Jadi Fotografer Hebat dengan Mengangkat Kelompok Marginal
A
A
A
Perjalanan hidup fotografer muda Mario Macilau asal Mozambik terbilang luar biasa. Kisahnya dimulai sebagai seorang anak jalanan yang belajar fotografi hingga 12 tahun kemudian mampu menggelar pameran tunggal di Lisbon serta beberapa negara lainnya.
Cita-cita masa kecilnya menjadi jurnalis namun kondisi ekonomi memaksanya menghentikan impiannya. Sejak usia 7 tahun dia mulai membantu ibunya berjualan biskuit di pasar. Dia pun mencari tambahan penghasilan dengan mencuci mobil. Hari-harinya dijalani di pasar hingga tidur pun di sana. Akhirnya dia menyerah pada keadaan yang serbasulit itu.
Terpaksa dia menjadi pencuri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ibunya pun harus mengeluarkan ia dari sekolah karena tidak bisa lagi membayar biaya sekolah. Alhasil, Macilau kecil hanya belajar melalui relawan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan sesekali belajar bahasa Inggris pada mereka. Pada usianya 14 tahun impian masa kecil menjadi jurnalis kembali muncul saat ia meminjam kamera temannya.
” Saya mulai mengambil fotofoto di lingkungan saya, mendokumentasikan orangorang saat mereka melakukan perjalanan ke kota untuk menjual barang-barang mereka. Itu semua foto hitamputih, yang saya kembangkan dalam kamar gelap, saya belajar sendiri bagaimana melakukan sesuatu, berlatih setiap kali aku bisa, tapi sulit bagi saya membeli rol film dan bahan kimia untuk mencetak foto,” ungkapnya kepada BBC .
Foto favoritnya adalah seorang wanita sedang berjalan ke kota untuk menjual singkong di tanah kelahirannya pada suatu pagi. Wanita itu memang hanya terlihat bagian belakangnya namun foto itu menjadi sangat dramatis karena dipotret saat hujan. Sayang, foto tersebut hilang dan dia tidak menyimpannya karena tidak berpikir akan berkarier di dunia fotografi. Tahun 2007 menjadi momen perubahan besar baginya. Saat itu dia memiliki kamera Nikon FM2 yang ia tukar dengan ponsel pemberian sang ibu. Sejak saat itu hobinya mengabadikan momen menarik di sekelilingnya berlanjut.
Teman-temannya pun menyarankan dia menggunakan internet untuk menyebarluaskan hasil jepretannya. Di perpustakaan umum, Macilau mulai membuat blog dan memamerkan fotofotonya di blog hingga banyak tanggapan positif dari penjuru dunia. Tidak disangka dia diundang dalam pameran dan berhasil mengikuti program pertukaran pemuda ke Vancouver, Kanada.
” Di sana saya pergi ke banyak pameran foto, dan saya mengajar fotografi di sebuah sekolah dasar. Di Kanada saya memiliki pameran tunggal pertama saya. Itu adalah pengalaman yang berguna,” ucapnya bangga. Kembali ke Mozambik, ia mengambil pekerjaan sebagai fixer untuk fotografer asing yang datang ke negaranya.
Pengalamannya semakin bertambah saat diundang oleh sebuah paroki di Lisbon untuk mengadakan pameran tunggal. Meski terbilang fotografer junior, Macilau tidak merasa minder. Sejak saat itu dia terlihat dalam grup pameran di Berardo Collection Museum di kota itu, dan Saatchi Gallery di London. ” Aku tidak pernah terintimidasi oleh para profesional atau oleh orang yang saya temui di dunia seni. Saya hanya belajar apa yang saya dapat dari mereka,” imbuhnya.
” Ambil foto anak jalanan misalnya. Mereka mungkin memakai kaos oblong kotor, tapi bagi mereka, dalam fotografi, mereka bersih. Itu karena cahayanya indah, ekspresi mereka indah dan tidak seorang pun melihat kaosnya,” ujarnya.
Ananda Nararya
Cita-cita masa kecilnya menjadi jurnalis namun kondisi ekonomi memaksanya menghentikan impiannya. Sejak usia 7 tahun dia mulai membantu ibunya berjualan biskuit di pasar. Dia pun mencari tambahan penghasilan dengan mencuci mobil. Hari-harinya dijalani di pasar hingga tidur pun di sana. Akhirnya dia menyerah pada keadaan yang serbasulit itu.
Terpaksa dia menjadi pencuri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ibunya pun harus mengeluarkan ia dari sekolah karena tidak bisa lagi membayar biaya sekolah. Alhasil, Macilau kecil hanya belajar melalui relawan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan sesekali belajar bahasa Inggris pada mereka. Pada usianya 14 tahun impian masa kecil menjadi jurnalis kembali muncul saat ia meminjam kamera temannya.
” Saya mulai mengambil fotofoto di lingkungan saya, mendokumentasikan orangorang saat mereka melakukan perjalanan ke kota untuk menjual barang-barang mereka. Itu semua foto hitamputih, yang saya kembangkan dalam kamar gelap, saya belajar sendiri bagaimana melakukan sesuatu, berlatih setiap kali aku bisa, tapi sulit bagi saya membeli rol film dan bahan kimia untuk mencetak foto,” ungkapnya kepada BBC .
Foto favoritnya adalah seorang wanita sedang berjalan ke kota untuk menjual singkong di tanah kelahirannya pada suatu pagi. Wanita itu memang hanya terlihat bagian belakangnya namun foto itu menjadi sangat dramatis karena dipotret saat hujan. Sayang, foto tersebut hilang dan dia tidak menyimpannya karena tidak berpikir akan berkarier di dunia fotografi. Tahun 2007 menjadi momen perubahan besar baginya. Saat itu dia memiliki kamera Nikon FM2 yang ia tukar dengan ponsel pemberian sang ibu. Sejak saat itu hobinya mengabadikan momen menarik di sekelilingnya berlanjut.
Teman-temannya pun menyarankan dia menggunakan internet untuk menyebarluaskan hasil jepretannya. Di perpustakaan umum, Macilau mulai membuat blog dan memamerkan fotofotonya di blog hingga banyak tanggapan positif dari penjuru dunia. Tidak disangka dia diundang dalam pameran dan berhasil mengikuti program pertukaran pemuda ke Vancouver, Kanada.
” Di sana saya pergi ke banyak pameran foto, dan saya mengajar fotografi di sebuah sekolah dasar. Di Kanada saya memiliki pameran tunggal pertama saya. Itu adalah pengalaman yang berguna,” ucapnya bangga. Kembali ke Mozambik, ia mengambil pekerjaan sebagai fixer untuk fotografer asing yang datang ke negaranya.
Pengalamannya semakin bertambah saat diundang oleh sebuah paroki di Lisbon untuk mengadakan pameran tunggal. Meski terbilang fotografer junior, Macilau tidak merasa minder. Sejak saat itu dia terlihat dalam grup pameran di Berardo Collection Museum di kota itu, dan Saatchi Gallery di London. ” Aku tidak pernah terintimidasi oleh para profesional atau oleh orang yang saya temui di dunia seni. Saya hanya belajar apa yang saya dapat dari mereka,” imbuhnya.
” Ambil foto anak jalanan misalnya. Mereka mungkin memakai kaos oblong kotor, tapi bagi mereka, dalam fotografi, mereka bersih. Itu karena cahayanya indah, ekspresi mereka indah dan tidak seorang pun melihat kaosnya,” ujarnya.
Ananda Nararya
(ars)