporasi bisa dengan mudah melakukan pembakaran lahan untuk replanting, sehingga tidak mengeluarkan banyak biaya operasional karena mereka melibatkan aparat lokal. Dengan kekuatan uang, mereka pun menyiapkan jejaring pengaman hingga pengadilan. Benarkah demikian? Entahlah.

Semuanya bergantung pada negara untuk bisa membuktikan. Seperti pada kasus yang melibatkan NSP, jangan sampai negara dikalahkan. Jika ternyata negara nantinya terus dikalahkan, jangan-jangan tudingan Walhi yang menyebut kebakaran lahan dan hutan merupakan buah konspirasi jahat atau korporasi dengan aparat negara adalah suatu kebenaran.

Penegakan hukum terhadap mereka yang sudah dijadikan tersangka oleh Polri akan menjadi tolok ukur sejauh mana negara serius menghentikan terulangnya kebakaran dan bencana asap. Tanpa penegakan hukum dan efek jera, mustahil kebakaran bisa dicegah. Para pelaku pembakaran, termasuk korporasi jahat, tidak akan pernah menggubris negara, tidak mau tahu etika, dan tidak akan peduli masyarakat yang menjadi korbannya.

Mereka hanya memikirkan satu hal: bagaimana meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Jika demikian, sampai kapan bencana asap melanda?
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0820 seconds (0.1#10.140)