Lapas Anak Berubah Jadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak
A
A
A
BANDUNG - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM merubah Lembaga Pemasyarakatan Anak (Lapas Anak) menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Hal ini sejalan dengan berubahnya perlakuan hukum terhadap anak-anak dalam sistem peradilan.
Sekjen Kementerian Hukum dan HAM Bambang Rantam mengatakan, perubahan ini ditandai juga dengan berubahnya sistem perlakuan anak, sehingga dalam pembinaan dan bimbingan anak akan berbasis budi pekerti. Hal ini dilatarbelakangi juga dengan baru adanya 20 Lapas khusus anak di Indonesia.
Sedangkan ada 3.276 kasus anak yang berkonflik dengan hukum dan berdasarkan data dari Direktorat Bina Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Ditjen Pemasyarakatan, ada 59,31% diantaranya harus rela berbagi tempat dengan warga binaan dewasa.
Tak hanya itu, dalam sistem tersebut dihasilkan juga 10 isi konvensi yang berkenaan dengan pendidikan, pembinaan, dan pengembangan anak baik dari segi pendidikan formal maupun informal.
Hasil kerjasama pemerintahan maupun lembaga non pemerintah ini pun menghasilkan 10 prinsip pembinaan anak.
"Didalamnya mencakup soal pendidikan, pembinaan, bimbingan dan pengembangan anak yang berbasis budi pekerti," ujarnya usai mengisi Konferensi Peduli Anak yang bertajuk Perubahan Sistem Perlakuan Anak Berhadapan dengan Hukum yang Ramah Berbasis Budi Pekerti di Lapas Anak Bandung, Jalan Sukamiskin, Selasa (4/8/2015).
Dengan sistem ini, kata Bambang, anak yang mengalami pelanggaran hukum baik dalam kasus kesusilaan, perkelahian, dan sebagainya, itu sangat dipengaruhi dari pendidikannya.
Untuk itu, sistem ini sangat menekankan pendidikan moral dan sopan santun. Untuk mendukung hal tersebut, salah satunya dengan disediakannya sekolah terbuka.
Hal tersebut diamini Direktur Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Kementerian Hukum dan HAM Priyadi.
Dia menyebutkan, untuk sekolah terbuka SD ada di beberapa lapas anak. Akan tetapi untuk sekolah terbuka tingkat SMP dan SMK baru ada di Lapas Anak Bandung.
"Adanya sekolah terbuka ini sebagai salah satu komitmen pemerintah bahwa anak usia hingga 15 tahun wajib mendapatkan pendidikan begitu pun dengan anak-anak yang terkena kasus hukum," ujar Priyadi.
Sementara itu, Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kota Bandung, Catur Budi Fatayatin menuturkan, saat ini ada 196 anak yang terkena kasus hukum dan semua merupakan asal Jabar.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 65 anak terkena kasus kesusilaan, 35 anak kasus narkoba, dan sisanya kasus pembunuhan, pencurian, perkelahian, dan sebagainya.
Menurutnya, untuk data anak yang masih berusia sekolah ada 18 anak untuk tingkat SD, 81 orang tingkat SMP, dan 76 anak tingkat SMA. Sedangkan 21 anak sudah termasuk lulus SMA.
Dengan sekolah terbuka, pihaknya bekerjasama untuk mendatangkan guru dari sekolah induk yakni dari SMP 8 Bandung, dan SMK 06 Tanjung Sari dan SMK di Lembang.
"Untuk guru pamong yang jadi wali dari kami ada sekitar 39 orang, dan sisanya didatangkan dari sekolah induk," timpalnya.
Untuk ruang kelas, pihaknya menyiapkan 7 ruang kelas, 1 ruang perpustakaan, 1 ruang guru, 1 ruang pramuka, dan ditambah dengan pendidikan pesantren bagi mereka yang beragama Islam.
"Sekolah terbuka ini adalah cita-cita kami sejak dulu. Kami hingga harus mengemis-ngemis kepada berbagai pihak agar sekolah ini terwujud. Bukan hal yang mudah karena kami ingin semua anak di sini masih bisa melanjutkan pendidikannya. Beruntung saat ini sekolah sudah bisa berjalan, dan nantinya mereka akan punya ijasah yang sama dengan siswa di sekolah umum. Tanpa ada label LPKA. Sama seperti lainnya," pungkasnya.
