Penanganan Kasus Korupsi Stagnan

Selasa, 15 September 2015 - 11:12 WIB
Penanganan Kasus Korupsi Stagnan
Penanganan Kasus Korupsi Stagnan
A A A
JAKARTA - Penanganan kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum (APH) di semester pertama 2015 dinilai masih stagnan, bahkan cenderung menurun. Hanya separuh kasus korupsi yang sudah naik ke level penuntutan.

Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), APH hanya mampu menaikkan status 1.254 kasus atau sekitar 50,6% dari total kasus ke penuntutan dengan nilai kerugian negara Rp18,3 triliun. Sisanya, 1.223 kasus atau 49,4% dari total kasus senilai Rp11,04 triliun, masih tetap berstatus penyidikan.

”Kami meyakini kapasitas SDM (sumber daya manusia) penyidik APH memiliki kemampuan melebihi dari realitas kinerja,” ungkap Peneliti Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah dalam konferensi pers di Rumah Makan Bumbu Desa, Cikini, Jakarta, kemarin.

Menurut Wana, institusi kepolisian paling rendah dalam menaikkan status perkara korupsi ke jenjang penuntutan. Dia menyebutkan, kepolisian melakukan penyidikan terhadap 536 kasus korupsi sepanjang 2010-2014. Dari jumlah itu, 232 kasusatau46% diantaranya naik status dari penyidikan ke penuntutan. Sisanya, 304 kasus atau 54%, statusnya masih stagnan di tingkat penyidikan.

Kejaksaan pun bermasalah sama. Dari 1.775 kasus berstatus penyidikan yang ditangani dengan nilai kerugian Rp15,5 triliun, sebanyak 918 kasus atau 51% di antaranya telah naik ke penuntutan. Sisanya, 857 kasus, tetap bertahan di tingkat penyidikan.

KPK yang menangani 122 kasus dengan nilai kerugian negara Rp11,4 triliun juga lamban dalam menaikkan kasus ke level penuntutan. Dari 122 kasus korupsi yang ditangani KPK, 68 di antaranya atau 55% naik ke penuntutan. Sisanya, 54 kasus atau 45%, juga masih stagnan di penyidikan.

Koordinator Investigasi ICW Febri Hendri mengatakan, lemahnya kinerja penanganan korupsi oleh aparat penegak hukum juga terlihat dari rendahnya respons APH untuk menindaklanjuti hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait temuan unsur tindak pidana yang menyebabkan kerugian negara.

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK periode 2003-2014, ditemukan ada 442 indikasi yang memiliki unsur tindak pidana korupsi senilai Rp43,8 triliun. Sedangkan BPKP telah melakukan 3.072 audit investigatif dan perhitungan kerugian negara selama 2011-2015 semester pertama dengan nilai temuan Rp16 triliun.

Jika ditotal, lanjut Febri, jumlah temuan BPK dan BPKP sebanyak 3.514 kasus dengan nilai kerugian negara Rp59,8 triliun. Nilai kerugian negara hasil audit BPK dan BPKP jika dibandingkan dengan nilai kerugian negara pada kasus korupsi yang disidik APH periode 2010 sampai semester pertama 2015 ditemukan selisih sekitar Rp29,2 triliun.

Dengan perhitungan Rp59,8 triliun dikurangi Rp30,6 triliun dari nilai kerugian terhadap kasus yang ditangani. ”Artinya, masih ada kasus korupsi senilai Rp29,2 triliun yang seharusnya masuk dalam tahap penyidikan, tapi belum ditindaklanjuti oleh APH,” katanya.

Dari sisi pelaku korupsi, ICW mengidentifikasi aktor yang paling banyak melakukan tindak pidana korupsi adalah pejabat kementerian atau pemda sebanyak 212 orang. Aktor lain paling banyak melakukan korupsi berasal dari pihak swasta, mulai direktur, komisaris, konsultan, dan pegawai swasta sebanyak 97 orang.

Berikutnya tersangka korupsi berlatar belakang kepala desa, camat, lurah sebanyak 28 orang. Disusul tersangka berstatus kepala daerah sebanyak 27 orang, kepala dinas mencapai 26 orang, anggota DPR, DPRD, atau DPD sejumlah 24 orang, dan direktur atau pejabat BUMN sebanyak 10 orang.

Febri memaparkan, modus yang dipakai untuk melakukan tindak pidana korupsi pun beragam. Namun, yang terbanyak, menurut data ICW, didominasi modus penggelapan yang mencapai 82 kasus dengan kerugian negara Rp227,3 miliar. Disusul penyalahgunaan anggaran dengan 64 kasus. ICW juga mengidentifikasi sektor yang menjadi sasaran korupsi.

Febri menyampaikan, ka- sus korupsi yang disidik terkait sektor noninfrastruktur sebanyak 169 kasus atau 55% dari total kasus dengan kerugiannegara Rp411,4miliar. Sektor noninfrastruktur itu meliputi sektor keuangan daerah, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan.

Sementara kasus korupsi terkait infrastruktur berjumlah 139 kasus atau 45% dari total kasus dengan kerugian negara sebesar Rp832,3 miliar. Korupsi infrastruktur paling banyak terjadi pada sektor transportasi, sektor pemerintahan, dan sektor kesehatan. ”Meskipun jumlah kasus lebih rendah, kerugian negara yang diakibatkan korupsi infrastruktur hampir dua kali lipatnya,” ujar Febri

Terhadap lambannya penanganan kasus korupsi ini, ICW merekomendasikan kepada Presiden agar berhatihati dan cermat dalam menetapkan kebijakan perlindungan hukum bagi pejabat.

Khoirul muzzaki
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5736 seconds (0.1#10.140)