Pragmatisme Picu Perda Bermasalah
A
A
A
JAKARTA - Pragmatisme dinilai menjadi pemicu banyak peraturan daerah (perda) bermasalah. Perda-perda yang bertentangan dengan aturan di atasnya hingga akhirnya dibatalkan lahir sejak ada desentralisasi.
Pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf mengatakan, kemunculan perda itu karena pragmatis, jangka pendek, dan ada keuntungan sesaat sehingga pemerintah daerah (pemda) gagal membuat perda yang baik.
Seharusnya perda bermasalahtidakperluadadisetiaptahun sebab baik DPRD maupun kepala daerah sudah dibekali pengetahuan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Ditambah lagi birokrasi di daerah seharusnya sudah berpengalaman dalam pembuatan perda. ”Seperti halnya korupsi, sudah banyak yang ditangkap dan dihukum bertahun-tahun, tapi tetap saja ada yang korupsi. Aneh kan. Sebenarnya bisa juga mereka (pemda) bermitra dengan kalangan akademisi di daerah. Tetapi, mereka kadang ngotot dengan kemauannya sendiri,” katanya saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.
Dia menduga DPRD memiliki porsi yang cukup besar atas lahirnya perda bermasalah. Namun, tidak menutup kemungkinan kepala daerah juga berperan. Bukan tidak tahu cara membuat perda, tapi lebih karena mengutamakan kepentingan politik. Pandangan subjektif yang kurang didukung oleh kemampuan akhirnya memaksakan perda tersebut. Sebuah perda haruslah baik secara proses, penormaan, mudah dijalankan dan ditegakkan. Namun, karena lebih mengutamakan pragmatisme, ihwal tersebut diabaikan.
Mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan. Asep mengatakan, sejak desentralisasi dimulai sampai sekarang perda tentang pajak dan retribusi daerahlah yang paling banyak bermasalah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah lebih mengutamakan peningkatan pendapatan dan mengabaikan aturan di atasnya. ”Hampir 70% yang dibatalkan ini soal pajak dan retribusi dibatalkan. Sisanya baru perda diskriminatif dan lainnya,” ungkap dia.
Pemerintah harus tetap konsisten melakukan pembinaan dan pelatihan pada daerah. Bimbingan ini berkaitan dengan bagaimana membuat norma, membuat naskah akademik, bagaimana pembahasan di Dewan dan di masyarakat. Diperlukan pula membuka jaringan untuk membantu kepala daerah dan DPRD. Di samping itu, perlu ada juga sanksi bagi kepala daerah dan DPRD jika setelah dilakukan pembinaan dan pelatihan tetap ditemukan ada perda bermasalah secara berulang.
”Kalau tidak ada sanksi, mereka tidak akan kapokkapok. Seperti APBD yang terlambat itu gaji kan ditahan. Nah, ini bisa saja gaji dikurangi, baik kepala daerah atau DPRD. Dengan begitu, mereka akan lebih hati-hati,” ucapnya. Terpisah, Kepala Biro (Karo) Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto mengaku hingga kini memang masih ditemukan perda bermasalah. Namun, dari tahun ke tahun jumlahnya menurun.
Pria yang akrab disapa Sigit ini mengungkapkan, perda yang bermasalah dan akhirnya dibatalkan berkaitan dengan pajak dan retribusi. Perda yang lahir seringkali bertentangan dengan Undang-Undang (UU) 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Menurut dia, kewenangan kabupaten dan provinsi itu berbeda, sudah ada data mana saja yang bisa dipajaki dan mana yang tidak. Tetapi, pemda sering membuat perda yang anehaneh. Artinya, aturan yang ada malah dilanggar.
Misalnya ada daerah yang membuat perda retribusi yang dikenakan ketika melakukan pencarian sumber minyak. Ini baru mencari saja sudah disuruh bayar makanya dibatalkan Kemendagri. Apalagi jika berkaitan dengan peningkatan pendapatan asli daerah(PAD), DPRDakansangat mendukung.
Terlepas dari apakahbertentangandenganaturan yang di atasnya atau tidak. ”Jadi kalau ada usulan dari eksekutif terkait dengan pungutan itu, setuju-setuju saja. Dia (DPRD) pergi-pergi pakai uang PAD. Sumber PAD setelah masuk kas daerah bisa dikeluarkan untuk kegiatan DPRD,” paparnya.
Siapkan E-Perda
Kemendagri mempersiapkan Elektronik Peraturan Daerah (e-Perda) untuk meminimalisasi banyak perda bermasalah. ”Kita akan menerapkan e- Perda. Artinya, konsultasi perda dapat dilakukan secara elektronik. Misalnya, ketika proses suatu daerah merancang sebuah perda dapat dikonsultasikan tanpa harus bertatap muka,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) OtonomiDaerah(Otda) Kemendagri S Sumarsono kemarin.
