Tetap dalam Kerangka NKRI
A
A
A
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengapresiasi langkah Maarif Institute merancang IKI.
Meski begitu, dia mengingatkan agar tim riset berhati- hati dengan menentukan berbagai indikator pengukurannya.” Yang terpenting, penyusunan IKI ini tetap dalam kerangka berpikir sebagai NKRI secara keseluruhan yang penuh dengan keberagaman,” tegasnya.
Siti juga meminta adanya argumentasi dan rasionalisasi yang jelas dasar dipilihnya 93 kota sebagai cakupan indeks dan dianggap layak menjadi representasi. Menurut dia, IKI bisa menguji kualitas perda syariah dan perda yang begitu kental warna kedaerahannya. ”Dengan adanya otonomi daerah, seharusnya yang menguat bukan sekadar kelokalan atau nuansa mayoritas penduduknya, tetapi juga bingkai NKRI-nya. Ini yang harus seimbang,” ujar Siti.
Wakil Ketua Komisi II DPR Riza Patria menilai rancangan IKI akan memberikan manfaat positif terhadap upaya memacu kinerja daerah demi peningkatan kualitas kehidupan masyarakatnya. Yang penting, menurut dia, tidak terjebak SARA. Dia menambahkan, selama penelitian ini menggunakan metode dan samplling yang benar, tidak akan timbul kontroversi.
Termasuk apabila dari hasilnya diketahui bahwa ada daerah yang selama ini menerapkan perda syariah ternyata peringkatnya di bawah daerah yang tidak menerapkan perda syariah. ”Saya yakin ini akan produktif, sebab identifikasi adalah suatu langkah yang penting dalam setiap pembangunan. Kalau tidak punya kemampuan mengidentifikasi, bagaimana kita bisa melakukan perencanaan ke depan, apalagi pelaksanaan,” ungkapnya.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono menekankan tidak ada istilah kota Islami dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia meski mayoritas (87,2%) penduduk negara ini adalah muslim.
”Hanya saja dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) disebutkan tentang kekhususan pemberlakuan syariat Islam sehingga tidak ada entitas daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota, yang berlabel Islam,” ungkapnya.
Apabila ada pemerintah daerah yang melabeli dirinya sebagai daerah Islami, lanjutSoni, itu hanyalah jargon marketing sosial secara nilai akumulatif dalam melaksanakan nilai-nilai Islam baik skriptualistis maupun substantif. Labelisasi kota Islami adalah sama dengan istilah kota ramah anak, kota ramah lansia, kota hijau, dan lainnya.
Meski begitu, dalam pandangan Soni, istilah kota Islami bisa kontraproduktif karena tidak sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika dan mereduksi integrasi nasional sebagai negara bangsa. Mengenai IKI, Soni yakin penelitian ini tentu memiliki berbagai dimensi ilmiah sebagai alat ukur.
Dia berharap IKI sebagai sebuah ikhtiar untuk mencapai suatu kota atau daerah yang ideal dengan mengacu pada nilai-nilai yang universal. ”Itu positif sepanjang tujuannya memacu peningkatan kualitas pelayanan publik dan kinerja pemerintahan demi kualitas hidup masyarakat,” tegasnya.
Beberapa waktu lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa semua peraturan yang dibuat pemerintah daerah tidak boleh bertentangan dengan ideologi dasar Pancasila dan Undang- Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini disampaikan Tjahjo atas ditemukannya 139 perda yang diajukan daerah sejak November 2014 hingga Mei 2015, tetapi tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sehingga dikembalikan kedaerah bersangkutan.
Salah satu perda yang dibatalkan berkaitan dengan larangan ke luar rumah pada malam hari bagi perempuan Aceh. Menurut Tjahjo, perda harus menyesuaikan dengan kondisi kemajemukan Indonesia sebagai negara kesatuan, bukan mengakomodasi kepentingan mayoritas maupun minoritas. Perda seperti ini cenderung diskriminatif.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Vicky Lumentut mengungkapkan, advokasi dan perlindungan masyarakat dalam penegakan perda merupakan bagian dari enam program kerja utama Apeksi di sektor regulasi dan advokasi.
