Pasal Penghinaan Presiden
A
A
A
Pemerintah tiba-tiba mengusulkan untuk memasukkan kembali pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Langkah ini tentu tidak seharusnya dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) karena bisa mematikan demokrasi yang telah terbangun baik selama ini.
Keputusan pemerintah tersebut harus dikaji kembali demi kemaslahatan dan kebaikan semua warga bangsa. Jangan sampai masyarakat berpikiran bahwa rencana menghidupkan lagi pasal penghinaan presiden tersebut merupakan kepanikan Presiden Jokowi yang terus menuai kritik saat usia pemerintahannya belum genap satu tahun.
Jangan sampai juga langkah ini merupakan pengalihan isu atas ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi nasional yang terus mengalami tekanan. Sementara DPR pun harus menolak usulan tersebut jika pemerintah tetap bersikukuh memasukkan pasal tersebut dalam RUU KUHP dan tidak mengesahkannya menjadi undang-undang.
Banyak alasan kenapa kita harus menolak usulan memasukkan kembali pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP. Pertama , pasal penghinaan presiden yang diajukan pemerintahan Jokowi-JK ini ternyata sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 6 Desember 2006 dengan No.013-022/PUU-IV/2006. Kala itu MK menilai pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Sebagai negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), pasal tersebut tidak relevan lagi diterapkan di republik ini. Dalam putusannya, MK juga memerintahkan pemerintah dan DPR menghapus norma itu dari RUU KUHP.
Karena itu, tidak pantas bagi pemerintah untuk menghidupkan kembali pasal yang telah dihapus MK tersebut. Karena, bila diteruskan, pemerintah telah melakukan langkah yang bertentangan dengan konstitusi sesuai dengan putusan MK. Hal ini sama saja merupakan kemunduran hukum Indonesia.
Pemerintah tidak memberikan contoh yang baik dalam upaya penegakan hukum. Kedua, manuver pemerintah ini juga telah mencederai perjuangan para aktivis Reformasi yang turut meletakkan dasar-dasar demokrasi di Indonesia.
Perjuangan Reformasi yang berdarah-darah seakan sirna oleh keberadaan pasal tersebut. Karena menghidupkan pasal tersebut sama saja dengan mematikan sikap kritis masyarakat dan membungkam suara nurani rakyat. Kalau sikap kritis hilang, tentu tidak ada bedanya lagi dengan era Orde Baru.
Tentu ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi di negara ini. Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga dunia. Jangan sampai capaiantersebuthancurkarenamasuknya pasalpenghinaanpresiden dalam RUU KUHP tersebut.
Ketiga, banyak kalangan menduga upaya ”menyusupkan” pasal penghinaan presiden ini dikhawatirkan akan menjadi alat pemerintah untuk mematikan lawan-lawan politiknya.
Boleh saja Menteri Hukum dan HAM mengatakan ada perbedaan antara yang diajukan pemerintah kali ini dengan pasal yang telah dibatalkan MK seperti adanya keharusan delik aduan dalam pasal tersebut. Namun pada prinsipnya pasal tersebut sangat subjektif bagi siapa yang menafsirkannya.
Pemerintah yang tanpa kontrol dan pengawasan dari masyarakat tentu akan sangat berbahaya. Kita bisa belajar banyak dari apa yang terjadi di era Orde Baru. Karena itu, di satu sisi, pemerintah tidak perlu menggunakan kekuasaan yang berlebihan melalui pasal tersebut untuk memerkarakan para pengkritiknya.
Di sisi lain, sudah saatnya masyarakat Indonesia juga semakin dewasa untuk memberikan kritik yang baik dan beradab kepada pemerintah yang dinilai kurang pas.
Jangan sampai kritikan malah bernada kasar dan menghina yang pada gilirannya justru kontraproduktif. Apa pun bentuknya, kritik yang membangun itu sangat penting untuk kontrol bagi pemerintah agar kekuasaan tidak disalahgunakan. Ingat, power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.
Intinya bahwa demokrasi harus tetap saling menghargai, tetapi pemerintah tak boleh juga semena-mena dalam menggunakan kekuasaan untuk membungkam suara kritis masyarakat.
