Akhiri Kegaduhan, Saatnya Bekerja
A
A
A
JAKARTA - Kegaduhan-kegaduhan politik yang terjadi belakangan ini harus segera diakhiri. Di tengah kondisi perekonomian nasional yang melemah dan berbagai tantangan berat ke depan, sudah saatnya kini berbagai elemen, khususnya para penyelenggara negara, bersatu padu dan bekerja keras untuk kemajuan bangsa.
Harapan itu disampaikan Ketua DPD Irman Gusman, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, peneliti bidang politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto, dan lainnya.
Irman Gusman mengharapkan semua pihak harus menjadikan saat ini sebagai momentum untuk kebangkitan bangsa. Menurut dia, Indonesia punya potensi besar untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Kuncinya, ada leadership yang bisa menggerakkan para penyelenggara negara, khususnya para pimpinan lembaga tinggi negara, untuk memupuk optimisme dengan kerja profesional.
”Apa yang terjadi sekarang adalah politik yang histeris, politik simbolik. Kenapa? Karena politik kita penuh dengan pencitraan, selebrasi, belum berorientasikan politik demokrasi substansi (kesejahteraan masyarakat) sehingga menimbulkan kegaduhan,” papar Irman di Jakarta kemarin. Untuk diketahui, belum genap setahun, pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Wapres Jusuf Kalla (JK) berjalan penuh dengan kegaduhan.
Indikasi ini bisa dilihat dari banyaknya kebijakan maupun perang wacana kontroversial yang ditelurkan para pejabat pemerintah baru ini, misalnya kebijakan pemberian remisi untuk koruptor, pembekuan PSSI, revisi UU KPK, pembelian pesawat, proyek kereta cepat .Lebih jauh, Irman menambahkan, saat ini isu apa saja menjadi masalah, tetapi mengabaikan substansi.
Karena itu, dia meminta semua komponen bangsa, khususnya lembaga tinggi negara, untuk bisa bersatu dan saling percaya agar bisa bekerja ke hal yang substantif sehingga tidak terus gaduh. Irman mengungkapkan, harus diakui saat ini terjadi semacam disharmoni dan ada sikap tidak saling percaya antarlembaga negara. Antara legislatif dan eksekutif yang seharusnya bisa saling melengkapi dalam mewujudkan peningkatan kesejahteraan nyatanya kurang sinkron dalam melihat persoalan bangsa.
Bahkan yang muncul di publik adalah kegaduhan yang dari segi politik sangat tidak konstruktif. Dia mencontohkan wacana soal pembangunan gedung Kompleks Parlemen. Dalam konteks itu misalnya, ada kesan eksekutif menegaskan perlunya penguatan legislatif dan kemudian opini yang berkembang di publik sebatas pada anggaran gedung baru. Padahal, hal itu sebagai konsekuensi logis dari demokrasi. Kemudian kegaduhan juga terjadi di lembaga yudikatif.
Ada hiruk-pikuk misalnya antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri, antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) dengan Mahkamah Agung (MA). ”Kesemuanya itu menggambarkan bahwa dari segi politik demokrasi, pengelolaan negara belum sinkron dalam hal mau dibawa ke mana bangsa ini ke depan,” paparnya.
Menurut Irman, masalah ini sebenarnya pernah dibicarakan dengan para pimpinan lembaga negara di Bogor, yakni bagaimana instansi negara harus mengurangi politik histeris dengan harapan adanya saling percaya antarlembaga. Atas berbagai kegaduhan dan kehisterisan yang terjadi, peran Presiden Jokowi sangat menentukan.
”Tentu, Presiden Jokowi sebagai kepala negara harus membangun mekanisme kerja lebih sistematis dan harmonis dengan lembaga negara lain. Harus mampu memberikan pengayoman, mampu memimpin agar semuanya bekerja dengan profesional dan penuh optimisme,” jelasnya. Haedar Nashir menambahkan, setiap negara pasti akan mengalami situasi krusial seperti gejolak politik maupun ekonomi sehingga para pejabat negara harus melakukan kerja konkret untuk masyarakatnya.
