Perizinan Berbelit Picu Korupsi

Selasa, 01 September 2015 - 09:20 WIB
Perizinan Berbelit Picu Korupsi
Perizinan Berbelit Picu Korupsi
A A A
JAKARTA - Panjangnya prosedur yang harus ditempuh untuk mengurus perizinan di daerah dinilai menjadi salah satu peluang terjadinya praktik transaksional. Lamanya pengurusan pada akhirnya memicu potensi korupsi.

Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, prosedur birokrasi yang ke manamana sangat berpotensi bagi koruptor, baik berupa biaya ilegal, perburuan rente, suap atau lainnya.

”Izin di daerah ini kan soal uang dan kuasa,” ujarnya dalam diskusi ”Jalan Panjang Perizinan” di Kantor ADB, Jakarta, kemarin. Meskipun hampir semua daerah saat ini telah menerapkan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), bukan berarti semua perizinan berjalan lebih cepat. Apalagi masih banyak izin yang saling tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya. Dikatakan dia, jumlah izin sangat banyak dengan jumlah total secara nasional sebanyak 1.200 izin.

Di Jakarta saja terdapat 518 izin. Hasil riset yang dilakukan KPPOD di 5 kota, yakni Jakarta, Surabaya, Medan, Balikpapan, dan Makasar, ditemukan bahwa untuk memperoleh izin memulai usaha sangat panjang prosesnya dan memakan waktu cukup lama. Izin memulai usaha di 5 kota tersebut rata-rata harus melewati 8-10 prosedur yang memakan waktu 25-48 hari.

”Di Surabaya ini belum PTSP, jadi pengurusan masih beda dinasnya. Adapun Jakarta meskipun sudah PTSP masih membutuhkan waktu yang cukup lama. Lalu di Medan dan Makassar masih dimintai tarif izin gangguan,” ucapnya. Pria yang akrab dengan sapaan Endi itu mengatakan, saat ini yang perlu dipertanyakan soal PTSP bukan saja ada atau tidak daerah yang membentuk, tapi soal efektivitasnya.

Pasalnya, meskipun sudah di satu pintu, soal pengambilan putusan terkadang masih dikembalikan kepada kepala daerah. Hal inilah yang kemudian membuka celah praktik transaksional. ”Kadang sudah dilimpahkan, tapi hanya sekadar penerima berkas. Sisanya soal keputusan izin tetap di kepala daerah. Persetujuan ini yang masih membuka celah. Pasti ada pertemuan tidak normal, terutama izin besar, misalnya berkaitan dengan lahan atau tata ruang. Misalnya Karawang hingga akhirnya bupatinya ditahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” paparnya.

Di samping itu, ketidakoptimalan PTSP karena hanya menangani izin-izin berskala kecil. Sebab di beberapa daerah tidak semua izin sudah dilimpahkan di PTSP. Ada beberapa kepala daerah yang enggan memberikan kewenangan perizinan kepada PTSP. ”Di dalam perizinan ini ada uang dan kuasa. Bukan hal yang mudah untuk diserahkan, terutama soal izin lahan ataupun bangunan. Banyak daerah yang tidak mau melepaskan izin mendirikan bangunan (IMB) ke PTSP. Kadang cenderung memberikan kewenangan perizinan yang kecil-kecil kepada PTSP,” pungkasnya.

Peneliti KPPOD Boedi Reza mengatakan, IMB saat ini masih dianggap sangat lama. Parahnya tidak semua daerah menyerahkan IMB kepada PTSP. ”Mereka (kepala daerah) enggan menyerahkan IMB karena beralasan PTSP kurang kompeten secara teknis untuk melakukan kajian atas usulan IMB. Padahal, bisa saja PTSP-nya yang perlu ditingkatkan kapasitasnya,” kata dia.

Dalam temuan KPPOD, di Jakarta untuk pengurusan IMB saat iniharusmelalui17prosedur dan membutuhkan waktu 158 hari. Di Medan meskipun hanya 10 prosedur masih membutuhkan waktu 71 hari. Adapun di Surabaya terdapat 17 prosedur, tapi memakan waktu 243 hari. ”Untuk Makassar 10 prosedur dengan waktu 48 hari. Balikpapan 10 prosedur dengan waktu 48 hari,” ujarnya.

Mahal dan berbelit-belitnya masalah perizinan, menurut Peneliti KPPOD M Iqbal Damanik, lebih disebabkan cara pandang daerah. Daerah masih menganggap perizinan bagian dari sumber pendapatan bagi daerah. ”Misalnya, perizinan gangguan itu masih dilakukan di Medan dan Makassar karena menambah penghasilan mereka. Apalagi setiap SKPD (satuan kerja perangkat daerah) memang ditargetkan mengejar PAD (pendapatan asli daerah),” tuturnya.

Terpisah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, kementeriannya terus berusaha melakukan pembenahan terhadap perizinan di daerah. Sebelumnya dia pun meminta daerah agar menerapkan PTSP dengan baik. ”Ini terus kami benahi. Kalau pungutan ini masuk suap berarti terindikasi korupsi,” katanya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Bangda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Muhammad Marwan mengatakan, sebenarnya hampir semua daerah sudah membuat PTSP. Bahkan untuk tingkatan provinsi sudah semuanya membuat PTSP. ”Yang belum membuat itu sedikit sekali,” kata dia. Meski sudah membuat sistem PTSP tidak serta-merta perizinan menjadi tidak tumpang tindih. Sebab tidak semua urusan perizinan diserahkan ke Badan PTSP.

Masih ada yang ditangani sendiri oleh kepala daerah atau kepala SKPD. Setiap daerah ini berbedabeda, ada yang punya kewenangan memberikan 60 izin, tapi yang diserahkan ke PTSP hanya 40. Dia mengaku Kemendagri tidak bisa memaksa daerah untuk menerapkan PTSP karena dalam rezim Undang-Undang (UU) Nomor 32/2004 persoalan perizinan menjadi kewenangan daerah.

”Dahulu kami hanya mengimbau saja. Jadi, tergantung bagaimana daerah itu sendiri,” katanya. Menurut Marwan, dengan adanya UU Pemda yang baru PTSP dapat dilaksanakan secara maksimal karena diatur pula pemberian sanksi bagi daerah. Untuk jenis sanksinya, mereka menunggu peraturan pemerintah yang mengatur.

Dita angga
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4639 seconds (0.1#10.140)