Opportunity Cost
A
A
A
Anda yang pernah belajar ilmu ekonomi pasti kenal dengan istilah opportunity cost. Ini istilah dasar yang penting dipahami para pelaku ekonomi, pembuat kebijakan, dan terlebih kini para penegak hukum, auditor, dan para komentator.
Secara sederhana opportunity cost diartikan sebagai biaya yang harus kita tanggung karena memilih suatu peluang dan mengabaikan (atau tidak memilih) peluang yang lain. Misalnya, pilih bekerja atau kuliah. Kalau kuliah, berarti kita kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan selama 4 tahun. Jadi setiap kesempatan itu ada biayanya karena kita harus mengorbankan yang lainnya.
Kita menghadapi tantangan keterbatasan (scarcity ), tetapi diberi pilihan (choice ). Seperti kata pepatah, no pain no gain.Mau gain sesuatu, ya bayarlah pain -nya. Anda tak bisa meraih sesuatu tanpa mengorbankan atau tanpa mengeluarkan biaya sama sekali, termasuk biaya kegagalan. Bahkan sebuah keputusan yang diambil dengan hitungan masak sekalipun ada saja pengorbanan yang harus dilakukan.
Namanya juga manusia, akalnya terbatas. Bagi orang tua tentu penting menanamkan sikap dan konsep ini sehingga anak-anak bisa mengambil keputusan yang baik dan menyadari bahwa hidup ini tak bisa dijalankan dalam ruang yang sempurna dan mau semua. Kita harus mengambil pilihan dan bersedia berkorban. Misalnya saat anak diberi uang saku.
Mereka punya pilihan, menghabiskan uangnya di kantin sekolah atau ditabung? Kalau ditabung, tentu kita kehilangan kesempatan mentraktir teman (yang artinya membangun hubungan). Tapi kalau ditabung, ia akan punya kesempatan mendapatkan sesuatu yang lebih besar di kemudian hari (dan melatih menahan diri). Meski secara individu kita terbiasa menghitung opportunity cost, urusannya menjadi lain ketika bicara dalam tataran kolektif.
Saat bernegara kita agaknya kurang pandai dalam menghitung dan mengaplikasikan opportunity cost. Kita kurang mampu melihat jauh ke depan sehingga sulit membaca peluang yang bakal membentang. Bahkan kurang mampu mengantisipasi sesuatu yang besar di masa depan karena kita lebih suka bicara tentang ”kerugian negara” yang transaksional, yang kasatmata karena hanya mengenal biaya sebagai out of pocket cost.
Artinya ”out of anggaran”. Contoh paling klasik adalah kasus PT PLN. Bayangkan suatu ketika kita di era SBY, Indonesia pernah amat ribut kekurangan listrik. Di mana-mana kita saksikan amarah masyarakat. Begitu diangkat menjadi dirut PLN, Dahlan Iskan langsung ambil tindakan cepat. Ia memasang diesel dan membangun pembangkit di mana-mana.
Karena harus cepat, prosedur mungkin terlewatkan. Biayanya mungkin lebih mahal kalau kita lebih berhati-hati dan mau menunda setahun atau dua tahun lagi. Dan kalau dipacu waktu, bisa saja ada celah yang kurang pas. Katakanlah tertipu vendor. Begitu alat terpasang, sangat mungkin ada yang mangkrak beberapa waktu. Ternyata tak ada turn key project.
Semua alat besar selalu menuntut kita menjalani kurva belajar. Dan belajar itu meletihkan, ada biaya kesalahan yang harus kita bayar. Mungkin kesalahan karena kita memakai batu bara grade B, nyatanya harus grade A. Waktu membeli kita tak diberi tahu, tak tanya pula karena tak mengerti.
Di Pelindo 2 yang lagi ramai diberitakan mobile crane yang baru dibeli mangkrak, nyatanya selama 8 bulan alatalat itu sudah terpakai 99-100 jam. Bagi sebagian orang alatalat itu sudah harus berjalan 150 jam. Tapi karena alat harus berpindah (mobile ) dan ada masa pembelajaran, tak mungkin bisa langsung 150 jam. Hal-hal seperti itu pasti seorang pembelajar.
Makanya saya katakan, auditor dan penegak hukum jangan pakai kacamata kuda. Bisnis tak akan ada yang jalan kalau mereka mudah disetir dan tak paham konsep opportunity cost. Semua pengusaha pasti pernah melakukan sesuatu yang kata orang lain adalah pemborosan. Kini yang harus diuji adalah: adakah motif kesengajaan di dalamnya, motif memperkaya diri kalau itu milik negara?