”Para pejabat negara juga perlu punya tiga sisi kepribadian, yaitu kenegarawanan, profesionalitas, dan moralitas,” ujarnya kemarin. Antara sisi kenegarawanan, profesionalitas, dan moralitas harus menyatu dalam diri pejabat negara.
”Ketika ada kekisruhan atau kegaduhan yang terjadi, pasti satu dari tiga sisi itu longgar atau lepas, maka tiga sisi itu merupakan patokan dalam dirinya yang harus dicek,” ungkapnya. Sisi kenegarawanan mengharuskan pejabat mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongannya.
Dari segi profesionalitas, apa yang dilakukan pejabat harus sesuai dengan otoritas yang dimiliki. ”Pejabat negara mana pun, aspek profesionalitas harus dikedepankan. Dia harus jadi problem solver ketimbang banyak bicara,” paparnya. Dari sisi moralitas, mereka harus punya aspek kearifan sebagai pemimpin.
Perlu Ketegasan Presiden
Siti Zuhro menyatakan kegaduhan yang terjadi saat ini memang akibat dari sistem multipartai. Kondisi ini berdampak pada adanya kontestasi dan kompetisi yang tak pernah berhenti dan pada akhirnya mengesankan kurang profesional. ”Mestinya kapan pemilu dilakukan dan usai, kalau sudah dilantik ya harus fokus pada pekerjaannya karena di situ langkahnya untuk melahirkan solusi, tapi ini malah seperti tambal sulam kepentingan,” ucapnya.
Menghadapi kegaduhan di eksekutif maupun legislatif dan pelambatan ekonomi, negara ini perlu menekankan fungsi presidensial yang menjadi sistem negara saat ini. ”Mau tidak mau, kita minta ada ucapan yang lebih bernas dari RI-1 (Presiden Jokowi) untuk mau meluruskan kembali peran Indonesia ke depan. Tujuannya agar tidak ada silang sengkarut baik di kabinet maupun di legislatif,” paparnya.
Sebab, jika terjadi kegaduhan dan dibiarkan, pemerintah akan sulit fokus dan sulit membangun. Senada, Eko Listianto meminta pemerintah sebaiknya berhenti menciptakan kegaduhan politik di tengah kondisi perekonomian yang sedang sulit. Menurutnya, upaya mengatasi persoalan ekonomi seperti saat ini membutuhkan pemerintahan yang solid.
”Ini (kegaduhan) yang kemudian pelaku ekonomi melihat kebijakan yang dikeluarkan pemerintah menjadi tidak kredibel. Mereka pun menyangsikan kerja-kerja pemerintah dalam mengelola perekonomian,” ujarnya. Eko menilai kegaduhan terjadi semata karena lemahnya koordinasi di pemerintahan sehingga berbagai konflik internal muncul ke publik. Dia pun berpendapat, perbedaan pendapat yang terjadi seharusnya bisa dikelola dengan baik secara internal.
”Tidak perlu sampai diumbar ke publik. Ini penting karena pemerintah sedang menargetkan untuk menjaga optimisme di kalangan pelaku ekonomi,” tandasnya. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasona Laoly berpendapat sebaliknya. Menurut dia, sebenarnya selama ini situasi saat ini cukup kondusif. ”Tidak ada gaduh. Kita saja yang menggaduhkan,” sebutnya. Misalnya, pergantian Kabareskrim Komjen Pol Budi Waseso merupakan hal yang biasa. Hal ini kewenangan dari Wanjakti.
”Media terlalu sensitif menanggapinya. Jika memang ada yang terkejut sangat wajar. Apalagi di tengah gerakannya yang selalu disorot media,” paparnya. Adapun ekonom BNI Ryan Kiryanto menilai komitmen pemerintah untuk memperbaiki kondisi saat ini diyakini dapat meningkatkan investasi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Investor masih mengharapkan adanya perbaikan sistem birokrasi, pemberian insentif fiskal, dan percepatan serapan anggaran. ”Perbaikan tentu akan menarik PMA dan PMDN lebih agresif untuk investasi,” ujar Ryan. Dia mengatakan dalam pertemuan rutinnya bersama investor asing, tidak terdapat penilaian kegaduhan apa pun. Investor disebutnya sudah terbiasa menghadapi hal itu di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
”Jadi semua itu tidak memengaruhi minat investor asing untuk berinvestasi di Indonesia karena pasarnya menarik,” ujarnya.
