Indonesia Damai dalam Fikih Kebinekaan
A
A
A
Indonesia adalah negara yang terdiri atas berbagai macam suku dan agama yang diikat dengan konstitusi. Dalam konstitusi, siapa pun berhak menjadi pemimpin baik berasal dari suku dan agama tertentu.
Polemik kepemimpinan nonmuslim makin mencuat di kalangan umat Islam akhirakhir ini sehingga dibutuhkan gagasan-gagasan ideal dengan landasan Alquran dan Hadis tentang kepemimpinan nonmuslim. Hal itu mengemuka dalam dialog bedah buku Fikih Kebinekaan, ”Pandangan Islam Indonesia: Tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Nonmuslim”, Kamis (20/8) di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta.
Penulis buku Fikih Kebinekaan, Wawan Gunawan Abdul Wahid, menyatakan, ayat dalam Alquran tentang larangan memilih pemimpin non-muslim banyak diartikan sepihak oleh beberapa kalangan. Dalam memahami ayat dalam Alquran dibutuhkan landasan yang memadai seperti sebab-sebab turunnya ayat, landasan filosofis dan teologis. Polemik yang menolak kepemimpinan nonmuslim seringkali mengusung dalil Alquran tanpa mengindahkan landasan historis dan filosofis turunnya ayat tersebut.
Hal itu kemudian seolah menjadikan agama Islam adalah agama yang anti pada kebinekaan. Padahal, ia menuturkan, Islam dengan jelas meng-usung misi rahmatan lil-alam-in (rahmat untuk semesta). ”Banyak yang menolak kepemimpinan nonmuslim dengan mengusung dalil Alquran, namun tanpa disertai landasan historis dan filosofis sehingga menimbulkan paham-paham yang menjurus pada antikebinekaan,” ujarnya.
Kepemimpinan nonmuslim, menurutnya, boleh dilakukan dengan rujukan Piagam Madinah yang dibuat oleh kepemimpinan Rasulullah SAW di Madinah. Dalam Piagam Madinah dengan jelas Rasulullah tidak menggunakan kata muslim (untuk area privat atau eksklusif), namun menggunakan kata ummah atau umat (yang berarti area terbuka atau bersifat universal) dalam mengikat masyarakat dalam sebuah konstitusi.
Hal itu demi mengayomi seluruh lapisan golongan masyarakat Madinah yang multikultural dan agama. Hukum Islam tidak diberlakukan demi mengakomodasi masyarakat yang berbeda agama. Wawan mengutip pemikiran Ibnu Taimiyah dalam buku Fikih Kebinekaan tentang bolehnya memilih pemimpin nonmuslim. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kebaikan tersebar di mana-mana tanpa harus melihat agama dan sukunya.
Maka dengan jelas, kebaikan tidak hanya ada pada golongan umat muslim belaka atau golongan agama lainnya. Hal ini kemudian disambungkan dengan Hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa akan tiba Hari Kiamat jika suatu perkara diserahkan kepada orang yang tidak memiliki kredibilitas dan kapasitas dalam pekerjaannya.
Hal inilah yang kemudian merujuk pada gagasan membolehkan kepemimpinan nonmuslim dengan syarat bersih dari korupsi dan berkapasitas dalam pekerjaannya. ”Agama Islam melarang memilih pemimpin korup dan despotik, apa pun agamanya,” ujarnya.
Berbanding terbalik, Sekretaris Dewan Syariah Partai Keadilan Sejahtera Bukhori Yusuf menilai, kepemimpinan nonmuslim di Indonesia haruslah melihat pada nilai kewajaran.
Imas damayanti
Polemik kepemimpinan nonmuslim makin mencuat di kalangan umat Islam akhirakhir ini sehingga dibutuhkan gagasan-gagasan ideal dengan landasan Alquran dan Hadis tentang kepemimpinan nonmuslim. Hal itu mengemuka dalam dialog bedah buku Fikih Kebinekaan, ”Pandangan Islam Indonesia: Tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Nonmuslim”, Kamis (20/8) di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta.
Penulis buku Fikih Kebinekaan, Wawan Gunawan Abdul Wahid, menyatakan, ayat dalam Alquran tentang larangan memilih pemimpin non-muslim banyak diartikan sepihak oleh beberapa kalangan. Dalam memahami ayat dalam Alquran dibutuhkan landasan yang memadai seperti sebab-sebab turunnya ayat, landasan filosofis dan teologis. Polemik yang menolak kepemimpinan nonmuslim seringkali mengusung dalil Alquran tanpa mengindahkan landasan historis dan filosofis turunnya ayat tersebut.
Hal itu kemudian seolah menjadikan agama Islam adalah agama yang anti pada kebinekaan. Padahal, ia menuturkan, Islam dengan jelas meng-usung misi rahmatan lil-alam-in (rahmat untuk semesta). ”Banyak yang menolak kepemimpinan nonmuslim dengan mengusung dalil Alquran, namun tanpa disertai landasan historis dan filosofis sehingga menimbulkan paham-paham yang menjurus pada antikebinekaan,” ujarnya.
Kepemimpinan nonmuslim, menurutnya, boleh dilakukan dengan rujukan Piagam Madinah yang dibuat oleh kepemimpinan Rasulullah SAW di Madinah. Dalam Piagam Madinah dengan jelas Rasulullah tidak menggunakan kata muslim (untuk area privat atau eksklusif), namun menggunakan kata ummah atau umat (yang berarti area terbuka atau bersifat universal) dalam mengikat masyarakat dalam sebuah konstitusi.
Hal itu demi mengayomi seluruh lapisan golongan masyarakat Madinah yang multikultural dan agama. Hukum Islam tidak diberlakukan demi mengakomodasi masyarakat yang berbeda agama. Wawan mengutip pemikiran Ibnu Taimiyah dalam buku Fikih Kebinekaan tentang bolehnya memilih pemimpin nonmuslim. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kebaikan tersebar di mana-mana tanpa harus melihat agama dan sukunya.
Maka dengan jelas, kebaikan tidak hanya ada pada golongan umat muslim belaka atau golongan agama lainnya. Hal ini kemudian disambungkan dengan Hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa akan tiba Hari Kiamat jika suatu perkara diserahkan kepada orang yang tidak memiliki kredibilitas dan kapasitas dalam pekerjaannya.
Hal inilah yang kemudian merujuk pada gagasan membolehkan kepemimpinan nonmuslim dengan syarat bersih dari korupsi dan berkapasitas dalam pekerjaannya. ”Agama Islam melarang memilih pemimpin korup dan despotik, apa pun agamanya,” ujarnya.
Berbanding terbalik, Sekretaris Dewan Syariah Partai Keadilan Sejahtera Bukhori Yusuf menilai, kepemimpinan nonmuslim di Indonesia haruslah melihat pada nilai kewajaran.
Imas damayanti
(ars)