Kalau mangkrak saja, di hampir semua Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sejak zaman Belanda sampai kiamat, akan selalu ditemui alat-alat yang baru dibeli langsung mangkrak. Makanya bank amat takut dengan risiko ini, bahkan bila perlu mereka tambahkan suntikan modal dan tenor yang lebih panjang agar kesalahan nasabahnya dalam membeli tak berakibat pada kemacetan kredit.
Anda mungkin masih ingat ucapan Dahlan Iskan saat ditunjuk menjadi direktur PLN dan berhadapan dengan kelangkaan pasokan listrik. Dia langsung kerja cepat dan berujar, ”Saya rela masuk penjara kalau disalahkan.” Dan terjadilah rangkaian kesalahan yang akibatnya baru diketahui beberapa tahun kemudian dan ia nyaris masuk penjara.
Tapi, kata sebuah iklan, ngga ada elo ngga rame, dan itu disukai wartawan yang mengais berita. Sebagian orang memang senang mengambil keputusan berlamalama dan rela dicaci-maki demi mengambil keputusan yang ”aman”. Tapi keduanya samasama menyandang opportunity cost.
Dalam kecepatan pengambilan keputusan, ada kesalahan 1 dari 10, tetapi di sana juga ada peluang, yaitu mempertahankan industri dan lapangan kerja. Kita lihat masalah listrik ”agak” berkurang. Amarah rakyat mereda. Pasokan listrik membaik. Cuma beberapa tahun kemudian ”ada temuan” dan biaya yang harus ditanggung pengambil keputusan amat besar. Apalagi kalau labelnya adalah ”korupsi”, bukan fraud.
IPTN
Baiklah kita lihat kasus lain. Ini soal PT IPTN yang kini menjadi PT Dirgantara Indonesia. IPTN digagas oleh Menteri Riset dan Teknologi yang merangkap sebagai Kepala BPPT BJ Habibie pada 1976. Para ekonom saat itu menolak gagasan Habibie. Mereka menilai Indonesia negara agraris.
Untuk apa menghabiskan dana saat itu untuk membuat pesawat. Lebih baik dialokasikan untuk membangun bendungan, pabrik pupuk atau mencetak sawah-sawah baru. Hanya berkat kedekatan Habibie dengan Soeharto, IPTN bisa terus bergulir. Ketika itu ongkos IPTN memang jauh lebih mahal ketimbang produk yang bisa dihasilkannya.
Namanya juga teknologi tinggi dan kita baru belajar, pasti mahal. Sayang pada 1997/1998 negara kita diguncang krisis ekonomi. Bahkan krisis politik. Kita membutuhkan bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Sebagai syaratnya, IMF mau membantu kalau pemerintah menutup IPTN. Maka, berakhirlah era IPTN, yang kemudian murni menjadi BUMN biasa—bukan BUMN strategis lagi—dengan nama PT Dirgantara Indonesia.
Kita kemudian terhenyak dan terkenang kembali dengan IPTN ketika Rusdi Kirana, pemilik Lion Air, memborong ratusan pesawat dari Boeing maupun Airbus. Itu sekitar tahun 2011. Rusdi memborong 230 pesawat dari Boeing senilai USD22,4 miliar. Kalau memakai kurs saat itu nilainya kurang lebih Rp195 triliun. Belum hilang rasa kaget kita dengan pembelian pesawat sebanyak itu, Rusdi Kirana sudah memborong lagi 234 pesawat dari Airbus. Nilainya USD24 miliar atau setara Rp230 triliun. D
engan volume pembelian sebanyak itu, saya tak heran kalau Presiden AS Barack Obama mau menyaksikan langsung penandatanganan transaksi tersebut. Ketika Rusdi memborong pesawat dari Boeing, kinerja perekonomian AS sedang tak terlalu bagus. Boeing bahkan termasuk salah satu perusahaan yang bermasalah. Ribuan karyawannya terancam di-PHK.
Maka, langkah Rusdi memborong pesawat dari Boeing mengangkat kembali kinerja produsen pesawat tersebut. Setelah Lion Air, Garuda Indonesia kemudian juga melakukan langkah serupa. Maskapai penerbangan nasional itu membeli puluhan pesawat dari Boeing dan Airbus.
