Menyikapi Tenaga Kerja Asing

Rabu, 02 September 2015 - 09:14 WIB
Menyikapi Tenaga Kerja Asing
Menyikapi Tenaga Kerja Asing
A A A
Menyikapi Tenaga Kerja Asing Investasi dan bantuan asing, baik yang bentuknya hibah maupun pinjaman lunak ke Indonesia, pasti akan menyertakan tenaga asing mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya.

Hal ini dilakukan tidak hanya dalam kasus investasi dan bantuan asing dari China, tetapi juga dari Amerika Serikat, Korea Selatan hingga Jepang. Modus itu juga mencakup semua sektor dari industri manufaktur hingga sektor dengan teknologi tinggi seperti pembangkit listrik, bahkan bantuan kepada lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ada sejumlah alasan yang melatarbelakanginya.

Namun yang paling utama adalah alasan untuk menjaga mutu atau kualitas investasi yang ditanamkan. Oleh sebab itu, umumnya tenaga kerja asing menduduki posisi-posisi tinggi yang belum dapat dilakukan tenaga kerja Indonesia mulai dari level manajer hingga direktur atau komisaris. Namun tenaga kerja asing (TKA) yang berasal dari China memang mendapat banyak perhatian di dunia.

TKA khususnya yang berasal dari China juga telah menjadi diskusi hangat dalam minggu-minggu terakhir ini. Topik itu juga menjadi salah satu tuntutan aksi unjuk rasa buruh hari Selasa kemarin walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit. Kita perlu berhati-hati juga dalam menanggapi fenomena TKA yang berasal dari China karena kita juga adalah negara pengirim TKA ke beberapa negara.

Saya menilai perspektif mereka yang menolak dan mendukung kebijakan TKA di Indonesia hanya dari sisi nasionalisme semata tidaklah produktif dan tidak sesuai dengan kenyataan dinamika ekonomi pasar dunia saat ini. Kita perlu meletakkan diskusi tentang keberadaan TKA dalam konteks apakah keberadaan mereka akan memperbaiki sistem hubungan industrial di Indonesia atau justru merugikan?

Apakah keberadaan TKA itu mendukung pertumbuhan ekonomi atau justru merugikan? Seandainya pun mereka mendorong pertumbuhan ekonomi, apakah memiliki dampak signifikan terhadap penurunan tingkat pengangguran di Indonesia? Pertanyaan tersebut terkait dengan fenomena bahwa dengan semakin terintegrasinya pasar dunia, migrasi tenaga kerja menjadi sesuatu yang tak bisa dihindari.

ILO mencatat ada setidaknya 232 juta pekerja migran di seluruh dunia dan 90% dari jumlah itu mengikutsertakan keluarga mereka. Ada negara-negara yang diuntungkan dan juga merugi dengan kehadiran TKA. Negaranegara yang mendapat keuntungan dari TKA misalnya adalah negara-negara maju di Eropa seperti Jerman, Inggris atau Prancis.

TKA di negara-negara tersebut mengisi kekosongan angkatan kerja akibat penduduk yang makin menua, tetapi tingkat kelahiran anak sangat rendah. Hal itu juga terjadi di Asia, khususnya Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. Singapura bahkan dapat dikatakan 40% dari penduduknya adalah TKA. Tetangga kita Malaysia juga salah satu negara yang mendapat keuntungan dengan ratusan ribu TKA asal Indonesia yang bekerja di sektor-sektor infrastruktur, sektor rumah tangga hingga perkebunan kelapa sawit.

Pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak menarik bagi warga Malaysia karena tingkat pendapatannya yang rendah. Di samping negara-negara yang diuntungkan dengan kehadiran TKA, ada pula negaranegara yang mengalami kerugian dan salah satu yang ramai dibicarakan adalah negara-negara di Benua Afrika. Mereka secara spesifik mengaitkan kerugian tersebut dengan investasi dan TKA asal China.

Setelah banyak negara donor Eropa dan Amerika yang menolak memberikan bantuan ke Afrika karena pemerintahan mereka yang tidak demokratis, otoritarian, dan penuh korupsi, Afrika adalah salah satu benua yang menjadi sasaran investasi dari China. Itulah sebabnya negara- negara Afrika kemudian juga menjadi salah satu tujuan migrasi tenaga kerja dari daratan China.

