Gelombang Panas di Eropa Dipicu Perubahan Iklim

Minggu, 12 Juli 2015 - 10:52 WIB
Gelombang Panas di Eropa Dipicu Perubahan Iklim
Gelombang Panas di Eropa Dipicu Perubahan Iklim
A A A
Jerman, Spanyol, dan London mengalami hari terpanas pada bulan ini pekan lalu. Para peneliti menyatakan kondisi itu ”hampir pasti” karena perubahan iklim meningkatkan kemungkinan gelombang panas di Eropa.

Gelombang panas merupakan periode cuaca panas yang lama, yang mungkin disertai kelembaban yang tinggi, khususnya di negara-negara iklim laut. Meski ada berbagai definisi, gelombang panas dikaitkan dengan cuaca dan suhu normal yang biasa terjadi pada musim tertentu.

Suhu yang dianggap normal oleh orang dari suhu panas dapat dianggap sebagai gelombang panas di daerah yang biasanya lebih dingin jika kondisi itu merupakan pla iklim yang tidak normal bagi wilayah tersebut. Dalam analisis data yang dirilis, tim peneliti iklim internasional dari berbagai universitas, badan meteorologi, dan organisasi riset menjelaskan, jenis gelombang panas yang terjadi di Eropa pekan lalu, yang merupakan tiga hari terpanas, menjadi lebih sering terjadi di kawasan tersebut.

Di De Bilt, Belanda, misalnya, gelombang panas yang terjadi selama beberapa hari itu merupakan kejadian sekali dalam 30 tahun pada 1900-an, menurut para peneliti. ”Sekarang kejadian seperti ini terjadi setiap tiga setengah tahun,” ungkap pernyataan para peneliti, dikutip kantor berita Reuters . ”Di Mannheim, Jerman, gelombang panas semacam itu terjadi sekali dalam satu abad pada 1900-an, tapi sekarang terjadi setiap 15 tahun,” kata para peneliti.

London juga mengalami hari terpanas pada bulan ini dengan suhu di Bandara Heathrow mencapai 36,7 Celsius pada Rabu (1/7) lalu. ”Saat gelombang panas menjadi semakin sering terjadi, ini sesuai dengan pendapat banyak pihak bahwa ini terkait perubahan iklim dan kita menghadapi kondisi normal baru,” tutur Maartenvan Aalst, direktur Red Cross Red Crescent Climate Centre.

Analisis gelombang panas yang mengamati lima kota di Eropa sebagai bagian program World Weather Attribution yang dipimpin Climate Central, organisasi jurnalisme sains yang berbasis di Amerika Serikat (AS). Climate Central didukung oleh para peneliti dari sejumlah organisasi di penjuru dunia, termasuk Oxford University, University of Melbourne, Royal Netherlands Meteorological Institute, dan van Aalst’s Climate Centre.

Program ini bertujuan menggunakan data cuaca dan iklim, model perkiraan, dan iklim untuk menunjukkan bagaimana pola perubahan cuaca terkait perubahan iklim. Program ini diharapkan dapat membantu kota-kota dan negara-negara lebih baik memahami dan menyiapkan diri untuk cuaca yang lebih ekstrem seperti selama beberapa hari lalu di Eropa.

Biro Statistik Pusat Belanda (NCBS) memprediksi rata-rata lebih dari 200 orang meninggal di negara itu setiap pekan selama terjadi gelombang panas, peningkatan 10% kematian. Kematian yang dialami warga berusia lanjut yang terisolasi merupakan masalah khusus dan mencakup porsi yang besar dari perkiraan 70.000 orang yang meninggal di Prancis dan negara-negara Eropa lainnya selama gelombang panas 2003. ”Pada saat itu orang benar-benar tidak mengetahui kombinasi antara peningkatan risiko dan perubahan struktur masyarakat,” ujar van Aalst.

Secara umum keluarga besar merawat orang tua yang berusia lanjut di Prancis. Tapi, perubahan sosial saat ini berarti lebih banyak warga berusia lanjut hidup sendiri di kota-kota, tanpa seorang pun yang memastikan apakah kebutuhan pokok mereka terpenuhi, terutama minum air yang cukup saat suhu panas. ”Kota-kota yang menghadapi gelombang panas harus menyesuaikan cara mereka menghadapi ancaman tersebut, termasuk melalui langkah-langkah sederhana seperti mengirim pesan sosial media untuk meminta orang-orang menelepon neneknya,” tutur van Aalst.

Di Belanda, para presenter cuaca di televisi sekarang mengingatkan para penonton tentang”rencana gelombang panas” yang disusun setelah terjadi gelombang panas pada 2006. Rencana gelombang panas telah aktif dan memberi berbagai tips pada semua orang agar tetap dingin.

Di penjuru Eropa, ada investasi yang besar untuk rencana-rencana semacam itu, bersama sejumlah upaya untuk mengatasi kondisi gelombang panas yang lebih sering, termasuk menambah ruang hijau di berbagai kota. Adapun sejumlah otoritas daerah di Swiss mengurangi tarif bus dan kereta untuk mendorong orang meninggalkan mobil pribadi di rumah dan menggunakan transportasi publik.

Di Jenewa, semua transportasi publik telah dikurangi tarifnya sehingga dapat membantu membawa level ozon kembali normal. ”Karena peningkatan ozon, pengemudi mobil dan sepeda motor di penjuru Jenewa diminta memilih transportasi publik dan diuntungkan dari penurunan tarif,” papar pernyataan Departemen Lingkungan Regional Jenewa.

Langkah yang bertujuan mengurangi polusi akibat kendaraan itu akan mengurangi tarif tiket tram dan bus di Kota Swiss menjadi hanya 2 franc Swiss dan bukan 3 franc Swiss. Di Vaud dan Valais, tempat level ozon sangat tinggi, otoritas memutuskan menawarkan potongan untuk kartu diskon kereta.

Swiss, seperti negara-negara Eropa lainnya, baru-baru ini mengalami gelombang panas dengan suhu mencapai 38 derajat Celsius. Panas mendorong peningkatan polusi, dengan level ozon meningkat melebihi ratarata normal 120 mikrogram per meter kubik dibeberapa wilayah Swiss, mencapai 260 mikrogram per meter kubik di wilayah selatan.

Ozon dapat mengakibatkan masalah pernapasan seperti iritasi dan meningkatkan risiko serangan asma. Karena itu, otoritas lokal memperingatkan agar tidak melakukan olahraga dan kegiatan fisik berlebihan di luar ruangan serta melarang merokok.

Syarifudin
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6904 seconds (0.1#10.140)