Waktu saya tanya mereka, keduanya menjawab: saya bukan sedang menolong mereka, tapi mereka yang menolong saya. Kami beli selagi mereka sulit menjual, harganya murah, bunga kreditnya rendah, barangnya datang nanti begitu ekonomi membaik dan pesaing kita sudah kehilangan kesempatan merebut pasar.
Kalau saja waktu itu IPTN tidak ditutup, bukan tidak mungkin sebagian pesawat buatan perusahaan itu yang bakal dibeli Rusdi atau Garuda untuk menjadi feeder bagi induknya. Ingat, kedua maskapai itu juga membeli pesawat-pesawat berukuran sedang dan kecil. Apalagi menjelang krisis ekonomi 1998, IPTN tengah mendesain pesawat berbadan lebar, N2130.
Berapa banyak kerugian yang harus kita tanggung lantaran menutup IPTN? Banyak. Bukan hanya nilai uangnya, tetapi juga intangible assets lainnya yang lari ke luar. Setelah ditutup, banyak karyawan IPTN yang direkrut produsen pesawat dari negara-negara asing. Kerugian lainnya, lantaran tidak mempunyai visi yang jauh ke depan, kita kehilangan kesempatan untuk membangun industri dirgantara yang kokoh.
Padahal, sebagai negara kepulauan, kita membutuhkan itu. Kita membutuhkan pesawatpesawat baik yang berbadan besar maupun kecil. Tapi di lain pihak, para ekonom saat itu juga melihat opportunity cost yang lain, yaitu hilangnya kesempatan membangun pertanian kalau dananya tersedot ke teknologi tinggi.
Mencari Kesalahan
Sayangnya bangsa kita kurang canggih mengolah opportunity cost. Kita lebih cerdas ”asal menghabiskan anggaran”. Berpikirnya silo-ist, kurang memperkaya diri dengan perspektif pilihan yang luas. Kurang mau berkorban. Kita hanya memikirkan kepentingan masing- masing.
Para oknum di banyak perusahaan negara dan para aparatur negara takut kehilangan kesempatan memeras karena adanya change leader dan kini hanya berjuang dengan satu pilihan: ganti bos. Padahal bos itulah yang membuat mereka hidup sejahtera dari uang yang halal.
Demikian juga di bidang penegakan hukum, terlalu banyak aturan yang dicari-cari dan mereka tak mau berpikir bahwa pemimpin yang hebat itu bekerja dengan opportunity cost. Prestasinya Anda abaikan, salahnya Anda besar-besarkan. Mau jadi apa negeri ini?
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
Secara sederhana opportunity cost diartikan sebagai biaya yang harus kita tanggung karena memilih suatu peluang dan mengabaikan (atau tidak memilih) peluang yang lain. Misalnya, pilih bekerja atau kuliah. Kalau kuliah, berarti kita kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan selama 4 tahun. Jadi setiap kesempatan itu ada biayanya karena kita harus mengorbankan yang lainnya.
Kita menghadapi tantangan keterbatasan (scarcity ), tetapi diberi pilihan (choice ). Seperti kata pepatah, no pain no gain.Mau gain sesuatu, ya bayarlah pain -nya. Anda tak bisa meraih sesuatu tanpa mengorbankan atau tanpa mengeluarkan biaya sama sekali, termasuk biaya kegagalan. Bahkan sebuah keputusan yang diambil dengan hitungan masak sekalipun ada saja pengorbanan yang harus dilakukan.
Namanya juga manusia, akalnya terbatas. Bagi orang tua tentu penting menanamkan sikap dan konsep ini sehingga anak-anak bisa mengambil keputusan yang baik dan menyadari bahwa hidup ini tak bisa dijalankan dalam ruang yang sempurna dan mau semua. Kita harus mengambil pilihan dan bersedia berkorban. Misalnya saat anak diberi uang saku.
Mereka punya pilihan, menghabiskan uangnya di kantin sekolah atau ditabung? Kalau ditabung, tentu kita kehilangan kesempatan mentraktir teman (yang artinya membangun hubungan). Tapi kalau ditabung, ia akan punya kesempatan mendapatkan sesuatu yang lebih besar di kemudian hari (dan melatih menahan diri). Meski secara individu kita terbiasa menghitung opportunity cost, urusannya menjadi lain ketika bicara dalam tataran kolektif.
Saat bernegara kita agaknya kurang pandai dalam menghitung dan mengaplikasikan opportunity cost. Kita kurang mampu melihat jauh ke depan sehingga sulit membaca peluang yang bakal membentang. Bahkan kurang mampu mengantisipasi sesuatu yang besar di masa depan karena kita lebih suka bicara tentang ”kerugian negara” yang transaksional, yang kasatmata karena hanya mengenal biaya sebagai out of pocket cost.
