Bawaslu Nilai Mahar Politik Tetap Marak
A
A
A
JAKARTA - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan adanya praktik mahar politik dari sejumlah partai terhadap bakal calon (balon) kepala daerah.
Akibat adanya praktik tersebut sejumlah bakal calon gagal maju pilkada lantaran tidak sanggup memenuhi biaya mahar. Anggota Bawaslu Nasrullah mengatakan akan meminta kepada PPATK untuk menelusuri rekening 827 calon kepala daerah yang akan berkompetisi. Bukan hanya calon, PPATK juga diminta telusuri rekening fungsionaris parpol, dan badan pemenangan pilkada di partai.
”Terkait mahar politik, Bawaslu juga akan memanggil seluruh balon yang sempat mengaku mengetahui atau diminta mahar. Informasi balon itu akan jadi bahan awal mengusut mahar politik,” kata dia saat konferensi pers di kantor Bawaslu kemarin.
Selain masalah mahar politik, lanjut Nasrullah, Bawaslu juga menemukan beberapa persoalan lain terkait dengan pencalonan, di antaranya beberapa calon petahana di daerah yang memanfaatkan fasilitas pemerintah dalam bentuk program dan kegiatan, mobilisasi PNS dan SKPD oleh calon petahana, persoalan kepengurusan di beberapa parpol, dan persoalan calon tunggal.
Menurut dia, Bawaslu juga menemukan adanya dugaan pemanfaatan fasilitas daerah oleh petahana di beberapa kabupaten kota. Padahal, praktik tersebut tidak dibenarkan sesuai dengan Pasal 71 ayat 2 Undang- Undang Pilkada Nomor 8 Tahun 2015.
Sebagai tindak lanjut, Bawaslu masih menelusuri temuan dan meminta bantuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit terhadap dugaan penggunaan anggaran negara/ daerah dalam bentuk program atau kegiatan yang diusung oleh petahana.
”Hasil audit BPK akan menjadi referensi Bawaslu yang akan diberikan kepada penegak hukum, apakah KPK, Kejagung, atau Polri. Karena dugaan kami ini menyangkut tindak pidana korupsi. Dalam UU pilkada sayang sekali penegakan pemilu tidak tercantum, untuk itu Bawaslu minta BPK untuk mengaudit,” ujarnya.
Pemanfaatan fasilitas tersebut berupa spanduk atau baliho yang terpasang di jalan sebagai seruan pesan dari pemda, namun yang terpampang adalah foto calon yang lebih besar ketimbang pesan yang disampaikan. ”Kalau atas nama pemda, ngapain pakai foto besar, apalagi jika bupati dan wakilnya pecah (beda pencalonan), yang ditampilkan hanya salah satu, padahal bisa ditampilkan berdua,” ungkapnya.
Adanya mobilisasi PNS dan pemanfaatan SKPD baik di dalam deklarasi bahkan ketika pendaftaran berlangsung di KPU juga menjadi temuan Bawaslu di salah satu kabupaten di Sumatera Utara.
Terkait ini Bawaslu akan berkirim surat kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) dan Menteri Dalam Negeri untuk menindak secara tegas atau melakukan berbagai langkah penelusuran selanjutnya untuk tegakkan aturan yang berlaku khususnya ASN. ”Kami minta ada penegakan hukum langkah nyata terkait pelibatan PNS dalam pendaftaran calon,” ucapnya.
Soal kepengurusan di parpol, diakui mempengaruhi proses pencalonan. Terutama kepengurusan dan jeda waktu pencalonan. Banyak DPC parpol kabupaten/kota provinsi menolak untuk tanda tangan rekomendasi pencalonan lantaran tidak sesuai harapan pengurus daerah. ”Bawaslu akan menindaklanjuti persoalan dalam pencalonan tersebut jika dibawa dalam ranah sengketa pencalonan,” ucapnya.
Terkait calon tunggal, Bawaslu melihat terkesan terdapat penyanderaan terhadap calon tunggal sehingga membuat calon tunggal ini berlarut-larut prosesnya. Bawaslu minta parpol untuk menampilkan kader terbaiknya sebagai kader yang mampu berkompetisi.
