Persepsi Positif
A
A
A
Hari-hari sekarang ini bangsa Indonesia sangat membutuhkan persepsi positif. Persepsi positif dari sisi apa saja agar rupiah yang sedang loyo terhadap mata uang dolar Amerika segera bangkit.
Persepsi positif juga sangat krusial untuk memacu Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla supaya bisa bekerja dengan tenang, cepat, fokus, dan konsisten menyelesaikan hambatan-hambatan untuk memperbaiki perekonomian nasional yang sedang terkena “flu berat”.
Aura positif sangat diperlukan agar pemerintah yang sedang galau menghadapi badai ekonomi global segera sadar, bangun, dan berlari mencegah semaksimal mungkin agar badai itu tidak merusak harapan masyarakat. Tentu kita menghargai kerja keras, jerih payah jajaran pemerintah untuk keluar dari situasi sulit seperti kondisi sekarang.
Rupiah yang loyo, pertumbuhan ekonomi yang melambat, sektor riil yang terpukul, ancaman pengangguran, ancaman kekeringan dan kekurangan pangan akibat El Nino, disharmoni internal pemerintah, dilema pilkada serentak, kontroversi pasal penghinaan presiden, kelemahan koordinasi, pemberantasan korupsi adalah deretan sentimen negatif yang tidak disukai pasar, meminjam istilah yang sangat populer di kalangan pasar modal.
Sentimen negatif jika tidak dikelola dengan baik dan dihadapi dengan tenang akan semakin liar, sulit dikendalikan yang pada akhirnya membuat situasi semakin runyam. Diperlukan kecerdasan psikologis, kecermatan intelektual, kesabaran yang tinggi untuk mengubah sentimen negatif itu menjadi sentimen positif. Kelihatannya sederhana, tetapi faktanya tidak semua orang bisa melakukannya.
Dalam konteks kinerja pemerintahan, mustahil sentimen negatif dalam skala masif seperti itu bisa dihadapi dengan cara-cara biasa, sporadis, jangka pendek, dan individual. Perlu kesadaran kolektif untuk mengelola dan menangkisnya. Tidak dengan kata-kata atau janji-janji, tetapi dengan aksi nyata yang konsisten.
Dalam situasi sekarang, mengurangi bicara dan memperbanyak kerja dan aksi nyata lebih tepat. Menangkis persepsi negatif dengan mengumbar bantahan, membenarkan diri sendiri, menyalahkan orang lain, mendiskreditkan masa lalu adalah bentuk respons yang panik, tidak terstruktur yang hasilnya pasti tidak menyenangkan.
Alihalih menetralisasi sentimen negatif, respons panik seperti itu justru menjadi blunder besar. Dalam situasi terjepit dan krisis seperti sekarang inilah kematangan dan kecerdasan para pejabat negara akan diuji. Siapa yang matang menjadi pemimpin akan lebih tenang dalam bersikap.
Tenang dalam arti sesungguhnya, bukan tenang dibuatbuat atau membuat yang lain panik agar dirinya kelihatan paling tenang. Sukses tidaknya pemimpin menghadapi persoalan pelik seperti yang dialami bangsa Indonesia sekarang, tidak ditentukan oleh seberapa besar hasil perolehan suara yang dia raih saat pemilu.
Tidak juga seberapa besar popularitas dia di mata publik. Karena sejatinya popularitas adalah modal yang tidak bisa berdiri sendiri. Popularitas tidak bisa menjadi jaminan seorang pemimpin mampu mengatasi segala masalah negara yang dibebankan kepadanya. Popularitas akan menjadi sia-sia jika gagal dikonversi dalam kerja cerdas yang membuahkan hasil nyata.
Popularitas itu pun bisa menjadi serangan balik yang mematikan jika sang pemimpin gagal mempertahankan dan mengonversinya menjadi jawaban nyata. Di awal pemerintahannya, Presiden Jokowi sudah diwanti-wanti agar hati-hati dengan tingginya harapan publik yang diletakkan di pundaknya.
Memasuki semester kedua perjalanan pemerintahan, konversi yang ditunggu-tunggu masyarakat itu belum juga terwujud. Yang terjadi pemerintah masih berkutat pada produksi alasan, bantahan, dan sesekali diisi dengan pengalihan perhatian. Misalnya teknik lama dalam pertarungan ketika seorang petinju terdesak lawan.
