WNI Bebas dari Hukuman Mati

Kamis, 03 September 2015 - 09:27 WIB
WNI Bebas dari Hukuman Mati
WNI Bebas dari Hukuman Mati
A A A
JAKARTA - Setelah melalui proses hukum dan administrasi selama delapan tahun, WNI Satinah binti Jumadi Amad terbebas dari hukuman mati di Arab Saudi dan pulang ke Tanah Air kemarin.

Perkara WNI asal Ungaran, Semarang, Jawa Tengah (Jateng) itu berlangsung panjang karena meliputi tiga kasus. Dengandidampingiatasehukum dan pejabat konsuler Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Riyadh, Satinah menginjakkan kaki di Jakarta pada pukul 11.05 WIB. Dia telah menghirup udara bebas meski sejak setahun yang lalu diserang stroke. Kebebasan itu membuat Satinah bisa menghabiskan waktu bersama keluarga.

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) jugamemberikankejutankepada Satinah. Mereka mendatangkan anak perempuan Satinah, Nur Afriana, dari Ungaran untuk menyambut sang ibu diBandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten. Wakil Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNIBHI) Krishna Djelani yang mendampingi Nur di bandara turut menyambut Satinah danrombongandenganhangat.

Saat ini Satinah dijadwalkan mendapat perawatan di rumah sakit (RS) sebelum pulang dan dirawat keluarga di Ungaran. Sinyal positif mengenai pemulangan Satinah muncul ketika pengacara KBRI Riyadh, Ridhwan al-Musyaigeeh, memberitahukan nota banding jaksa penuntut umum ditolak hakim dalam persidangan hak khusus pada Minggu lalu (30/8).

Artinya keputusan hakim yang mengganjar penjara delapan tahun kepada Satinah dengan sendirinya menjadi ketetapan. ”Mendengar informasi tersebut, wakil duta besar segera memerintahkan kami untuk mengurus administrasi keimigrasian yang sering kali menjadi kendala pemulangan,” ujar Muhibuddin, Atase Hukum KBRI Riyadh yang juga pakar hukum pidana Islam. ”Berkat kunjungan diplomatik Menlu RI pada Mei lalu, upaya kami jadi dimudahkan otoritas setempat,” tambahnya.

Satinah sempat dijatuhi vonis hukuman mati (qishas) karena terbukti membunuh majikannya, Nurah al-Gharib, 70, warga negara Arab Saudi, pada 26 Juni 2007. Satinah mendapatkan pemaafan (tanazul) dari ahli waris dan harus membayar diyat sebesar SR 7 juta (sekitar Rp 21 miliar). Diyat itu dilunasi pada Mei 2014 silam. Meski lolos dalam fase tersebut, Satinah tidak otomatis terbebas dari ancaman hukuman mati.

Pasalnya, dia masih harus menjalani sidang di pengadilan hak umum pada Mei 2014. Di tingkat itu, Satinah tidak hanya disidang mengenai tindak pidana pembunuhan, tapi juga dua pidana lainnya, yakni pencurian dan zina muhsan. ”Kasus Ibu Satinah ini adalah pelajaran berharga bagi kita bahwa pembayaran diyat memang membuka peluang lebih besar bagi pembebasan WNI terancam hukuman mati, tapi tidak dengan sendirinya membebaskan terdakwa di pengadilan hak umum.

Jadi diyat mestinya tidak menjadi solusi utama,” kata Lalu Muhammad Iqbal, Direktur PWNIBHI. Dengan berlanjutnya kasus Satinah ke pengadilan hak umum, Kemlu harus kembali berjuang ekstra. Mereka meminta Atase Hukum KBRI Riyadh menyusun strategi baru, termasuk mengganti pengacara yang menangani kasus tersebut, memfasilitasi kunjungan keluarga, dan melakukan diplomasi perlindungan WNI secara lebih intensif.

Selama menjadi terdakwa, Satinah mendapatkan pendampingan dari empat pengacara yang berbeda. Pengacara terakhir Satinah ialah Musyaigeeh dan Muhammad Ahmad al- Qarni, pengacara in-house KBRI Riyadh. Selama itu pula, pemerintah memfasilitasi kunjungan keluarga sebanyak 4 kali dan pejabat KBRI maupun Kemlu lebih dari 90 kali. Selainitu, Kemlumelakukan upaya diplomatik.

Presiden mengirimkan 3 surat dan Duta Besar (Dubes) KBRI Riyadh mengirimkan lebih dari 5 surat kepada Raja Arab Saudi. Pemerintah juga pernah mengirimkan utusan khusus Presiden sebanyak 3 kali. Puncaknya terjadi pada Mei lalu ketika Menlu Retno Marsudi bertemu dengan Raja Salman dan Menlu Arab Saudi.

Muh shamil
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5941 seconds (0.1#10.140)