Ojek Aplikasi Munculkan Konflik Sosial

Selasa, 01 September 2015 - 09:08 WIB
Ojek Aplikasi Munculkan...
Ojek Aplikasi Munculkan Konflik Sosial
A A A
JAKARTA - Kemampuan pengemudi ojek aplikasi yakni Go-Jek dan GrabBike dalam memberikan layanan jasa antar-jemput penumpang dan kurir barang serta makanan telah meningkatkan popularitas mereka.

Akibat popularitas semacam ini, pendapatan pengemudi pun meningkat. Kesenjangan pendapatan tersebut pun menimbulkan konflik antar dua jenis ojek ini. Pengemudi ojek aplikasi kerap menerima intimidasi, seperti larangan menaikkan dan menurunkan penumpang di sejumlah tempat, bahkan konflik tindak kekerasan yang dilakukan pengemudi ojek pangkalan.

Kejadian yang terjadi di Bekasi beberapa waktu lalu merupakan bukti nyata bahwa kesenjangan antara pengemudi ojek aplikasi dengan ojek pangkalan telah menimbulkan konflik sosial. Dengan alasan menurunkan pendapatan mereka, lima tukang ojek menganiaya Asep Supriatna, 30, seorang pengemudi Go-Jek. Seorang pengemudi Go- Jek, Lukman, 31, mengaku pernah dipalak seorang preman. Meski tidak begitu mempermasalahkannya, Lukman tetap merasa jengkel. ”Kena sekitar Rp50.000. Mungkin orang berpikir kami (Go-Jek) berpenghasilan besar,” kata warga Ciledug ini kemarin.

Sering terjadi intimidasi terhadap awaknya, membuat pengelola Go-Jek menjamin pengemudi dan penumpang dengan asuransi. Pengelola Go-Jek juga melarang penjemputan dan penurunan penumpang di lokasi yang berdekatan dengan ojek pangkalan. ”Kalau intimidasinya masih wajar, ya kami turuti saja mereka. Yang penting nggak terjadi gesekan,” tambah Lukman.

Mudahnya mendapat layanan ojek melalui aplikasi internet cukup dirasakan salah satu staf Pemkot Jakarta Barat, Yudha Kartika, 27. Dia menuturkan, dirinya dulu harus menunggu ke pinggir jalan untuk mencari angkutan umum maupun ojek. Kali ini, adanya Go-Jek maupun GrabBike, membuatnya tidak harus berpanas-panasan menunggu angkutan. ”Cukup klik, arahin tujuan kita, lalu tunggu, berangkat. Cukup simpel kok ,” tuturnya kemarin.

Sementara itu, pengemudi ojek pangkalan di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, Wahyu, 34, mengakui bahwa keberadaan ojek yang dipesan online telah membuat penghasilannya berkurang. Bila biasanya dia mampu mendapat Rp4 juta per bulan, sekarang Rp1-2 juta sudah sangat lumayan. ”Dulu kami bisa dapat 10 kepala paling sedikit, sekarang 7 aja lumayan,” tuturnya. Dahulu, kata Wahyu, ojek pangkalan kerap mendapatkan penumpang dari angkutan seperti mikrolet, metromini, dan kopaja.

Kemunculan ojek aplikasi membuat sejumlah penumpang tidak lagi mendatangi mereka. Adapun, Wahyu mematok harga Rp20.000 dari Palmerah menuju lampu merah Slipi, tempat biasa orang menunggu bus luar wilayah. Sosiolog Universitas Indonesia Devi Rahmawati menilai konflik muncul sebab ojek aplikasi menawarkan real time , kepastian tarif, dan harga murah.

Meski konflik ini terbilang wajar, ketakutan atas turunnya pendapatan para tukang ojek pangkalan akibat berkembangnya layanan ojek online menjadi kekhawatiran yang sangat perlu mendapat perhatian. Padahal jika dikaji lebih dalam, layanan ojek via aplikasi internet dapat memberikan pekerjaan dan menjawab impitan ekonomi yang cukup nyata.

”Ini kalau dimanfaatkan betul, bisa jadi solusi dalam mencari pekerjaan, sekaligus revolusi dalam penerimaan kerja,” tegasnya. Devi menyarankan, pengelola ojek aplikasi dan Pemprov DKI Jakarta gencar melakukan edukasi terhadap layanan baru ini. Devi yakin konflik sosial antara ojek konvensional dengan ojek aplikasi akan hilang dengan sendirinya seiring dengan meningkatnya pemahaman masyarakat.

”Jadikan hal ini sebagai pengangkatan pendapatan ekonomi ojek-ojek pengkolan, ekonomi akan terbantu dengan adanya aplikasi ini,” tambahnya.

Yan yusuf
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0876 seconds (0.1#10.140)