Rahmat sahid/ dita angga/ mula akmal/ hafid fuad/ rahmat fiansyah
Harapan itu disampaikan Ketua DPD Irman Gusman, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, peneliti bidang politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto, dan lainnya.
Irman Gusman mengharapkan semua pihak harus menjadikan saat ini sebagai momentum untuk kebangkitan bangsa. Menurut dia, Indonesia punya potensi besar untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Kuncinya, ada leadership yang bisa menggerakkan para penyelenggara negara, khususnya para pimpinan lembaga tinggi negara, untuk memupuk optimisme dengan kerja profesional.
”Apa yang terjadi sekarang adalah politik yang histeris, politik simbolik. Kenapa? Karena politik kita penuh dengan pencitraan, selebrasi, belum berorientasikan politik demokrasi substansi (kesejahteraan masyarakat) sehingga menimbulkan kegaduhan,” papar Irman di Jakarta kemarin. Untuk diketahui, belum genap setahun, pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Wapres Jusuf Kalla (JK) berjalan penuh dengan kegaduhan.
Indikasi ini bisa dilihat dari banyaknya kebijakan maupun perang wacana kontroversial yang ditelurkan para pejabat pemerintah baru ini, misalnya kebijakan pemberian remisi untuk koruptor, pembekuan PSSI, revisi UU KPK, pembelian pesawat, proyek kereta cepat .Lebih jauh, Irman menambahkan, saat ini isu apa saja menjadi masalah, tetapi mengabaikan substansi.
Karena itu, dia meminta semua komponen bangsa, khususnya lembaga tinggi negara, untuk bisa bersatu dan saling percaya agar bisa bekerja ke hal yang substantif sehingga tidak terus gaduh. Irman mengungkapkan, harus diakui saat ini terjadi semacam disharmoni dan ada sikap tidak saling percaya antarlembaga negara. Antara legislatif dan eksekutif yang seharusnya bisa saling melengkapi dalam mewujudkan peningkatan kesejahteraan nyatanya kurang sinkron dalam melihat persoalan bangsa.
Bahkan yang muncul di publik adalah kegaduhan yang dari segi politik sangat tidak konstruktif. Dia mencontohkan wacana soal pembangunan gedung Kompleks Parlemen. Dalam konteks itu misalnya, ada kesan eksekutif menegaskan perlunya penguatan legislatif dan kemudian opini yang berkembang di publik sebatas pada anggaran gedung baru. Padahal, hal itu sebagai konsekuensi logis dari demokrasi. Kemudian kegaduhan juga terjadi di lembaga yudikatif.
Ada hiruk-pikuk misalnya antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri, antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) dengan Mahkamah Agung (MA). ”Kesemuanya itu menggambarkan bahwa dari segi politik demokrasi, pengelolaan negara belum sinkron dalam hal mau dibawa ke mana bangsa ini ke depan,” paparnya.
Menurut Irman, masalah ini sebenarnya pernah dibicarakan dengan para pimpinan lembaga negara di Bogor, yakni bagaimana instansi negara harus mengurangi politik histeris dengan harapan adanya saling percaya antarlembaga. Atas berbagai kegaduhan dan kehisterisan yang terjadi, peran Presiden Jokowi sangat menentukan.
”Tentu, Presiden Jokowi sebagai kepala negara harus membangun mekanisme kerja lebih sistematis dan harmonis dengan lembaga negara lain. Harus mampu memberikan pengayoman, mampu memimpin agar semuanya bekerja dengan profesional dan penuh optimisme,” jelasnya. Haedar Nashir menambahkan, setiap negara pasti akan mengalami situasi krusial seperti gejolak politik maupun ekonomi sehingga para pejabat negara harus melakukan kerja konkret untuk masyarakatnya.
”Para pejabat negara juga perlu punya tiga sisi kepribadian, yaitu kenegarawanan, profesionalitas, dan moralitas,” ujarnya kemarin. Antara sisi kenegarawanan, profesionalitas, dan moralitas harus menyatu dalam diri pejabat negara.