Tak hanya itu, Bawaslu juga menemukan adanya calon yang menggunakan ijazah palsu. Calon tersebut berasal dari salah satu daerah dari Sulawesi Tengah. Nasrullah mengatakan, salah satu calon ditengarai mempunyai ijazah palsu di level SMP. ”Namun, dia diterima karena syarat pendaftaran minimal kan pakai ijazah SMA,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Sumatera Utara Aulia Andri mengiyakan adanya PNS yang melanggar aturan yang mengantar incumbent ke KPU saat pendaftaran. Hal tersebut terjadi di Kabupaten Simalungun. ”Kita sudah panggil yang bersangkutan, memanggil Sekda Simalungun, masih dalam proses. Baru kemarin dipanggil tanggal 31 Juli,” ucapnya kemarin dalam agenda yang sama.
Aulia menyatakan pelanggaran paling banyak adalah pemanfaatan fasilitas daerah dengan menggunakan iklan daerah yang ditampilkan dalam baliho, dimanfaatkan untuk kampanye. Itu merupakan potensi pelanggaran pilkada terbanyak. ”Padahal kita sudah sosialisasikan. Hal itu tidak dibenarkan. Teman-teman PNS harusnya mereka tahu dan bersikap independen dalam pilkada,” katanya.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hdidayatullah, Gun Gun Heryanto menyatakan mahar politik merupakan salah satu problema yang harus dikritisi, karena dengan tingginya besaran mahar politik membuat banyak kandidat potensial batal maju. ”Ini bentuk kegagalan parpol melakukan fungsinya, parpol berkewajiban mendukung orang potensial di masyarakat, mahar itu substansinya hanya politik transaksional, yang merupakan paradoks elektoral,” ucapnya.
Menurutnya, dengan problema ini menjadikan hubungan antara parpol dengan kandidat hanya sebatas hubungan pragmatis. Proses kaderisasi di parpol akan bergeser menjadi sebuah komoditi. ”Akhirnya tercipta pada kondisi politik berbiaya tinggi, karena nantinya dia akan balik mencari dana untuk menutupi pengeluarannya, ini awal tindakan korupsi politik,” ungkapnya.
Gun Gun juga mengatakan ini merupakan awal dari korupsi politik, di mana korupsi dipolitisasi dalam segi elektoral.
Mula akmal
Akibat adanya praktik tersebut sejumlah bakal calon gagal maju pilkada lantaran tidak sanggup memenuhi biaya mahar. Anggota Bawaslu Nasrullah mengatakan akan meminta kepada PPATK untuk menelusuri rekening 827 calon kepala daerah yang akan berkompetisi. Bukan hanya calon, PPATK juga diminta telusuri rekening fungsionaris parpol, dan badan pemenangan pilkada di partai.
”Terkait mahar politik, Bawaslu juga akan memanggil seluruh balon yang sempat mengaku mengetahui atau diminta mahar. Informasi balon itu akan jadi bahan awal mengusut mahar politik,” kata dia saat konferensi pers di kantor Bawaslu kemarin.
Selain masalah mahar politik, lanjut Nasrullah, Bawaslu juga menemukan beberapa persoalan lain terkait dengan pencalonan, di antaranya beberapa calon petahana di daerah yang memanfaatkan fasilitas pemerintah dalam bentuk program dan kegiatan, mobilisasi PNS dan SKPD oleh calon petahana, persoalan kepengurusan di beberapa parpol, dan persoalan calon tunggal.
Menurut dia, Bawaslu juga menemukan adanya dugaan pemanfaatan fasilitas daerah oleh petahana di beberapa kabupaten kota. Padahal, praktik tersebut tidak dibenarkan sesuai dengan Pasal 71 ayat 2 Undang- Undang Pilkada Nomor 8 Tahun 2015.
Sebagai tindak lanjut, Bawaslu masih menelusuri temuan dan meminta bantuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit terhadap dugaan penggunaan anggaran negara/ daerah dalam bentuk program atau kegiatan yang diusung oleh petahana.
”Hasil audit BPK akan menjadi referensi Bawaslu yang akan diberikan kepada penegak hukum, apakah KPK, Kejagung, atau Polri. Karena dugaan kami ini menyangkut tindak pidana korupsi. Dalam UU pilkada sayang sekali penegakan pemilu tidak tercantum, untuk itu Bawaslu minta BPK untuk mengaudit,” ujarnya.