Dia mengaku hingga kini masih banyak perda bermasalah. Misalnya hingga beberapa bulan lalu, 139 perda dibatalkan karena tidak sesuai peraturan di atasnya sehingga perlu tindakan dari pusat yakni membuat e-Perda. Di samping ada e-Perda, Kemendagri tetap melakukan pelatihan dan bimbingan. Bimbingan secara langsung bahan akan dilakukan untuk kasuskasus tertentu.
Dia pun menjamin perda bermasalah tidak akan lolos begitu saja. Salah satu syarat perda untuk berlaku secara umum adalah masuk ke dalam lembaran negara. Sebelum masuk lembaran negara, setiap perda diharuskan mendapatkan nomor register. Perda-perda tidak saja bermasalah secara teknis dan perundang- undangan salah, tapi juga secara substansi tidak sinkron dengan aturan di atasnya.
Selain itu, tidak sesuai dengan kementerian teknis. ”Misalnya ada kehutanan, pajak lain-lainnya. Mohon perda dikoreksi. Tidak semata perspektif hukumnya. Ada kementerian/ lembaga merasa substansi perda tidak sesuai. Jadi selama ini kami menerima masukan dari masyarakat dan kementerian/ lembaga,” jelas pria yang akrab disapa Soni ini. Dia pun mengakui sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu faktor penyebab perda bermasalah.
Kapasitas SDM baik pemda maupun DPRD masih belum maksimal. Ada yang melek hukum, tapi banyak juga yang buta hukum. Lalu, berkaitan dengan kurangnya intensitas pembinaan, terutama kepada DPRD, diakui Soni, karena belum efektif menjangkau seluruh Indonesia mengingat jumlah DPRD begitu banyak. Tapi, ada juga yang diberikan bimbingan masih saja salah dalam membuat perda.
Entah karena tidak mendengarkan saat bimbingan atau memang tidak datang. Namun, ada juga yang sengaja melanggar peraturan di atasnya saat membuat perda. Salah satunya demi meningkatkan PAD. Sementara itu, anggota Komisi II DPR Arteria Dahlan menilai e-Perda dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi perda bermasalah. ”Minimal materi yang tidak jelas akan terlihat. Artinya, sinkronisasi dan harmonisasi dengan undang-undang di atasnya dapat diamankan,” katanya.
Kendati begitu, dia mengingatkan jangan sampai dalam melakukan supervisi, konfigurasi politik pusat berpengaruh ke peraturan di daerah sehingga e-Perda ini perlu integritas.
Dita angga
Pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf mengatakan, kemunculan perda itu karena pragmatis, jangka pendek, dan ada keuntungan sesaat sehingga pemerintah daerah (pemda) gagal membuat perda yang baik.
Seharusnya perda bermasalahtidakperluadadisetiaptahun sebab baik DPRD maupun kepala daerah sudah dibekali pengetahuan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Ditambah lagi birokrasi di daerah seharusnya sudah berpengalaman dalam pembuatan perda. ”Seperti halnya korupsi, sudah banyak yang ditangkap dan dihukum bertahun-tahun, tapi tetap saja ada yang korupsi. Aneh kan. Sebenarnya bisa juga mereka (pemda) bermitra dengan kalangan akademisi di daerah. Tetapi, mereka kadang ngotot dengan kemauannya sendiri,” katanya saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.
Dia menduga DPRD memiliki porsi yang cukup besar atas lahirnya perda bermasalah. Namun, tidak menutup kemungkinan kepala daerah juga berperan. Bukan tidak tahu cara membuat perda, tapi lebih karena mengutamakan kepentingan politik. Pandangan subjektif yang kurang didukung oleh kemampuan akhirnya memaksakan perda tersebut. Sebuah perda haruslah baik secara proses, penormaan, mudah dijalankan dan ditegakkan. Namun, karena lebih mengutamakan pragmatisme, ihwal tersebut diabaikan.
Mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan. Asep mengatakan, sejak desentralisasi dimulai sampai sekarang perda tentang pajak dan retribusi daerahlah yang paling banyak bermasalah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah lebih mengutamakan peningkatan pendapatan dan mengabaikan aturan di atasnya. ”Hampir 70% yang dibatalkan ini soal pajak dan retribusi dibatalkan. Sisanya baru perda diskriminatif dan lainnya,” ungkap dia.
Pemerintah harus tetap konsisten melakukan pembinaan dan pelatihan pada daerah. Bimbingan ini berkaitan dengan bagaimana membuat norma, membuat naskah akademik, bagaimana pembahasan di Dewan dan di masyarakat. Diperlukan pula membuka jaringan untuk membantu kepala daerah dan DPRD. Di samping itu, perlu ada juga sanksi bagi kepala daerah dan DPRD jika setelah dilakukan pembinaan dan pelatihan tetap ditemukan ada perda bermasalah secara berulang.