Seperti halnya tinju profesional, waktu pertandingan dibatasi ronde. Kabinet Kerja juga dibatasi waktu untuk memberi persepsi positif di mata publik.
Persepsi positif juga sangat krusial untuk memacu Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla supaya bisa bekerja dengan tenang, cepat, fokus, dan konsisten menyelesaikan hambatan-hambatan untuk memperbaiki perekonomian nasional yang sedang terkena “flu berat”.
Aura positif sangat diperlukan agar pemerintah yang sedang galau menghadapi badai ekonomi global segera sadar, bangun, dan berlari mencegah semaksimal mungkin agar badai itu tidak merusak harapan masyarakat. Tentu kita menghargai kerja keras, jerih payah jajaran pemerintah untuk keluar dari situasi sulit seperti kondisi sekarang.
Rupiah yang loyo, pertumbuhan ekonomi yang melambat, sektor riil yang terpukul, ancaman pengangguran, ancaman kekeringan dan kekurangan pangan akibat El Nino, disharmoni internal pemerintah, dilema pilkada serentak, kontroversi pasal penghinaan presiden, kelemahan koordinasi, pemberantasan korupsi adalah deretan sentimen negatif yang tidak disukai pasar, meminjam istilah yang sangat populer di kalangan pasar modal.
Sentimen negatif jika tidak dikelola dengan baik dan dihadapi dengan tenang akan semakin liar, sulit dikendalikan yang pada akhirnya membuat situasi semakin runyam. Diperlukan kecerdasan psikologis, kecermatan intelektual, kesabaran yang tinggi untuk mengubah sentimen negatif itu menjadi sentimen positif. Kelihatannya sederhana, tetapi faktanya tidak semua orang bisa melakukannya.
Dalam konteks kinerja pemerintahan, mustahil sentimen negatif dalam skala masif seperti itu bisa dihadapi dengan cara-cara biasa, sporadis, jangka pendek, dan individual. Perlu kesadaran kolektif untuk mengelola dan menangkisnya. Tidak dengan kata-kata atau janji-janji, tetapi dengan aksi nyata yang konsisten.
Dalam situasi sekarang, mengurangi bicara dan memperbanyak kerja dan aksi nyata lebih tepat. Menangkis persepsi negatif dengan mengumbar bantahan, membenarkan diri sendiri, menyalahkan orang lain, mendiskreditkan masa lalu adalah bentuk respons yang panik, tidak terstruktur yang hasilnya pasti tidak menyenangkan.
Alihalih menetralisasi sentimen negatif, respons panik seperti itu justru menjadi blunder besar. Dalam situasi terjepit dan krisis seperti sekarang inilah kematangan dan kecerdasan para pejabat negara akan diuji. Siapa yang matang menjadi pemimpin akan lebih tenang dalam bersikap.
Tenang dalam arti sesungguhnya, bukan tenang dibuatbuat atau membuat yang lain panik agar dirinya kelihatan paling tenang. Sukses tidaknya pemimpin menghadapi persoalan pelik seperti yang dialami bangsa Indonesia sekarang, tidak ditentukan oleh seberapa besar hasil perolehan suara yang dia raih saat pemilu.
Tidak juga seberapa besar popularitas dia di mata publik. Karena sejatinya popularitas adalah modal yang tidak bisa berdiri sendiri. Popularitas tidak bisa menjadi jaminan seorang pemimpin mampu mengatasi segala masalah negara yang dibebankan kepadanya. Popularitas akan menjadi sia-sia jika gagal dikonversi dalam kerja cerdas yang membuahkan hasil nyata.
Popularitas itu pun bisa menjadi serangan balik yang mematikan jika sang pemimpin gagal mempertahankan dan mengonversinya menjadi jawaban nyata. Di awal pemerintahannya, Presiden Jokowi sudah diwanti-wanti agar hati-hati dengan tingginya harapan publik yang diletakkan di pundaknya.
Memasuki semester kedua perjalanan pemerintahan, konversi yang ditunggu-tunggu masyarakat itu belum juga terwujud. Yang terjadi pemerintah masih berkutat pada produksi alasan, bantahan, dan sesekali diisi dengan pengalihan perhatian. Misalnya teknik lama dalam pertarungan ketika seorang petinju terdesak lawan.
Seperti halnya tinju profesional, waktu pertandingan dibatasi ronde. Kabinet Kerja juga dibatasi waktu untuk memberi persepsi positif di mata publik.
(ftr)