Rakyat, Cerdaslah
A
A
A
Peluang dinasti politik di daerah mewujudkan ambisi melanggengkan kekuasaannya hingga tujuh turunan terbuka lebar.
Hal ini setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
Keputusan MK yang merespons gugatan anggota DPRD Kabupaten Gowa bernama Adnan Purichta Ichsan—anak Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo—yang tengah membuka jalan mencalonkan diri menjadi calon bupati Gowa dari Partai Golkar sekaligus menutup pintu wacana menghilangkan politik dinasti secara struktural dari budaya politik Tanah Air.
Dengan putusan tersebut, kini tidak ada lagi batasan ‘tidak memiliki konflik kepentingan, antara lain tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu.
Sudah pasti cicit, anak turun, dan seterusnya punya hak sama untuk ikut pilkada dan mengangkangi kursi kekuasaan ”yang diwariskan” para pendahulunya. Sudah pasti, para pemilik darah biru kekuasaan di daerah bersorak-sorai dengan putusan tersebut.
Para istri, anak, atau lainnya, tidak perlu meminta bapak atau suami mereka yang kini menduduki posisi petahana mengundurkan diri dari jabatannya seperti dilakukan walikota Pekalongan. Mereka juga tidak perlu lagi sungkan karena konstitusi telah menjamin hak demokrasi mereka.
Sedangkan, para petahana yang akan memberikan tongkat estafetnya, bisa semakin fokus membeber karpet merah untuk calon penerusnya dengan menggelontorkan dana sebesarnyabesarnya seperti dengan mengatasnamakan bantuan sosial karena mereka tahu betul bahwa uang adalah sumber kekuasaan.
Mereka juga langsung bergerak taktis menyiapkan kekuataan birokrasi untuk memuluskan target politiknya karena tahu betul bahwa kedudukan yang mereka genggam adalah sumber kekuasaan. Lantas? Masih adakah peluang menghilangkan dinasti politik? Budaya politik patrimonial harus diterima sebagai realitas politik yang tidak bisa dihindari.
Tetapi, bukan berarti tidak dihentikan. Bagaimana menghentikannya? Tentu saja kita tidak berharap pada rasa ewuh pakewuh pada mereka pemegang dinasti, karena faktanya mereka akan melakukan berbagai cara agar bisa melanggengkan kekuasaan keluarganya. Mereka sudah terlanjur menikmati privilese dan gula-gula kekuasaan dan pasti ingin terus menikmati selamanya.
Partai politik juga tidak bisa diharapkan. Daya tawar mereka selalu lemah di hadapan para penguasa dinasti politik. Bahkan, mereka pasrah dikendalikan, semisal untuk mendukung istri pertama maupun ketiga seperti terjadi Kabupaten Kediri, atau pasrah mendukung anggota keluarga dinasti yang terbukti terlibat kasus korupsi seperti di daerah Banten.
Di sisi lain, partai politik cenderung bersikap pragmatis mendukung mereka yang mempunyai uang dan menguasai birokrasi dengan harapan sekadar menang pilkada. Jika demikian adanya, maka kembali ke rakyat. Apakah rakyat mau menghentikan politik dinasti dan melakukan perubahan demi daerah masing-masing dan masa depan mereka.
Sebagai pemegang suara, rakyat harus menyadari bahwa dialah sesungguhnya yang menentukan seorang pemimpin—apakah mereka yang mempunyai leadership , kompetensi atau memilih melanggengkan kekuasaan dinasti politik.
Perubahan hanya bisa terwujud jika rakyat mau bersikap cerdas, sebaliknya tidak mudah tergoda rayuan politik uang, tertipu manipulasi program yang bisa dimainkan petahana, dan tidak serta-merta mendukung kandidat yang diusung partai politik. Rakyat, cerdaslah. Tentukan masa depanmu, kendali kekuasaan sejatinya di tanganmu.
Hal ini setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
Keputusan MK yang merespons gugatan anggota DPRD Kabupaten Gowa bernama Adnan Purichta Ichsan—anak Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo—yang tengah membuka jalan mencalonkan diri menjadi calon bupati Gowa dari Partai Golkar sekaligus menutup pintu wacana menghilangkan politik dinasti secara struktural dari budaya politik Tanah Air.
Dengan putusan tersebut, kini tidak ada lagi batasan ‘tidak memiliki konflik kepentingan, antara lain tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu.
Sudah pasti cicit, anak turun, dan seterusnya punya hak sama untuk ikut pilkada dan mengangkangi kursi kekuasaan ”yang diwariskan” para pendahulunya. Sudah pasti, para pemilik darah biru kekuasaan di daerah bersorak-sorai dengan putusan tersebut.
Para istri, anak, atau lainnya, tidak perlu meminta bapak atau suami mereka yang kini menduduki posisi petahana mengundurkan diri dari jabatannya seperti dilakukan walikota Pekalongan. Mereka juga tidak perlu lagi sungkan karena konstitusi telah menjamin hak demokrasi mereka.
Sedangkan, para petahana yang akan memberikan tongkat estafetnya, bisa semakin fokus membeber karpet merah untuk calon penerusnya dengan menggelontorkan dana sebesarnyabesarnya seperti dengan mengatasnamakan bantuan sosial karena mereka tahu betul bahwa uang adalah sumber kekuasaan.
Mereka juga langsung bergerak taktis menyiapkan kekuataan birokrasi untuk memuluskan target politiknya karena tahu betul bahwa kedudukan yang mereka genggam adalah sumber kekuasaan. Lantas? Masih adakah peluang menghilangkan dinasti politik? Budaya politik patrimonial harus diterima sebagai realitas politik yang tidak bisa dihindari.
Tetapi, bukan berarti tidak dihentikan. Bagaimana menghentikannya? Tentu saja kita tidak berharap pada rasa ewuh pakewuh pada mereka pemegang dinasti, karena faktanya mereka akan melakukan berbagai cara agar bisa melanggengkan kekuasaan keluarganya. Mereka sudah terlanjur menikmati privilese dan gula-gula kekuasaan dan pasti ingin terus menikmati selamanya.
Partai politik juga tidak bisa diharapkan. Daya tawar mereka selalu lemah di hadapan para penguasa dinasti politik. Bahkan, mereka pasrah dikendalikan, semisal untuk mendukung istri pertama maupun ketiga seperti terjadi Kabupaten Kediri, atau pasrah mendukung anggota keluarga dinasti yang terbukti terlibat kasus korupsi seperti di daerah Banten.
Di sisi lain, partai politik cenderung bersikap pragmatis mendukung mereka yang mempunyai uang dan menguasai birokrasi dengan harapan sekadar menang pilkada. Jika demikian adanya, maka kembali ke rakyat. Apakah rakyat mau menghentikan politik dinasti dan melakukan perubahan demi daerah masing-masing dan masa depan mereka.
Sebagai pemegang suara, rakyat harus menyadari bahwa dialah sesungguhnya yang menentukan seorang pemimpin—apakah mereka yang mempunyai leadership , kompetensi atau memilih melanggengkan kekuasaan dinasti politik.
Perubahan hanya bisa terwujud jika rakyat mau bersikap cerdas, sebaliknya tidak mudah tergoda rayuan politik uang, tertipu manipulasi program yang bisa dimainkan petahana, dan tidak serta-merta mendukung kandidat yang diusung partai politik. Rakyat, cerdaslah. Tentukan masa depanmu, kendali kekuasaan sejatinya di tanganmu.
(bhr)