”Kalau tidak ada sanksi, mereka tidak akan kapokkapok. Seperti APBD yang terlambat itu gaji kan ditahan. Nah, ini bisa saja gaji dikurangi, baik kepala daerah atau DPRD. Dengan begitu, mereka akan lebih hati-hati,” ucapnya. Terpisah, Kepala Biro (Karo) Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto mengaku hingga kini memang masih ditemukan perda bermasalah. Namun, dari tahun ke tahun jumlahnya menurun.
Pria yang akrab disapa Sigit ini mengungkapkan, perda yang bermasalah dan akhirnya dibatalkan berkaitan dengan pajak dan retribusi. Perda yang lahir seringkali bertentangan dengan Undang-Undang (UU) 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Menurut dia, kewenangan kabupaten dan provinsi itu berbeda, sudah ada data mana saja yang bisa dipajaki dan mana yang tidak. Tetapi, pemda sering membuat perda yang anehaneh. Artinya, aturan yang ada malah dilanggar.
Misalnya ada daerah yang membuat perda retribusi yang dikenakan ketika melakukan pencarian sumber minyak. Ini baru mencari saja sudah disuruh bayar makanya dibatalkan Kemendagri. Apalagi jika berkaitan dengan peningkatan pendapatan asli daerah(PAD), DPRDakansangat mendukung.
Terlepas dari apakahbertentangandenganaturan yang di atasnya atau tidak. ”Jadi kalau ada usulan dari eksekutif terkait dengan pungutan itu, setuju-setuju saja. Dia (DPRD) pergi-pergi pakai uang PAD. Sumber PAD setelah masuk kas daerah bisa dikeluarkan untuk kegiatan DPRD,” paparnya.
Siapkan E-Perda
Kemendagri mempersiapkan Elektronik Peraturan Daerah (e-Perda) untuk meminimalisasi banyak perda bermasalah. ”Kita akan menerapkan e- Perda. Artinya, konsultasi perda dapat dilakukan secara elektronik. Misalnya, ketika proses suatu daerah merancang sebuah perda dapat dikonsultasikan tanpa harus bertatap muka,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) OtonomiDaerah(Otda) Kemendagri S Sumarsono kemarin.
Dia mengaku hingga kini masih banyak perda bermasalah. Misalnya hingga beberapa bulan lalu, 139 perda dibatalkan karena tidak sesuai peraturan di atasnya sehingga perlu tindakan dari pusat yakni membuat e-Perda. Di samping ada e-Perda, Kemendagri tetap melakukan pelatihan dan bimbingan. Bimbingan secara langsung bahan akan dilakukan untuk kasuskasus tertentu.
Dia pun menjamin perda bermasalah tidak akan lolos begitu saja. Salah satu syarat perda untuk berlaku secara umum adalah masuk ke dalam lembaran negara. Sebelum masuk lembaran negara, setiap perda diharuskan mendapatkan nomor register. Perda-perda tidak saja bermasalah secara teknis dan perundang- undangan salah, tapi juga secara substansi tidak sinkron dengan aturan di atasnya.
Selain itu, tidak sesuai dengan kementerian teknis. ”Misalnya ada kehutanan, pajak lain-lainnya. Mohon perda dikoreksi. Tidak semata perspektif hukumnya. Ada kementerian/ lembaga merasa substansi perda tidak sesuai. Jadi selama ini kami menerima masukan dari masyarakat dan kementerian/ lembaga,” jelas pria yang akrab disapa Soni ini. Dia pun mengakui sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu faktor penyebab perda bermasalah.
Kapasitas SDM baik pemda maupun DPRD masih belum maksimal. Ada yang melek hukum, tapi banyak juga yang buta hukum. Lalu, berkaitan dengan kurangnya intensitas pembinaan, terutama kepada DPRD, diakui Soni, karena belum efektif menjangkau seluruh Indonesia mengingat jumlah DPRD begitu banyak. Tapi, ada juga yang diberikan bimbingan masih saja salah dalam membuat perda.
Entah karena tidak mendengarkan saat bimbingan atau memang tidak datang. Namun, ada juga yang sengaja melanggar peraturan di atasnya saat membuat perda. Salah satunya demi meningkatkan PAD. Sementara itu, anggota Komisi II DPR Arteria Dahlan menilai e-Perda dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi perda bermasalah. ”Minimal materi yang tidak jelas akan terlihat. Artinya, sinkronisasi dan harmonisasi dengan undang-undang di atasnya dapat diamankan,” katanya.
Kendati begitu, dia mengingatkan jangan sampai dalam melakukan supervisi, konfigurasi politik pusat berpengaruh ke peraturan di daerah sehingga e-Perda ini perlu integritas.
Dita angga
(ars)