Ekonomi Lampu Kuning
A
A
A
Pelambatan perekonomian nasional diprediksi berlangsung hingga akhir tahun ini. Meski sejumlah indikator makroekonomi diklaim pemerintah dengan tren membaik, posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terus terjerembab sepertinya menutup semua kerja pemerintah yang mencoba memulihkan kondisi perekonomian nasional.
Kondisi mata uang Garuda yang semakin tidak berdaya membuat kalangan dunia usaha panas dingin. Dalam situasi yang cukup mengkhawatirkan itu, pemerintah masih berani menarget pertumbuhan perekonomian pada kuartal kedua tahun ini berada di level 4,9%, atau lebih tinggi sekitar 0,2% dari kuartal pertama 2015 yang tercatat 4,7%.
Dengan melihat tren membaiknya sejumlah indikator makroekonomi dalam enam bulan terakhir, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi untuk kuartal ketiga dan keempat bisa bertengger di level 5%, dan di akhir tahun tercatat 5,2% sebagaimana ditargetkan pemerintah. Mengapa pemerintah begitu optimistis meraih pertumbuhan ekonomi di atas 5%?
Padahal, sejumlah lembaga keuangan dunia sudah melakukan koreksi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata di bawah 5% untuk tahun ini. Kalangan perbankan juga sudah mengoreksi target penyaluran kredit, industri padat karya, terutama sentra-sentra produksi di wilayah Jawa Barat sudah merumahkan karyawan karena jumlah produksi semakin mengecil.
Apakah pemerintah tidak realistis melihat kondisi perekonomian sekarang? Meminjam istilah CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal pertama (4,7%) yang jauh di bawah target yang dipatok pemerintah adalah sebuah pertanda lampu kuning sudah menyala.
Meski demikian, pemerintah berdalih sebagaimana disampaikan Kepala Pusat Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Lucky Al Firman, dalam seminar bertajuk ”CORE 2015 Mid Year Review” awal pekan ini di Jakarta, indikator makroekonomi masih positif.
Dalam lima bulan terakhir neraca perdagangan mencatatkan surplus. Kinerja ekspor masih lebih baik dibanding impor meski keduanya turun. Penghematan besar-besaran anggaran menyusul penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dialihkan untuk pembangunan infrastruktur.
Pemerintah boleh optimistis dengan kondisi makro ekonomi di mana kecenderungan terus membaik, tetapi tantangan di depan mata sekarang adalah bagaimana mengatasi nilai tukar rupiah yang semakin tidak berdaya terhadap dolar AS. Yang lebih memprihatinkan nilai tukar rupiah tidak ada sinyal bakal menguat dalam waktu dekat.
Kemarin siang papan informasi valuta asing Bank Mandiri menunjukkan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah dalam posisi jual sebesar Rp13.515 per USD. Menyikapi anjloknya rupiah, pemerintah selalu berargumentasi bahwa itu faktor eksternal yang sulit diatasi, bukan hanya Indonesia, tetapi mata uang negara lain juga keok menahan dolar AS yang terus menguat seiring dengan membaiknya perekonomian Negeri Paman Sam yang sangat menentukan arah perkembangan perekonomian dunia.
Di satu sisi argumen pemerintah bisa diterima, namun di sisi lain andil kondisi internal juga tidak bisa diabaikan. Misalnya, janji pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur belum sesuai harapan dunia usaha, belanja pemerintah hingga pertengahan tahun belum maksimal. Sekarang publik menunggu sejauh mana aksi dan upaya pemerintah melokalisasi pengaruh dolar AS yang terus menekuk rupiah agar semakin tidak meluas.
Mengatasi masalah besar yang kini menyandera langkah pemerintah itu, Hary Tanoesoedibjo yang juga ketua umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) menunjukkan tiga solusi yakni mempercepat pertumbuhan investasi baik dari dalam maupun luar negeri, kredit perbankan diarahkan ke sektor produktif agar dunia usaha bisa bergerak cepat.
Bila dua langkah itu sudah teraplikasi dengan baik, roda perekonomian berputar cepat dan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menghantui para pekerja pun bisa ditepis. Lalu, langkah selanjutnya adalah menurunkan suku bunga perbankan. Kini langkah konkret dari pemerintah sangat dinanti, jangan menunggu lampu kuning beralih ke lampu merah. Gawat.