Hal ini sejalan dengan berubahnya perlakuan hukum terhadap anak-anak dalam sistem peradilan.
Sekjen Kementerian Hukum dan HAM Bambang Rantam mengatakan, perubahan ini ditandai juga dengan berubahnya sistem perlakuan anak, sehingga dalam pembinaan dan bimbingan anak akan berbasis budi pekerti. Hal ini dilatarbelakangi juga dengan baru adanya 20 Lapas khusus anak di Indonesia.
Sedangkan ada 3.276 kasus anak yang berkonflik dengan hukum dan berdasarkan data dari Direktorat Bina Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Ditjen Pemasyarakatan, ada 59,31% diantaranya harus rela berbagi tempat dengan warga binaan dewasa.
Tak hanya itu, dalam sistem tersebut dihasilkan juga 10 isi konvensi yang berkenaan dengan pendidikan, pembinaan, dan pengembangan anak baik dari segi pendidikan formal maupun informal.
Hasil kerjasama pemerintahan maupun lembaga non pemerintah ini pun menghasilkan 10 prinsip pembinaan anak.
"Didalamnya mencakup soal pendidikan, pembinaan, bimbingan dan pengembangan anak yang berbasis budi pekerti," ujarnya usai mengisi Konferensi Peduli Anak yang bertajuk Perubahan Sistem Perlakuan Anak Berhadapan dengan Hukum yang Ramah Berbasis Budi Pekerti di Lapas Anak Bandung, Jalan Sukamiskin, Selasa (4/8/2015).
Dengan sistem ini, kata Bambang, anak yang mengalami pelanggaran hukum baik dalam kasus kesusilaan, perkelahian, dan sebagainya, itu sangat dipengaruhi dari pendidikannya.
Untuk itu, sistem ini sangat menekankan pendidikan moral dan sopan santun. Untuk mendukung hal tersebut, salah satunya dengan disediakannya sekolah terbuka.
Hal tersebut diamini Direktur Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Kementerian Hukum dan HAM Priyadi.
Dia menyebutkan, untuk sekolah terbuka SD ada di beberapa lapas anak. Akan tetapi untuk sekolah terbuka tingkat SMP dan SMK baru ada di Lapas Anak Bandung.
"Adanya sekolah terbuka ini sebagai salah satu komitmen pemerintah bahwa anak usia hingga 15 tahun wajib mendapatkan pendidikan begitu pun dengan anak-anak yang terkena kasus hukum," ujar Priyadi.
Sementara itu, Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kota Bandung, Catur Budi Fatayatin menuturkan, saat ini ada 196 anak yang terkena kasus hukum dan semua merupakan asal Jabar.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 65 anak terkena kasus kesusilaan, 35 anak kasus narkoba, dan sisanya kasus pembunuhan, pencurian, perkelahian, dan sebagainya.
Menurutnya, untuk data anak yang masih berusia sekolah ada 18 anak untuk tingkat SD, 81 orang tingkat SMP, dan 76 anak tingkat SMA. Sedangkan 21 anak sudah termasuk lulus SMA.
Dengan sekolah terbuka, pihaknya bekerjasama untuk mendatangkan guru dari sekolah induk yakni dari SMP 8 Bandung, dan SMK 06 Tanjung Sari dan SMK di Lembang.
"Untuk guru pamong yang jadi wali dari kami ada sekitar 39 orang, dan sisanya didatangkan dari sekolah induk," timpalnya.
Untuk ruang kelas, pihaknya menyiapkan 7 ruang kelas, 1 ruang perpustakaan, 1 ruang guru, 1 ruang pramuka, dan ditambah dengan pendidikan pesantren bagi mereka yang beragama Islam.
"Sekolah terbuka ini adalah cita-cita kami sejak dulu. Kami hingga harus mengemis-ngemis kepada berbagai pihak agar sekolah ini terwujud. Bukan hal yang mudah karena kami ingin semua anak di sini masih bisa melanjutkan pendidikannya. Beruntung saat ini sekolah sudah bisa berjalan, dan nantinya mereka akan punya ijasah yang sama dengan siswa di sekolah umum. Tanpa ada label LPKA. Sama seperti lainnya," pungkasnya.
(sms)