Pemanfaatan fasilitas tersebut berupa spanduk atau baliho yang terpasang di jalan sebagai seruan pesan dari pemda, namun yang terpampang adalah foto calon yang lebih besar ketimbang pesan yang disampaikan. ”Kalau atas nama pemda, ngapain pakai foto besar, apalagi jika bupati dan wakilnya pecah (beda pencalonan), yang ditampilkan hanya salah satu, padahal bisa ditampilkan berdua,” ungkapnya.
Adanya mobilisasi PNS dan pemanfaatan SKPD baik di dalam deklarasi bahkan ketika pendaftaran berlangsung di KPU juga menjadi temuan Bawaslu di salah satu kabupaten di Sumatera Utara.
Terkait ini Bawaslu akan berkirim surat kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) dan Menteri Dalam Negeri untuk menindak secara tegas atau melakukan berbagai langkah penelusuran selanjutnya untuk tegakkan aturan yang berlaku khususnya ASN. ”Kami minta ada penegakan hukum langkah nyata terkait pelibatan PNS dalam pendaftaran calon,” ucapnya.
Soal kepengurusan di parpol, diakui mempengaruhi proses pencalonan. Terutama kepengurusan dan jeda waktu pencalonan. Banyak DPC parpol kabupaten/kota provinsi menolak untuk tanda tangan rekomendasi pencalonan lantaran tidak sesuai harapan pengurus daerah. ”Bawaslu akan menindaklanjuti persoalan dalam pencalonan tersebut jika dibawa dalam ranah sengketa pencalonan,” ucapnya.
Terkait calon tunggal, Bawaslu melihat terkesan terdapat penyanderaan terhadap calon tunggal sehingga membuat calon tunggal ini berlarut-larut prosesnya. Bawaslu minta parpol untuk menampilkan kader terbaiknya sebagai kader yang mampu berkompetisi.
Tak hanya itu, Bawaslu juga menemukan adanya calon yang menggunakan ijazah palsu. Calon tersebut berasal dari salah satu daerah dari Sulawesi Tengah. Nasrullah mengatakan, salah satu calon ditengarai mempunyai ijazah palsu di level SMP. ”Namun, dia diterima karena syarat pendaftaran minimal kan pakai ijazah SMA,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Sumatera Utara Aulia Andri mengiyakan adanya PNS yang melanggar aturan yang mengantar incumbent ke KPU saat pendaftaran. Hal tersebut terjadi di Kabupaten Simalungun. ”Kita sudah panggil yang bersangkutan, memanggil Sekda Simalungun, masih dalam proses. Baru kemarin dipanggil tanggal 31 Juli,” ucapnya kemarin dalam agenda yang sama.
Aulia menyatakan pelanggaran paling banyak adalah pemanfaatan fasilitas daerah dengan menggunakan iklan daerah yang ditampilkan dalam baliho, dimanfaatkan untuk kampanye. Itu merupakan potensi pelanggaran pilkada terbanyak. ”Padahal kita sudah sosialisasikan. Hal itu tidak dibenarkan. Teman-teman PNS harusnya mereka tahu dan bersikap independen dalam pilkada,” katanya.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hdidayatullah, Gun Gun Heryanto menyatakan mahar politik merupakan salah satu problema yang harus dikritisi, karena dengan tingginya besaran mahar politik membuat banyak kandidat potensial batal maju. ”Ini bentuk kegagalan parpol melakukan fungsinya, parpol berkewajiban mendukung orang potensial di masyarakat, mahar itu substansinya hanya politik transaksional, yang merupakan paradoks elektoral,” ucapnya.
Menurutnya, dengan problema ini menjadikan hubungan antara parpol dengan kandidat hanya sebatas hubungan pragmatis. Proses kaderisasi di parpol akan bergeser menjadi sebuah komoditi. ”Akhirnya tercipta pada kondisi politik berbiaya tinggi, karena nantinya dia akan balik mencari dana untuk menutupi pengeluarannya, ini awal tindakan korupsi politik,” ungkapnya.
Gun Gun juga mengatakan ini merupakan awal dari korupsi politik, di mana korupsi dipolitisasi dalam segi elektoral.
Mula akmal
(ftr)