Krisis dan Hantu

Kamis, 03 September 2015 - 09:26 WIB
Krisis dan Hantu
Krisis dan Hantu
A A A
Bangsa kita rupanya senang dengan cerita hantu. Kurang yakin? Cobalah tengok film-film buatan kita. Kebanyakan ceritanya tentang hantu, selain kisah percintaan tentunya. Kita pun begitu.

Semasa kecil, kita senang mendengar cerita tentang hantu. Kalau ada orang yang bercerita melihat hantu, kita ngeri, tetapi terus pasang kuping. Kalau sekarang istilahnya mungkin ngeri-ngeri sedap. Orang tua pun senang menggunakan hantu untuk menakut-nakuti anak-anaknya.

Malam hari, kalau anak-anaknya ingin ke luar rumah, ketimbang repot melarang atau menasihati, orang tua memakai hantu untuk menakut-nakuti anaknya agar mau tetap di rumah. Celakanya kesukaan kita tentang hantu rupanya berlanjut sampai dewasa. Bahkan kita kerap ”menciptakan hantu” sendiri untuk menakutnakuti siapa saja.

Tak lama setelah subprime mortgage crisis melanda Amerika Serikat (2008), di sini (2009) juga beredar berita tentang ancaman krisis. Saya masih menyimpan buktibuktinya, saat itu banyak pengamat yang menakut-nakuti seakan-akan esok kiamat. Ancaman PHK, kerugian, dan seterusnya.

Hantu Dolar

Bahkan diberitakan konsumsi listrik di Pulau Jawa tahun 2009 awal itu sudah turun 28%. Lalu mendiang Mama Lauren yang sedang naik daun itu pun dimintai ramalannya. Ternyata mengerikan. Ia meramal bahwa akan ada banyak orang kena PHK dan ribuan perusahaan ditutup. Bahkan kesulitan akan berlangsung hampir dua tahun. Tentu ini membuat penguasa gelisah.

Apalagi banyak berita tentang eksekutif yang bunuh diri. Begitulah kita dicengkeram berita tentang kesulitan. Nyatanya? Tahun itu kita dapat melaluinya dengan baik. Belakangan hantu ”krisis” itu hidup lagi. Iiih serem ah. Berapa banyak istilah krisis sudah menghantui kita. Misalnya krisis bawang, krisis cabai, krisis BBM, krisis listrik atau krisis banjir.

Dulu kita pernah mendengar krisis flu burung. Kalau menjelang musim tanam padi, terjadilah krisis pupuk. Seorang teman mengatakan gara-gara dolar, banyak pengusaha roti gulung tikar karena tak mampu membeli tepung yang harganya mahal. Franky Welirang, produsen Bogasari, pun bingung diterjang pertanyaan wartawan. ”Di mana yang bangkrut?” tanyanya. Ia heran karena sejak tahun 2012 sampai kemarin belum ada kenaikan harga tepung kendati dolar menguat.

Silakan, Anda perpanjang sendiri daftar krisisnya. Kini kita menghadapi krisis menguatnya mata uang dolar. Pemicunya adalah terus menurunnya nilai mata uang kita terhadap dolar AS. Kalau pada akhir pemerintahan SBY-Budiono nilainya masih Rp12.500-an per dolar AS, kini di era Jokowi sudah menembus Rp14.000. Padahal tahun 2009 harganya cuma Rp9.100.

Lalu, kita membangun ”hantu” dengan mengaitkan krisis kali ini dengan krisis ekonomi tahun 1997/1998. Kebetulan pemicunya sama, yakni melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Bank Indonesia pun pontang-panting harus menjelaskan apa bedanya antara kedua era itu. Saya setuju krisis 1997/ 1998 memang mengerikan. Rezim Soeharto tumbang, PHK di mana-mana, bank-bank rontok, sejumlah konglomerat gulung tikar.

Betulkah mengerikan? Ya iyalah. Krisis itu menakutkan. Puluhan ribu orang kena PHK. Bahkan kita banyak menyaksikan berita tentang ibu yang rebutan beras di supermarket. Itu kalau kita melihat hanya dari sisi gelapnya. Sekarang cobalah lihat sisi terangnya. Krisis tahun itu juga memicu bangkitnya jiwa entrepreneurship. Jutaan usaha kecil dan menengah yang baru bermunculan. Kita masih bisa menemukan jejaknya di kawasan SCBD di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Ternyata kreativitas kita bangkit.

Unsur Konsumsi

Saya membaca data Bank Indonesia (BI) yang membandingkan data makroekonomi kali ini dengan tahun 1997/ 1998. Ini hasil pontang-panting Divisi Komunikasi BI akibat berita ancaman krisis. Bisa jadi data itu beredar karena desakan publik yang gelisah. Kondisinya tampak sangat berbeda. Contohnya, untuk tahun ini perekonomian kita masih tumbuh sekitar 4,9%, sementara pada 1998 tumbuh negatif 13,13%.

Lalu, cadangan devisa 2015 sebesar USD107,6 miliar, sementara pada 1998 hanya USD23 miliar. Inflasinya juga sekitar 4% (2015) berbanding 77,63% (1998). Rasio utang kita terhadap PDB hanya sekitar 33% (2015) berbanding 120% (1998). Kalau merujuk data BI tersebut, kondisi makroekonomi kita saat ini jauh lebih baik ketimbang tahun 1998. Nah kalau potensi ekonominya bagaimana?