Artinya ”out of anggaran”. Contoh paling klasik adalah kasus PT PLN. Bayangkan suatu ketika kita di era SBY, Indonesia pernah amat ribut kekurangan listrik. Di mana-mana kita saksikan amarah masyarakat. Begitu diangkat menjadi dirut PLN, Dahlan Iskan langsung ambil tindakan cepat. Ia memasang diesel dan membangun pembangkit di mana-mana.
Karena harus cepat, prosedur mungkin terlewatkan. Biayanya mungkin lebih mahal kalau kita lebih berhati-hati dan mau menunda setahun atau dua tahun lagi. Dan kalau dipacu waktu, bisa saja ada celah yang kurang pas. Katakanlah tertipu vendor. Begitu alat terpasang, sangat mungkin ada yang mangkrak beberapa waktu. Ternyata tak ada turn key project.
Semua alat besar selalu menuntut kita menjalani kurva belajar. Dan belajar itu meletihkan, ada biaya kesalahan yang harus kita bayar. Mungkin kesalahan karena kita memakai batu bara grade B, nyatanya harus grade A. Waktu membeli kita tak diberi tahu, tak tanya pula karena tak mengerti.
Di Pelindo 2 yang lagi ramai diberitakan mobile crane yang baru dibeli mangkrak, nyatanya selama 8 bulan alatalat itu sudah terpakai 99-100 jam. Bagi sebagian orang alatalat itu sudah harus berjalan 150 jam. Tapi karena alat harus berpindah (mobile ) dan ada masa pembelajaran, tak mungkin bisa langsung 150 jam. Hal-hal seperti itu pasti seorang pembelajar.
Makanya saya katakan, auditor dan penegak hukum jangan pakai kacamata kuda. Bisnis tak akan ada yang jalan kalau mereka mudah disetir dan tak paham konsep opportunity cost. Semua pengusaha pasti pernah melakukan sesuatu yang kata orang lain adalah pemborosan. Kini yang harus diuji adalah: adakah motif kesengajaan di dalamnya, motif memperkaya diri kalau itu milik negara?
Kalau mangkrak saja, di hampir semua Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sejak zaman Belanda sampai kiamat, akan selalu ditemui alat-alat yang baru dibeli langsung mangkrak. Makanya bank amat takut dengan risiko ini, bahkan bila perlu mereka tambahkan suntikan modal dan tenor yang lebih panjang agar kesalahan nasabahnya dalam membeli tak berakibat pada kemacetan kredit.
Anda mungkin masih ingat ucapan Dahlan Iskan saat ditunjuk menjadi direktur PLN dan berhadapan dengan kelangkaan pasokan listrik. Dia langsung kerja cepat dan berujar, ”Saya rela masuk penjara kalau disalahkan.” Dan terjadilah rangkaian kesalahan yang akibatnya baru diketahui beberapa tahun kemudian dan ia nyaris masuk penjara.
Tapi, kata sebuah iklan, ngga ada elo ngga rame, dan itu disukai wartawan yang mengais berita. Sebagian orang memang senang mengambil keputusan berlamalama dan rela dicaci-maki demi mengambil keputusan yang ”aman”. Tapi keduanya samasama menyandang opportunity cost.
Dalam kecepatan pengambilan keputusan, ada kesalahan 1 dari 10, tetapi di sana juga ada peluang, yaitu mempertahankan industri dan lapangan kerja. Kita lihat masalah listrik ”agak” berkurang. Amarah rakyat mereda. Pasokan listrik membaik. Cuma beberapa tahun kemudian ”ada temuan” dan biaya yang harus ditanggung pengambil keputusan amat besar. Apalagi kalau labelnya adalah ”korupsi”, bukan fraud.
IPTN
Baiklah kita lihat kasus lain. Ini soal PT IPTN yang kini menjadi PT Dirgantara Indonesia. IPTN digagas oleh Menteri Riset dan Teknologi yang merangkap sebagai Kepala BPPT BJ Habibie pada 1976. Para ekonom saat itu menolak gagasan Habibie. Mereka menilai Indonesia negara agraris.
Untuk apa menghabiskan dana saat itu untuk membuat pesawat. Lebih baik dialokasikan untuk membangun bendungan, pabrik pupuk atau mencetak sawah-sawah baru. Hanya berkat kedekatan Habibie dengan Soeharto, IPTN bisa terus bergulir. Ketika itu ongkos IPTN memang jauh lebih mahal ketimbang produk yang bisa dihasilkannya.