Imas damayanti/ Hermansah/ Robi ardianto/ Dina angelina
Meski begitu, dia mengingatkan agar tim riset berhati- hati dengan menentukan berbagai indikator pengukurannya.” Yang terpenting, penyusunan IKI ini tetap dalam kerangka berpikir sebagai NKRI secara keseluruhan yang penuh dengan keberagaman,” tegasnya.
Siti juga meminta adanya argumentasi dan rasionalisasi yang jelas dasar dipilihnya 93 kota sebagai cakupan indeks dan dianggap layak menjadi representasi. Menurut dia, IKI bisa menguji kualitas perda syariah dan perda yang begitu kental warna kedaerahannya. ”Dengan adanya otonomi daerah, seharusnya yang menguat bukan sekadar kelokalan atau nuansa mayoritas penduduknya, tetapi juga bingkai NKRI-nya. Ini yang harus seimbang,” ujar Siti.
Wakil Ketua Komisi II DPR Riza Patria menilai rancangan IKI akan memberikan manfaat positif terhadap upaya memacu kinerja daerah demi peningkatan kualitas kehidupan masyarakatnya. Yang penting, menurut dia, tidak terjebak SARA. Dia menambahkan, selama penelitian ini menggunakan metode dan samplling yang benar, tidak akan timbul kontroversi.
Termasuk apabila dari hasilnya diketahui bahwa ada daerah yang selama ini menerapkan perda syariah ternyata peringkatnya di bawah daerah yang tidak menerapkan perda syariah. ”Saya yakin ini akan produktif, sebab identifikasi adalah suatu langkah yang penting dalam setiap pembangunan. Kalau tidak punya kemampuan mengidentifikasi, bagaimana kita bisa melakukan perencanaan ke depan, apalagi pelaksanaan,” ungkapnya.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono menekankan tidak ada istilah kota Islami dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia meski mayoritas (87,2%) penduduk negara ini adalah muslim.
”Hanya saja dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) disebutkan tentang kekhususan pemberlakuan syariat Islam sehingga tidak ada entitas daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota, yang berlabel Islam,” ungkapnya.
Apabila ada pemerintah daerah yang melabeli dirinya sebagai daerah Islami, lanjutSoni, itu hanyalah jargon marketing sosial secara nilai akumulatif dalam melaksanakan nilai-nilai Islam baik skriptualistis maupun substantif. Labelisasi kota Islami adalah sama dengan istilah kota ramah anak, kota ramah lansia, kota hijau, dan lainnya.
Meski begitu, dalam pandangan Soni, istilah kota Islami bisa kontraproduktif karena tidak sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika dan mereduksi integrasi nasional sebagai negara bangsa. Mengenai IKI, Soni yakin penelitian ini tentu memiliki berbagai dimensi ilmiah sebagai alat ukur.
Dia berharap IKI sebagai sebuah ikhtiar untuk mencapai suatu kota atau daerah yang ideal dengan mengacu pada nilai-nilai yang universal. ”Itu positif sepanjang tujuannya memacu peningkatan kualitas pelayanan publik dan kinerja pemerintahan demi kualitas hidup masyarakat,” tegasnya.
Beberapa waktu lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa semua peraturan yang dibuat pemerintah daerah tidak boleh bertentangan dengan ideologi dasar Pancasila dan Undang- Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini disampaikan Tjahjo atas ditemukannya 139 perda yang diajukan daerah sejak November 2014 hingga Mei 2015, tetapi tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sehingga dikembalikan kedaerah bersangkutan.
Salah satu perda yang dibatalkan berkaitan dengan larangan ke luar rumah pada malam hari bagi perempuan Aceh. Menurut Tjahjo, perda harus menyesuaikan dengan kondisi kemajemukan Indonesia sebagai negara kesatuan, bukan mengakomodasi kepentingan mayoritas maupun minoritas. Perda seperti ini cenderung diskriminatif.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Vicky Lumentut mengungkapkan, advokasi dan perlindungan masyarakat dalam penegakan perda merupakan bagian dari enam program kerja utama Apeksi di sektor regulasi dan advokasi.
Imas damayanti/ Hermansah/ Robi ardianto/ Dina angelina
(bbg)