Langkah ini tentu tidak seharusnya dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) karena bisa mematikan demokrasi yang telah terbangun baik selama ini.
Keputusan pemerintah tersebut harus dikaji kembali demi kemaslahatan dan kebaikan semua warga bangsa. Jangan sampai masyarakat berpikiran bahwa rencana menghidupkan lagi pasal penghinaan presiden tersebut merupakan kepanikan Presiden Jokowi yang terus menuai kritik saat usia pemerintahannya belum genap satu tahun.
Jangan sampai juga langkah ini merupakan pengalihan isu atas ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi nasional yang terus mengalami tekanan. Sementara DPR pun harus menolak usulan tersebut jika pemerintah tetap bersikukuh memasukkan pasal tersebut dalam RUU KUHP dan tidak mengesahkannya menjadi undang-undang.
Banyak alasan kenapa kita harus menolak usulan memasukkan kembali pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP. Pertama , pasal penghinaan presiden yang diajukan pemerintahan Jokowi-JK ini ternyata sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 6 Desember 2006 dengan No.013-022/PUU-IV/2006. Kala itu MK menilai pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Sebagai negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), pasal tersebut tidak relevan lagi diterapkan di republik ini. Dalam putusannya, MK juga memerintahkan pemerintah dan DPR menghapus norma itu dari RUU KUHP.
Karena itu, tidak pantas bagi pemerintah untuk menghidupkan kembali pasal yang telah dihapus MK tersebut. Karena, bila diteruskan, pemerintah telah melakukan langkah yang bertentangan dengan konstitusi sesuai dengan putusan MK. Hal ini sama saja merupakan kemunduran hukum Indonesia.
Pemerintah tidak memberikan contoh yang baik dalam upaya penegakan hukum. Kedua, manuver pemerintah ini juga telah mencederai perjuangan para aktivis Reformasi yang turut meletakkan dasar-dasar demokrasi di Indonesia.
Perjuangan Reformasi yang berdarah-darah seakan sirna oleh keberadaan pasal tersebut. Karena menghidupkan pasal tersebut sama saja dengan mematikan sikap kritis masyarakat dan membungkam suara nurani rakyat. Kalau sikap kritis hilang, tentu tidak ada bedanya lagi dengan era Orde Baru.
Tentu ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi di negara ini. Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga dunia. Jangan sampai capaiantersebuthancurkarenamasuknya pasalpenghinaanpresiden dalam RUU KUHP tersebut.
Ketiga, banyak kalangan menduga upaya ”menyusupkan” pasal penghinaan presiden ini dikhawatirkan akan menjadi alat pemerintah untuk mematikan lawan-lawan politiknya.
Boleh saja Menteri Hukum dan HAM mengatakan ada perbedaan antara yang diajukan pemerintah kali ini dengan pasal yang telah dibatalkan MK seperti adanya keharusan delik aduan dalam pasal tersebut. Namun pada prinsipnya pasal tersebut sangat subjektif bagi siapa yang menafsirkannya.
Pemerintah yang tanpa kontrol dan pengawasan dari masyarakat tentu akan sangat berbahaya. Kita bisa belajar banyak dari apa yang terjadi di era Orde Baru. Karena itu, di satu sisi, pemerintah tidak perlu menggunakan kekuasaan yang berlebihan melalui pasal tersebut untuk memerkarakan para pengkritiknya.
Di sisi lain, sudah saatnya masyarakat Indonesia juga semakin dewasa untuk memberikan kritik yang baik dan beradab kepada pemerintah yang dinilai kurang pas.
Jangan sampai kritikan malah bernada kasar dan menghina yang pada gilirannya justru kontraproduktif. Apa pun bentuknya, kritik yang membangun itu sangat penting untuk kontrol bagi pemerintah agar kekuasaan tidak disalahgunakan. Ingat, power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.
Intinya bahwa demokrasi harus tetap saling menghargai, tetapi pemerintah tak boleh juga semena-mena dalam menggunakan kekuasaan untuk membungkam suara kritis masyarakat.
(bhr)