Kampus Abaikan Aturan Jam Kuliah
A
A
A
JAKARTA - Jam kuliah mahasiswa di Indonesia dianggap tidak manusiawi. Kondisi ini tidak lepas dari perguruan tinggi yang mengabaikan aturan mengenai waktu perkuliahan.
Mantan Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) Illah Sailah menjelaskan, sejak 2006 pemerintah sudah membuat buku panduan yang mengatur jam mata kuliah. Dalam buku panduan tersebut dijelaskan bahwa harus ada waktu yang cukup bagi mahasiswa untuk belajar mandiri dan tidak hanya mengandalkan kuliah tatap muka di kelas.
Sosialisasi hingga pelatihan sudah dilakukan. Sayangnya, tidak ada sanksi bagi perguruan tinggi yang tidak menerapkan peraturan di buku tersebut. ”Memang tidak ada tindakan tegas kepada rektor karena memang tidak ada kewajiban dan tidak ada sanksi,” katanya kemarin. Illah yang baru saja pensiun bulan ini menjelaskan, tahun lalu pihaknya juga sudah bertemu LPEM FEUI yang melakukan penelitian mengenai jam kuliah.
Kala itu pihaknya menerangkan bahwa berdasarkan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa dalam 1 SKS kuliah tatap muka dan mengerjakan tugas yang terjadwal di kelas hanya ada 2,67 jam belajar. Selain itu, tidak ada aturan SKS yang diseragamkan oleh Dikti.
Dikti juga hanya menetapkan peraturan yang serbaminimal seperti rata-rata per semester hanya 18 SKS. Selain itu, Dikti juga sudah mengimbau ke perguruan tinggi agar jangan membuat satuan kredit per semesternya terlalu kecil. Jika terlalu kecil, akan menghambat interaksi dosen dan mahasiswa. Illah mengungkapkan, imbauan Dikti ialah perguruan tinggi membuat empat hingga enam SKS per mata kuliah.
”Yang diatur serbaminimal misalnya untuk S-1 minimal 144 SKS. Tetapi, kita tidak pernah mengatur 144 SKS itu menjadi berapa mata kuliah,” katanya. Rektor Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS) Ravik Karsidi menjelaskan, jumlah SKS maupun jumlah mata kuliah di Indonesia itu memang tergolong tinggi.
Meski demikian, waktu riil yang digunakan mahasiswa untuk kuliah dan mengerjakan tugas-tugas kuliah termasuk praktikum relatif sama dan bahkan lebih sedikit. Ravik melanjutkan, sebenarnya satu SKS itu seharusnya terdiri atas 60 menit tatap muka, 50 menit tugas terstruktur, dan 50 menit tugas mandiri yang harus dipenuhi mahasiswa.
Dari pola itu lalu tinggal dikalikan saja berapa alokasi waktu dan berapa jam yang harus disediakan mahasiswa dengan beban SKS yang diambilnya. Ravik menuturkan, ketika seorang kuliah dan mengambil tugas mata kuliah dengan setara sembilan SKS di sebuah universitas di Australia mungkin mahasiswa itu tidak akan sempat main atau nonton film. Tetapi, jika di Indonesia kuliah dengan banyak SKS mahasiswa masih bisa main atau nonton film.
”Ini semua karena beban dan kedalaman dari target perkuliahan yang relatif berbeda. Di luar negeri lebih mendalam, komprehensif, dan up to date dari sisi literatur yang berupa textbook maupun jurnal ilmiah serta beban praktikumnya. Sementara kuliah kita ibarat hujan gerimis yang mungkin cakupannya cukup luas dan kurang mendalam,” ujarnya. Ravik berpendapat, memang perlu ada penataan secara nasional oleh Kemenristek Dikti.
Misalnya persyaratan sebagai dosen perlu ditingkatkan. Misalnya, tidak otomatis yang masih baru berpangkat asisten ahli lalu diberikan kewenangan penuh mengajar dan membimbing mahasiswa. Demikian juga mahasiswa harus dikondisikan untuk dapat mencapai target yang lebih komprehensif di setiap mata kuliah yang diambilnya. Demikian pula dukungan pembelajaran berupa laboratorium dan perpustakaan harus cukup menunjang target tersebut.
LPEM FEUI meneliti, beban belajar mahasiswa di Indonesia sangat membebani dibanding di negara lain. Jamnya bahkan melebihi beban kerja para pekerja normal. Sistem perkuliahan diIndonesia dipertanyakan dari sisi kemanusiaannya. Faktanya, beban studi berdasar jam belajar per minggu di Amerika Serikat berkisar 35-54 jam, Eropa 31.5-40 jam, dan di Australia 32-50 jam. Sementara di Indonesia berkisar 48-54 jam per minggu.
