Rieke Minta Penghapusan Berbahasa bagi TKA Ditinjau Ulang
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka meminta penghapusan syarat wajib berbahasa Indonesia bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) ditinjau ulang.
Dia berpendapat, bulan Desember 2015 merupakan lonceng Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berdentang, tapi hingga saat ini belum tersosialisasi dengan baik. Bukan hanya modal dan barang yang bergerak tanpa sekat, tapi juga manusianya yaitu tenaga kerja.
"Free Trade Zone bukan berarti bebas tanpa aturan. Indonesia harus berlari untuk mempersiapkan semua aturan hukum yang jelas, tegas dan tidak berubah-ubah," kata Rieke saat dihubungi SINDO, Minggu 23 Agustus 2015.
Menurut Rieke, Indonesia harus mampu menjadi negara industri, namun tentu dengan semangat terjadi penciptaan lapangan kerja bagi rakyat, serta penguatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia. Pemerintah harus tegas terhadap mafia investasi, mafia bea cukai dan pajak, serta mafia perizinan.
Dia menilai, memberantas pungli juga penting. Dirinya juga mendorong agar segera dibuat perizinan yang tak berbelit-belit, sinkron terintegrasi antara aturan pusat dan daerah.
"Regulasi industri dan perdagangan yang berbiaya tinggi termasuk pungli harus sudah saatnya dihilangkan. Kebijakan energi dan perbankan yang berpihak kepada industri serta infrastruktur yang memadai dan layak juga penting segera ditatakelola dengan baik," jelas Rieke.
Mengenai kewajiban berbahasa Indonesia menjadi kendala masuknya investasi modal asing, Rieke justru memertanyakan pemikiran tersebut. Selama ini, kewajiban berbahasa Indonesia bagi TKA diatur di Permenakertrans Nomor 12/2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Ketentuan tersebut untuk mempercepat alih ilmu dan teknologi dari TKA ke tenaga kerja dalam negeri, sekaligus untuk meminimalisir benturan budaya akibat kendala bahasa. Namun, aturan tersebut tidak pernah terimplementasi dengan baik.
"Sehingga bisa dipastikan mayoritas TKA bahkan tidak tahu ada aturan tersebut. Salah satu contoh maraknya TKA asal Tiongkok yang masuk ke Indonesia, jangankan kemampuan bahasa, kedatangannya pun sebagian melalui jalur dan prosedur ilegal," ujar Rieke.
Namun demikian, lanjutnya, problem industri di Indonesia tidak kunjung teratasi. Jadi berdasarkan hasil advokasi di lapangan dan analisa empirik yang telah dilakukan problem masuknya investasi atau problem industrialisasi bisa dipastikan bukan karena aturan tentang kewajiban berbahasa Indonesia, yang justru bagi dirinya hal itu harus dipertahankan.
Ketentuan tersebut sudah direvisi dengan Permenaker Nomor 16/2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Semua TKA yang bekerja di Indonesia apapun jabatannya tidak perlu menguasai bahasa Indonesia.
"Sebaiknya revisi tersebut ditinjau kembali. TKI saja sebelum berangkat ke negara tujuan wajib mendalami budaya dan bahasa negara penempatan," tegasnya.
Rieke menambahkan, bisa dibayangkan Desember nanti seluruh tingkatan lapangan kerja di Indonesia disesaki TKA. Bahkan termasuk pekerjaan menengah ke bawah, tanpa ada aturan yang memberi proteksi terhadap kesempatan kerja, alih ilmu dan teknologi bagi rakyat Indonesia sendiri.
"Pertanyaan yang saya titipkan semoga menjadi perenungan bagi para penentu kebijakan: betulkah industrialisasi di Indonesia kendalanya adalah kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia bagi Tenaga Kerja Asing?" tandasnya.
PILIHAN:
Pangarmabar Minta Jajarannya Tingkatkan Quick Respons
Kabinet Tak Solid, Istana Jadi Pusat Kegaduhan
Dia berpendapat, bulan Desember 2015 merupakan lonceng Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berdentang, tapi hingga saat ini belum tersosialisasi dengan baik. Bukan hanya modal dan barang yang bergerak tanpa sekat, tapi juga manusianya yaitu tenaga kerja.
"Free Trade Zone bukan berarti bebas tanpa aturan. Indonesia harus berlari untuk mempersiapkan semua aturan hukum yang jelas, tegas dan tidak berubah-ubah," kata Rieke saat dihubungi SINDO, Minggu 23 Agustus 2015.
Menurut Rieke, Indonesia harus mampu menjadi negara industri, namun tentu dengan semangat terjadi penciptaan lapangan kerja bagi rakyat, serta penguatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia. Pemerintah harus tegas terhadap mafia investasi, mafia bea cukai dan pajak, serta mafia perizinan.
Dia menilai, memberantas pungli juga penting. Dirinya juga mendorong agar segera dibuat perizinan yang tak berbelit-belit, sinkron terintegrasi antara aturan pusat dan daerah.
"Regulasi industri dan perdagangan yang berbiaya tinggi termasuk pungli harus sudah saatnya dihilangkan. Kebijakan energi dan perbankan yang berpihak kepada industri serta infrastruktur yang memadai dan layak juga penting segera ditatakelola dengan baik," jelas Rieke.
Mengenai kewajiban berbahasa Indonesia menjadi kendala masuknya investasi modal asing, Rieke justru memertanyakan pemikiran tersebut. Selama ini, kewajiban berbahasa Indonesia bagi TKA diatur di Permenakertrans Nomor 12/2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Ketentuan tersebut untuk mempercepat alih ilmu dan teknologi dari TKA ke tenaga kerja dalam negeri, sekaligus untuk meminimalisir benturan budaya akibat kendala bahasa. Namun, aturan tersebut tidak pernah terimplementasi dengan baik.
"Sehingga bisa dipastikan mayoritas TKA bahkan tidak tahu ada aturan tersebut. Salah satu contoh maraknya TKA asal Tiongkok yang masuk ke Indonesia, jangankan kemampuan bahasa, kedatangannya pun sebagian melalui jalur dan prosedur ilegal," ujar Rieke.
Namun demikian, lanjutnya, problem industri di Indonesia tidak kunjung teratasi. Jadi berdasarkan hasil advokasi di lapangan dan analisa empirik yang telah dilakukan problem masuknya investasi atau problem industrialisasi bisa dipastikan bukan karena aturan tentang kewajiban berbahasa Indonesia, yang justru bagi dirinya hal itu harus dipertahankan.
Ketentuan tersebut sudah direvisi dengan Permenaker Nomor 16/2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Semua TKA yang bekerja di Indonesia apapun jabatannya tidak perlu menguasai bahasa Indonesia.
"Sebaiknya revisi tersebut ditinjau kembali. TKI saja sebelum berangkat ke negara tujuan wajib mendalami budaya dan bahasa negara penempatan," tegasnya.
Rieke menambahkan, bisa dibayangkan Desember nanti seluruh tingkatan lapangan kerja di Indonesia disesaki TKA. Bahkan termasuk pekerjaan menengah ke bawah, tanpa ada aturan yang memberi proteksi terhadap kesempatan kerja, alih ilmu dan teknologi bagi rakyat Indonesia sendiri.
"Pertanyaan yang saya titipkan semoga menjadi perenungan bagi para penentu kebijakan: betulkah industrialisasi di Indonesia kendalanya adalah kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia bagi Tenaga Kerja Asing?" tandasnya.
PILIHAN:
Pangarmabar Minta Jajarannya Tingkatkan Quick Respons
Kabinet Tak Solid, Istana Jadi Pusat Kegaduhan
(kri)