Kondisi mata uang Garuda yang semakin tidak berdaya membuat kalangan dunia usaha panas dingin. Dalam situasi yang cukup mengkhawatirkan itu, pemerintah masih berani menarget pertumbuhan perekonomian pada kuartal kedua tahun ini berada di level 4,9%, atau lebih tinggi sekitar 0,2% dari kuartal pertama 2015 yang tercatat 4,7%.
Dengan melihat tren membaiknya sejumlah indikator makroekonomi dalam enam bulan terakhir, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi untuk kuartal ketiga dan keempat bisa bertengger di level 5%, dan di akhir tahun tercatat 5,2% sebagaimana ditargetkan pemerintah. Mengapa pemerintah begitu optimistis meraih pertumbuhan ekonomi di atas 5%?
Padahal, sejumlah lembaga keuangan dunia sudah melakukan koreksi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata di bawah 5% untuk tahun ini. Kalangan perbankan juga sudah mengoreksi target penyaluran kredit, industri padat karya, terutama sentra-sentra produksi di wilayah Jawa Barat sudah merumahkan karyawan karena jumlah produksi semakin mengecil.
Apakah pemerintah tidak realistis melihat kondisi perekonomian sekarang? Meminjam istilah CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal pertama (4,7%) yang jauh di bawah target yang dipatok pemerintah adalah sebuah pertanda lampu kuning sudah menyala.
Meski demikian, pemerintah berdalih sebagaimana disampaikan Kepala Pusat Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Lucky Al Firman, dalam seminar bertajuk ”CORE 2015 Mid Year Review” awal pekan ini di Jakarta, indikator makroekonomi masih positif.
Dalam lima bulan terakhir neraca perdagangan mencatatkan surplus. Kinerja ekspor masih lebih baik dibanding impor meski keduanya turun. Penghematan besar-besaran anggaran menyusul penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dialihkan untuk pembangunan infrastruktur.
Pemerintah boleh optimistis dengan kondisi makro ekonomi di mana kecenderungan terus membaik, tetapi tantangan di depan mata sekarang adalah bagaimana mengatasi nilai tukar rupiah yang semakin tidak berdaya terhadap dolar AS. Yang lebih memprihatinkan nilai tukar rupiah tidak ada sinyal bakal menguat dalam waktu dekat.
Kemarin siang papan informasi valuta asing Bank Mandiri menunjukkan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah dalam posisi jual sebesar Rp13.515 per USD. Menyikapi anjloknya rupiah, pemerintah selalu berargumentasi bahwa itu faktor eksternal yang sulit diatasi, bukan hanya Indonesia, tetapi mata uang negara lain juga keok menahan dolar AS yang terus menguat seiring dengan membaiknya perekonomian Negeri Paman Sam yang sangat menentukan arah perkembangan perekonomian dunia.
Di satu sisi argumen pemerintah bisa diterima, namun di sisi lain andil kondisi internal juga tidak bisa diabaikan. Misalnya, janji pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur belum sesuai harapan dunia usaha, belanja pemerintah hingga pertengahan tahun belum maksimal. Sekarang publik menunggu sejauh mana aksi dan upaya pemerintah melokalisasi pengaruh dolar AS yang terus menekuk rupiah agar semakin tidak meluas.
Mengatasi masalah besar yang kini menyandera langkah pemerintah itu, Hary Tanoesoedibjo yang juga ketua umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) menunjukkan tiga solusi yakni mempercepat pertumbuhan investasi baik dari dalam maupun luar negeri, kredit perbankan diarahkan ke sektor produktif agar dunia usaha bisa bergerak cepat.
Bila dua langkah itu sudah teraplikasi dengan baik, roda perekonomian berputar cepat dan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menghantui para pekerja pun bisa ditepis. Lalu, langkah selanjutnya adalah menurunkan suku bunga perbankan. Kini langkah konkret dari pemerintah sangat dinanti, jangan menunggu lampu kuning beralih ke lampu merah. Gawat.
(bhr)