Neneng zubaidah
Mantan Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) Illah Sailah menjelaskan, sejak 2006 pemerintah sudah membuat buku panduan yang mengatur jam mata kuliah. Dalam buku panduan tersebut dijelaskan bahwa harus ada waktu yang cukup bagi mahasiswa untuk belajar mandiri dan tidak hanya mengandalkan kuliah tatap muka di kelas.
Sosialisasi hingga pelatihan sudah dilakukan. Sayangnya, tidak ada sanksi bagi perguruan tinggi yang tidak menerapkan peraturan di buku tersebut. ”Memang tidak ada tindakan tegas kepada rektor karena memang tidak ada kewajiban dan tidak ada sanksi,” katanya kemarin. Illah yang baru saja pensiun bulan ini menjelaskan, tahun lalu pihaknya juga sudah bertemu LPEM FEUI yang melakukan penelitian mengenai jam kuliah.
Kala itu pihaknya menerangkan bahwa berdasarkan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa dalam 1 SKS kuliah tatap muka dan mengerjakan tugas yang terjadwal di kelas hanya ada 2,67 jam belajar. Selain itu, tidak ada aturan SKS yang diseragamkan oleh Dikti.
Dikti juga hanya menetapkan peraturan yang serbaminimal seperti rata-rata per semester hanya 18 SKS. Selain itu, Dikti juga sudah mengimbau ke perguruan tinggi agar jangan membuat satuan kredit per semesternya terlalu kecil. Jika terlalu kecil, akan menghambat interaksi dosen dan mahasiswa. Illah mengungkapkan, imbauan Dikti ialah perguruan tinggi membuat empat hingga enam SKS per mata kuliah.
”Yang diatur serbaminimal misalnya untuk S-1 minimal 144 SKS. Tetapi, kita tidak pernah mengatur 144 SKS itu menjadi berapa mata kuliah,” katanya. Rektor Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS) Ravik Karsidi menjelaskan, jumlah SKS maupun jumlah mata kuliah di Indonesia itu memang tergolong tinggi.
Meski demikian, waktu riil yang digunakan mahasiswa untuk kuliah dan mengerjakan tugas-tugas kuliah termasuk praktikum relatif sama dan bahkan lebih sedikit. Ravik melanjutkan, sebenarnya satu SKS itu seharusnya terdiri atas 60 menit tatap muka, 50 menit tugas terstruktur, dan 50 menit tugas mandiri yang harus dipenuhi mahasiswa.
Dari pola itu lalu tinggal dikalikan saja berapa alokasi waktu dan berapa jam yang harus disediakan mahasiswa dengan beban SKS yang diambilnya. Ravik menuturkan, ketika seorang kuliah dan mengambil tugas mata kuliah dengan setara sembilan SKS di sebuah universitas di Australia mungkin mahasiswa itu tidak akan sempat main atau nonton film. Tetapi, jika di Indonesia kuliah dengan banyak SKS mahasiswa masih bisa main atau nonton film.
”Ini semua karena beban dan kedalaman dari target perkuliahan yang relatif berbeda. Di luar negeri lebih mendalam, komprehensif, dan up to date dari sisi literatur yang berupa textbook maupun jurnal ilmiah serta beban praktikumnya. Sementara kuliah kita ibarat hujan gerimis yang mungkin cakupannya cukup luas dan kurang mendalam,” ujarnya. Ravik berpendapat, memang perlu ada penataan secara nasional oleh Kemenristek Dikti.
Misalnya persyaratan sebagai dosen perlu ditingkatkan. Misalnya, tidak otomatis yang masih baru berpangkat asisten ahli lalu diberikan kewenangan penuh mengajar dan membimbing mahasiswa. Demikian juga mahasiswa harus dikondisikan untuk dapat mencapai target yang lebih komprehensif di setiap mata kuliah yang diambilnya. Demikian pula dukungan pembelajaran berupa laboratorium dan perpustakaan harus cukup menunjang target tersebut.
LPEM FEUI meneliti, beban belajar mahasiswa di Indonesia sangat membebani dibanding di negara lain. Jamnya bahkan melebihi beban kerja para pekerja normal. Sistem perkuliahan diIndonesia dipertanyakan dari sisi kemanusiaannya. Faktanya, beban studi berdasar jam belajar per minggu di Amerika Serikat berkisar 35-54 jam, Eropa 31.5-40 jam, dan di Australia 32-50 jam. Sementara di Indonesia berkisar 48-54 jam per minggu.
Neneng zubaidah
(bbg)