Jasmerah Bung Karno di Alquran Suci

Selasa, 21 Juli 2015 - 10:00 WIB
Jasmerah Bung Karno di Alquran Suci
Jasmerah Bung Karno di Alquran Suci
A A A
”Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah”. Itulah salah satu inti pesan yang disampaikan oleh Bung Karno pada pidato di depan MPRS, 17 Agustus 1966, yang kemudian dikenal sebagai pidato Jasmerah.

Menurut AH Nasution, Jasmerah merupakan akronim (singkatan) yang dibuat oleh Kesatuan Aksi, sedangkan Bung Kano sendiri memberi judul agak panjang atas pidatonya tersebut yakni ”Karno Mempertahankan Garis Politiknya yang Berlaku, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”.

Pidato Jasmerah merupakan pidato resmi terakhir Bung Karno sebagai presiden menyusul pengambilalihan kekuasaan oleh Jenderal Soeharto pascapenerbitan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Setelah itu Bung Karno tidak pernah lagi menyampaikan pidato sebagai presiden. Bung Karno memang sangat pandai menyedot perhatian dan menyihir publik dengan pidato-pidatonya yang memukau.

Dia orator yang, rasanya, belum ada tandingannya sampai sekarang. Selalu tampil gagah dan berpidato dengan gaya dan intonasi yang sangat bagus, Bung Karno juga sangat pandai menyusun kalimat dan melemparkan ungkapan-ungkapan yang sangat menarik seperti pidato Jasmerah itu. Saat berpidato Jasmerah itu Bung Karno bukan hanya menjelaskan sikap politiknya, melainkan juga mengajari kita tentang filosofi sejarah.

Mengenai sikap politik Bung Karno mengatakan, Supersemar telah dibelokkan menjadi semacam pemindahan kekuasaan. Kata Bung Karno, sejatinya, Supersemar adalah perintah kepada Jenderal Soeharto untuk melakukan pengamanan atas situasi buruk menyusul Peristiwa G 30 S (Gerakan 30 September) yang oleh Bung Karno disebut Gestok (Gerakan 1 Oktober).

Supersemar itu dibelokkan menjadi surat penyerahan kekuasaan pemerintahan atau transfer of power , sesuatu yang menurut Bung Karno jauh dari maksud yang sebenarnya. Yang tak kalah menarik dari pidato Bung Karno itu adalah filosofi tentang bekerjanya hukum sejarah. Sang Proklamator mengajak bangsanya untuk tidak sekali-sekali melupakan sejarah karena sejarah adalah semacam kaca benggala tentang siapa kita, harus ke mana kita, dan apa akibat-akibat dari setiap langkah kita.

Sejarah selalu bercerita tentang pengulangan-pengulangan pengalaman manusia sebagai hukum sejarah, ”Yang berbuat salah selalu menerima hukumannya, yang berlaku benar akan mendapat ganjarannya.” Jangan lakukan kejahatan karena menurut sejarah, cepat atau lambat, pelakunya akan ditimpa nestapa; selalulah berusaha berlaku benar karena kebenaran itu akan menyelamatkan dan membahagiakan. Itulah pesan sejarah. Maka itu, jangan sekalisekali melupakan sejarah.

Adalah menggetarkan, ternyata pidato Jasmerah Bung Karno sangat sejalan dengan banyak ayat Alquran yang mengingatkan manusia untuk selalu belajar dari sejarah. Saya mengira pandangan Bung Karno tentang pentingnya belajar pada sejarah itu diperoleh dari pengalamannya mendalami Islam.

Kita tahu, selain ikut aktif di kegiatan-kegiatan Muhammadiyah, Bung Karno juga aktif berdiskusi dengan tokoh-tokoh Islam seperti tokoh Persatuan Islam (Persis) A Hassan, bahkan pernah berpolemik panjang dengan M Natsir tentang negara sekuler dan negara Islam dalam rangkaian polemik yang sangat menarik. Bung Karno mendalami Islam dengan intens.

Jadi, sangat mungkin ajakan Bung Karno untuk belajar sejarah ikut diinspirasi oleh pergulatannya dalam mendalami Islam dari Alquran. Untuk apa kita belajar dari sejarah? Menurut Alquran belajar dari sejarah menjadi salah satu cara manusia untuk mengatur setiap langkahnya. Dari sejarah umat-umat terdahulu, setiap perbuatan manusia selalu ada akibat-akibatnya yang setimpal.

Di dalam Alquran Surat Al-Hasyr Ayat 18, misalnya, Allah berfirman: ”Hai orangorang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan lihatlah sejarah masa lalumu untuk pelajaran bagi masa depanmu”. Di dalam Alquran, Allah juga bercerita tentang kematian Firaun sebagai ”bukti sejarah” yang menakjubkan. Saat menyeberangi Laut Merah untuk mengejar dan membunuh Nabi Musa, menurut sejarah, Firaun (Ramses II) dan rombongannya tenggelam dilumat oleh Laut Merah.

Saat itulah Firaun yang sebelumnya mengaku sebagai Tuhan menjadi sadar bahwa dirinya hanyalah makhluk yang lemah. Dalam keadaan takut menjelang kematiannya, Firaun berdoa kepada Allah meminta diselamatkan dari kematian di Laut Merah. Seperti termuat dalam Alquran Surat Yunus Ayat 92 Allah pun berfirman: ”Hari ini Aku selamatkan badanmu (nunajjiika bibadanika) , hai Firaun, agar menjadi bukti sejarah bagi orang-orang yang hidup setelahmu”.

Jiwa Firaun pun melayang, mati dilumat ganasnya Laut Merah. Tetapi, Mahabenar dan Mahasuci Allah, ternyata ”badan” Firaun benar-benar selamat dan ditemukan orang dalam keadaan utuh, sekitar 4.400 tahun setelah kematiannya. Badan Firaun yang sudah dimumi ditemukan dalam timbunan tanah pada tahun 1817 oleh arkeolog Giovanni Battista Belzoni, di kompleks kuburan raja-raja, Wadi al Muluk.

Badan itu benar-benar ditemukan sekitar 1.200 tahun setelah Alquran memberitakannya. Pada tahun 1975 Maurice Bucaille meneliti kandungan kimia atas tubuh Firaun, Ramses II, itu yang meyakinkannya bahwa tubuh itu memang mati di laut. Benarlah firman Allah, ”badan Firaun” diselamatkan setelah jiwanya melayang. Sekarang badan itu disimpan di Museum Tahrir, Kairo.

Benar pulalah firman Allah, kehidupan Firaun yang takabur sekarang menjadi bukti sejarah tentang akibat dari setiap perbuatan manusia. Di dalam kitab suci Alquran, Allah menyuruh kita untuk melihat sejarah manusia masa lalu sebagai pelajaran untuk langkah ke depan. ”Jangan Sekalisekali Meninggalkan Sejarah,” kata Bung Karno. Renungkan ini, mumpung Idul Fitri.

MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6359 seconds (0.1#10.140)