Anda tahu kan, kekuatan ekonomi kita dalam beberapa tahun belakangan ini adalah komoditas. Nah begitu anjlok, kita cuma punya semangat konsumsi. Lihat sajagrowth di Kalimantan dan Sumatera yang sudah amat kecil karena tumbangnya sektor komoditas. Tapi konsumsi? Hem, saya kira tinggal ini harapannya. Coba tengok hasil studi The Nielsen tentang World Consumer Confidence Index di mancanegara.

Ternyata kita berada di peringkat ketiga dunia dan masih sangat tinggi. Skornya 120. Memang turun 3 poin, tapi jauh di atas Malaysia yang mulai pesimistis (skornya sudah di bawah 100, yakni 89). Demikian juga Korea Selatan yang kurs mata uang lokalnya tak banyak terpengaruh dolar, skornya amat pesimistis (45). Artinya kelas menengah kita masih doyan belanja.

Tak mengherankan bila dalam pameran automotif beberapa hari lalu, dikabarkan total belanja automotif selama 10 hari di arena pameran mencapai lebih dari Rp5 triliun. Jadi sebetulnya kita tak perlu takut secara berlebihan. Maka, saya sebal betul dengan mereka yang mendramatisasi kondisi saat ini. Bukannya apa-apa, kalau nanti susah betulan mereka tentu akan merasakan akibatnya. Kalau sudah stagnasi, kriminalitas bakal marak dan hidup kita, juga anak-istri dan orang tua kita, menjadi tak aman lagi.

Krisis atau Tata Kelola Buruk?

Sebetulnya saya agak ragu dengan bayang-bayang PHK yang dilontarkan sejumlah pengamat atau praktisi. PHK itu terjadi lantaran melemahnya rupiah, akibat tata kelola perusahaan yang kurang beres, atau faktor lain? Belum lama ini saya terima pesan WhatsApp dari asosiasi nelayan di suatu daerah. Mereka bercerita tentang mulai terjadinya pengurangan waktu melaut sampai PHK.

Apa penyebabnya? Rupanya bukan karena persoalan kurs, tetapi lebih karena aturan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang melarang nelayan dengan kapal berbobot 30 gross ton (GT) untuk menangkap ikan memakai jaring cantrang dan beroperasi di wilayah 12 mil laut. Kalau bobot kapalnya kurang dari 30 GT dan beroperasi di wilayah kurang dari 12 mil laut, silakan pakai jaring cantrang. Jadi, kalau sampai terjadi PHK, jelas itu bukan karena krisis yang katanya disebabkan faktor kurs.

Kita Butuh Krisis

Baiklah sekarang saya ajak Anda untuk melihat krisis dari perspektif lain. Setiap orang atau bangsa bisa memberi makna yang berbeda-beda. Tapi, di sini, kita menganggapnya sebagai bahaya besar dengan kekacauan. Padahal di sana juga ada opportunity . Wahai bangsaku, tahukah Anda bahwa bangsa kita memerlukan ancaman? Apa itu tekanan atau ancaman krisis? Makin besar ancaman krisisnya, makin besar peluang kita untuk menjadi bangsa yang besar.

Simpelnya begini. Kalau perjalanan kita sebagai sebuah bangsa terasa enak, itu pertanda bahwa kita sedang bergerak menurun. Sebaliknya saat perjalanan terasa berat, itu pertanda bahwa kita sedang mendaki. Lagipula kalau tak terasa berat, para menteri akan bergerak lamban. Saya akan cuplik sedikit cerita yang saya tulis dalam buku Agility: Bukan Singa yang Mengembik.

Anda pasti masih ingat dengan bencana tsunami yang melanda Aceh pada akhir tahun 2004. Aceh lumpuh. Semua akses ke sana terputus. Hanya satu yang masih terbuka, yakni Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) yang dikelola PT Angkasa Pura 2. Bandara itu menjadi penting karena akses bantuan hanya bisa lewat sana. Tanpa bantuan, ratusan ribu rakyat Aceh bakal menjadi korban pascatsunami.

Baik karena kelaparan, kedinginan, atau tiadanya obat-obatan. Masalahnya, semua fasilitas komunikasi dibandara rusak. Tak bisa digunakan. Pun selama ini Bandara SIM hanya sanggup melayani enam sampai delapan penerbangan perhari. Areaparkir untuk pesawat sangat terbatas. Juga area pergudangannya. Sementara itu, pascatsunami, ada ratusan pesawat yang mesti mendarat per hari.

Pesawat- pesawat itu mengangkut berton-ton bantuan berupa makanan, pakaian hingga obatobatan. Juga ratusan ribu kantong mayat. Jadi, bandara itu harus beroperasi jauh di atas kapasitasnya. Krisis, itulah yang terjadi di Bandara SIM. Bagaimana mereka menghadapinya? Silakan Anda baca cerita detailnya di buku saya tersebut. Intinya, Bandara SIM mampu melewati krisis tersebut.

Kasus itu membuat kru Angkasa Pura 2 menjadi kru yang agile. Lincah, ulet, tidak gampang menyerah, dan dalam kondisi krisis mampu mengorganisasi diri sendiri. Kita tentu ingin bangsa kita menjadi bangsa yang agile. Bukan bangsa yang cengeng. Gampang merengek, padahal rupiah kita hanya melemah Rp1.500-an terhadap dolar AS.

Jangan sampai melemahnya rupiah kali ini membuat kita lupa pada pengalaman berharga tahun 1998, yakni krisis yang melahirkan ratusan ribu hingga jutaan UKM. Negara yang tangguh adalah negara yang 80% perekonomiannya ditopang oleh pengusaha-pengusaha skala UKM, bukan pebisnis skala raksasa.

Rhenald Kasali
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0742 seconds (0.1#10.140)