Migrasi tersebut disebabkan banyak investasi China adalah investasi di tiga sektor utama, yaitu pertambangan, agrikultur, dan energi. Seperti halnya di Indonesia, secara formal TKA asal China yang menyertai investasi ke Afrika memang jarang mendominasi angkatan kerja di satu perusahaan atau satu sektor industri.

Hal ini disebabkan negara-negara Afrika juga memiliki kebijakan yang membatasi penggunaan TKA, antara lain dengan mengatur penggunaan bahasa, jenis pekerjaan hingga rasio antara tenaga kerja lokal yang harus lebih besar daripada TKA. Meski demikian tidak berarti tidak ada kasus di mana TKA asal China lebih dominan daripada pekerja lokal.

Contohnya adalah proyek-proyek bantuan pembangunan USD15 juta ke Angola, tetapi hanya sedikit pekerjaan yang bisa diisi pekerja lokal (Mail & Guardian, 2011). Sedikitnyatenaga kerja lokal untuk pekerjaan yang berasal dari investasi China disebabkan hubungan industrial yang terjadi mengikuti pola kerja dan kebiasaan bekerja di China yang tidak memperhatikan standar hukum perburuhan internasional.

Proyek-proyek investasi China umumnya menuntut penyelesaian dalam waktu cepat, tidak memperhatikan keselamatan kerja tetapi dengan upah yang rendah (Li Anshan, 2007). Hal ini mengakibatkan tidak ada tenaga kerja lokal yang mampu mengikutinya. Seandainya ada tenaga kerja lokal yang bekerja, sering kali terjadi konflik karena pekerjaan dari investasi China cenderung mengabaikan hukum ketenagakerjaan setempat.

Apa yang mengkhawatirkan dari investasi China dan tenaga kerja China yang bekerja di Afrika menurut Chris Alden (2007) adalah berkembangnya komunitas masyarakat China yang kemudian tumbuh menjadi entitas usaha kecil dan menengah (UMKM) dan mengancam keberadaan UMKM lokal. Hal ini terjadi karena banyak pekerja yang kemudian membawa serta keluarga mereka.

Para anggota keluarga itu kemudian tumbuh menjadi pengusaha kecil menengah dan secara khusus bergerak di sektor ritel dengan mengimpor barang-barang rumah tangga dari China. Keadaan seperti itu yang dikeluhkan warga-warga negara di Afrika. Seorang rekan saya yang warga Afrika mengeluh, ”Bayangkan, tukang cukur rambut bagi para TKA China pun adalah orang China, demikian pula restorannya.

Lalu bagaimana warga kami bisa hidup?” Untuk itu, negara perlu bijak dengan lebih sigap memfasilitasi warga negaranya meraup peluang yang sebesar-besarnya dengan pendapatan yang sebaik- baiknya. Daripada mengeluh tentang TKA, Indonesia perlu menyokong penetrasi para warga kita dalam sektor-sektor pekerjaan yang strategis di luar negeri.

Program-program beasiswa yang didanai APBN harus memikirkan betul sektorsektor strategis yang butuh disokong sumber daya yang terampil, tetapi belum dikenal oleh rata-rata generasi muda Indonesia seperti bidang bioteknologi, teknik geologi dan kemaritiman, intelijen, atau kesehatan dan aktuaria.

Indonesia juga patut menyusun strategi diplomasi persuasi agar negara-negara lain dengan senang hati menyambut tenaga kerja asal Indonesia sambil menguatkan standardisasi hukum perlindungan bagi tenaga kerja di tingkat regional (ASEAN) atau multilateral (G-20, APEC, dst) agar tidak ada negara yang mengambil keuntungan dari lemahnya hukum di negara-negara asal TKA. Inilah contoh pekerjaan rumah yang mendesak bagi Indonesia.

DINNA WISNU
Pengamat Hubungan Internasional,
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
@dinnawisnu
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9520 seconds (0.1#10.140)