Namanya juga teknologi tinggi dan kita baru belajar, pasti mahal. Sayang pada 1997/1998 negara kita diguncang krisis ekonomi. Bahkan krisis politik. Kita membutuhkan bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Sebagai syaratnya, IMF mau membantu kalau pemerintah menutup IPTN. Maka, berakhirlah era IPTN, yang kemudian murni menjadi BUMN biasa—bukan BUMN strategis lagi—dengan nama PT Dirgantara Indonesia.
Kita kemudian terhenyak dan terkenang kembali dengan IPTN ketika Rusdi Kirana, pemilik Lion Air, memborong ratusan pesawat dari Boeing maupun Airbus. Itu sekitar tahun 2011. Rusdi memborong 230 pesawat dari Boeing senilai USD22,4 miliar. Kalau memakai kurs saat itu nilainya kurang lebih Rp195 triliun. Belum hilang rasa kaget kita dengan pembelian pesawat sebanyak itu, Rusdi Kirana sudah memborong lagi 234 pesawat dari Airbus. Nilainya USD24 miliar atau setara Rp230 triliun. D
engan volume pembelian sebanyak itu, saya tak heran kalau Presiden AS Barack Obama mau menyaksikan langsung penandatanganan transaksi tersebut. Ketika Rusdi memborong pesawat dari Boeing, kinerja perekonomian AS sedang tak terlalu bagus. Boeing bahkan termasuk salah satu perusahaan yang bermasalah. Ribuan karyawannya terancam di-PHK.
Maka, langkah Rusdi memborong pesawat dari Boeing mengangkat kembali kinerja produsen pesawat tersebut. Setelah Lion Air, Garuda Indonesia kemudian juga melakukan langkah serupa. Maskapai penerbangan nasional itu membeli puluhan pesawat dari Boeing dan Airbus.
Waktu saya tanya mereka, keduanya menjawab: saya bukan sedang menolong mereka, tapi mereka yang menolong saya. Kami beli selagi mereka sulit menjual, harganya murah, bunga kreditnya rendah, barangnya datang nanti begitu ekonomi membaik dan pesaing kita sudah kehilangan kesempatan merebut pasar.
Kalau saja waktu itu IPTN tidak ditutup, bukan tidak mungkin sebagian pesawat buatan perusahaan itu yang bakal dibeli Rusdi atau Garuda untuk menjadi feeder bagi induknya. Ingat, kedua maskapai itu juga membeli pesawat-pesawat berukuran sedang dan kecil. Apalagi menjelang krisis ekonomi 1998, IPTN tengah mendesain pesawat berbadan lebar, N2130.
Berapa banyak kerugian yang harus kita tanggung lantaran menutup IPTN? Banyak. Bukan hanya nilai uangnya, tetapi juga intangible assets lainnya yang lari ke luar. Setelah ditutup, banyak karyawan IPTN yang direkrut produsen pesawat dari negara-negara asing. Kerugian lainnya, lantaran tidak mempunyai visi yang jauh ke depan, kita kehilangan kesempatan untuk membangun industri dirgantara yang kokoh.
Padahal, sebagai negara kepulauan, kita membutuhkan itu. Kita membutuhkan pesawatpesawat baik yang berbadan besar maupun kecil. Tapi di lain pihak, para ekonom saat itu juga melihat opportunity cost yang lain, yaitu hilangnya kesempatan membangun pertanian kalau dananya tersedot ke teknologi tinggi.
Mencari Kesalahan
Sayangnya bangsa kita kurang canggih mengolah opportunity cost. Kita lebih cerdas ”asal menghabiskan anggaran”. Berpikirnya silo-ist, kurang memperkaya diri dengan perspektif pilihan yang luas. Kurang mau berkorban. Kita hanya memikirkan kepentingan masing- masing.
Para oknum di banyak perusahaan negara dan para aparatur negara takut kehilangan kesempatan memeras karena adanya change leader dan kini hanya berjuang dengan satu pilihan: ganti bos. Padahal bos itulah yang membuat mereka hidup sejahtera dari uang yang halal.
Demikian juga di bidang penegakan hukum, terlalu banyak aturan yang dicari-cari dan mereka tak mau berpikir bahwa pemimpin yang hebat itu bekerja dengan opportunity cost. Prestasinya Anda abaikan, salahnya Anda besar-besarkan. Mau jadi apa negeri ini?
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
(ftr)