”Ketika ada kekisruhan atau kegaduhan yang terjadi, pasti satu dari tiga sisi itu longgar atau lepas, maka tiga sisi itu merupakan patokan dalam dirinya yang harus dicek,” ungkapnya. Sisi kenegarawanan mengharuskan pejabat mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongannya.
Dari segi profesionalitas, apa yang dilakukan pejabat harus sesuai dengan otoritas yang dimiliki. ”Pejabat negara mana pun, aspek profesionalitas harus dikedepankan. Dia harus jadi problem solver ketimbang banyak bicara,” paparnya. Dari sisi moralitas, mereka harus punya aspek kearifan sebagai pemimpin.
Perlu Ketegasan Presiden
Siti Zuhro menyatakan kegaduhan yang terjadi saat ini memang akibat dari sistem multipartai. Kondisi ini berdampak pada adanya kontestasi dan kompetisi yang tak pernah berhenti dan pada akhirnya mengesankan kurang profesional. ”Mestinya kapan pemilu dilakukan dan usai, kalau sudah dilantik ya harus fokus pada pekerjaannya karena di situ langkahnya untuk melahirkan solusi, tapi ini malah seperti tambal sulam kepentingan,” ucapnya.
Menghadapi kegaduhan di eksekutif maupun legislatif dan pelambatan ekonomi, negara ini perlu menekankan fungsi presidensial yang menjadi sistem negara saat ini. ”Mau tidak mau, kita minta ada ucapan yang lebih bernas dari RI-1 (Presiden Jokowi) untuk mau meluruskan kembali peran Indonesia ke depan. Tujuannya agar tidak ada silang sengkarut baik di kabinet maupun di legislatif,” paparnya.
Sebab, jika terjadi kegaduhan dan dibiarkan, pemerintah akan sulit fokus dan sulit membangun. Senada, Eko Listianto meminta pemerintah sebaiknya berhenti menciptakan kegaduhan politik di tengah kondisi perekonomian yang sedang sulit. Menurutnya, upaya mengatasi persoalan ekonomi seperti saat ini membutuhkan pemerintahan yang solid.
”Ini (kegaduhan) yang kemudian pelaku ekonomi melihat kebijakan yang dikeluarkan pemerintah menjadi tidak kredibel. Mereka pun menyangsikan kerja-kerja pemerintah dalam mengelola perekonomian,” ujarnya. Eko menilai kegaduhan terjadi semata karena lemahnya koordinasi di pemerintahan sehingga berbagai konflik internal muncul ke publik. Dia pun berpendapat, perbedaan pendapat yang terjadi seharusnya bisa dikelola dengan baik secara internal.
”Tidak perlu sampai diumbar ke publik. Ini penting karena pemerintah sedang menargetkan untuk menjaga optimisme di kalangan pelaku ekonomi,” tandasnya. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasona Laoly berpendapat sebaliknya. Menurut dia, sebenarnya selama ini situasi saat ini cukup kondusif. ”Tidak ada gaduh. Kita saja yang menggaduhkan,” sebutnya. Misalnya, pergantian Kabareskrim Komjen Pol Budi Waseso merupakan hal yang biasa. Hal ini kewenangan dari Wanjakti.
”Media terlalu sensitif menanggapinya. Jika memang ada yang terkejut sangat wajar. Apalagi di tengah gerakannya yang selalu disorot media,” paparnya. Adapun ekonom BNI Ryan Kiryanto menilai komitmen pemerintah untuk memperbaiki kondisi saat ini diyakini dapat meningkatkan investasi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Investor masih mengharapkan adanya perbaikan sistem birokrasi, pemberian insentif fiskal, dan percepatan serapan anggaran. ”Perbaikan tentu akan menarik PMA dan PMDN lebih agresif untuk investasi,” ujar Ryan. Dia mengatakan dalam pertemuan rutinnya bersama investor asing, tidak terdapat penilaian kegaduhan apa pun. Investor disebutnya sudah terbiasa menghadapi hal itu di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
”Jadi semua itu tidak memengaruhi minat investor asing untuk berinvestasi di Indonesia karena pasarnya menarik,” ujarnya.
Rahmat sahid/ dita angga/ mula akmal/ hafid fuad/ rahmat fiansyah
(ars)