Mengendalikan Diri di Tol Cipali
A
A
A
Musim mudik kembali datang. Masyarakat yang selama ini meninggalkan kampung halaman demi mencari penghidupan sudah mulai berbondong-bondong balik ke kampung halaman.
Tak kecuali mereka yang selama ini bermukim di DKI Jakarta di Jakarta, sebagian di antaranya sudah mulai mudik ke Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Satu kisah yang selalu menyertai arus mudik, juga arus balik Lebaran, adalah tentang kemacetan di jalur-jalur utama menuju Jawa bagian tengah dan timur.
Dari jalur yang ada, yakni pantai utara (pantura) Jawa, jalur selatan, dan beberapa jalur alternatif lain, pantura menjadi medan yang paling penuh ujian dan tantangan. Daerah titik kemacetan seperti simpang Jomin, simpang Sukra (Jalur Pamanukan Lohbener, simpang Jangga (Lohbener menuju Indramayu dan Palimanan), Tegal Gubug, Palimanan hingga Kanci dan Pejagan sudah menjadi legenda yang menghantui para pemudik.
Begitu pun tentang pasar tumpah seperti di Sukamandi, Ciasem, Yogya Patrol, Pasar Eretan, Tegal Gubuk. Kemacetan, kemacetan, dan kemacetan yang begitu parah, panjang, hingga menghabiskan waktu sehari semalam selaras dengan terkurasnya stamina dan konsentrasi.
Dampak kemudian adalah tingginya kecelakaan selama arus mudik dan balik lebaran di jalur tersebut. Sejauh ini cerita kelam tentang jalur tersebut tidak pernah menyurut pemudik, bahkan setiap tahun pasti bertambah dan bertambah. Namun, cerita tentang kemacetan di jalur pantura tampaknya bakal tinggal legenda. Hal terkait dengan kehadiran tol Cikopo- Palimanan (Cipali).
Tol sepanjang 116 kilometer diperkirakan dapat mengalihkan 40% beban jalur pantura. Jalan lebih mulus, lebar, tanpa harus bersenggolan dengan motor, dan lebih pendek 40 km dibandingkan jalur pantura, jelas menjadi pilihan rasional bagi mobil pribadi atau kendaraan umum. Hanya, dari sekian kisah tentang pantura yang dialami pemudik, kecelakaan tampaknya bakal membayangi para pemudik, yaitu ancaman kecelakaan.
Ancaman ini bukan isapan jempol. Berdasarkan data Polda Jabar, sejak dibuka untuk umum pada 14 Juni hingga 8 Juli, tercatat terjadi 56 kecelakaan, dengan korban jiwa mencapai 12 orang. Dengan demikian, rata-rata lebih dari dua kali kecelakaan setiap hari. Sebagian besar kecelakaan terjadi akibat human error. Temuan kepolisian tersebut masuk akal.
Jalan lapang, lurus, dan mulus sering kali membuat siapa pun pengemudi lupa diri. Saking menikmatinya, mereka sering kali lupa bahwa kendaraan yang mereka pacu sudah berjalan pada kecepatan jauh di atas 100 km/per jam. Saking nikmatnya pula, tak jarang pengemudi mengantuk dan kehilangan konsentrasi.
Sementara di depan mereka, tanpa disadari ada kendaraan memperlambat kendaraan atau mogok, ada binatang yang menyelonong, ada fatamorgana yang bisa menipu pandangan, dan seribu perkara lainnya yang bisa memicu kecelakaan dan berakibat fatal. Human error terjadi karena keterlambatan atau juga kealpaan pengendara mengemudikan kendaraan.
Siapa pun tentu tidak ingin kecelakaan menimpa pada diri dan keluarga. Kuncinya, kewaspadaan dan kemampuan mengendalikan diri sendiri. Jika merasa lelah, jangan memaksakan diri, namun istirahatlah atau bergantian memegang kendali. Tak kalah penting, harus ada pendamping sopir yang selalu membuka mata lebar-lebar dan sigap memberikan peringatan kepada sang sopir jika sudah lupa diri atau kehilangan konsentrasi.
Lebih dari itu, siapa pun harus selalu mengingat bahwa esensi mudik atau bertemu dengan keluarga besar, tetangga, atau teman sepermainan. Tujuan mudik adalah bisa berlebaran di kampung halaman. Seperti kata Sunan Kalijaga, dengan berlebaran, kita bisa leburan, menghapuskan segala dosa dan khilaf dengan bermaafmaafan. Hanya dengan mudik selamatlah kita bisa mewujudkannya.
Tak kecuali mereka yang selama ini bermukim di DKI Jakarta di Jakarta, sebagian di antaranya sudah mulai mudik ke Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Satu kisah yang selalu menyertai arus mudik, juga arus balik Lebaran, adalah tentang kemacetan di jalur-jalur utama menuju Jawa bagian tengah dan timur.
Dari jalur yang ada, yakni pantai utara (pantura) Jawa, jalur selatan, dan beberapa jalur alternatif lain, pantura menjadi medan yang paling penuh ujian dan tantangan. Daerah titik kemacetan seperti simpang Jomin, simpang Sukra (Jalur Pamanukan Lohbener, simpang Jangga (Lohbener menuju Indramayu dan Palimanan), Tegal Gubug, Palimanan hingga Kanci dan Pejagan sudah menjadi legenda yang menghantui para pemudik.
Begitu pun tentang pasar tumpah seperti di Sukamandi, Ciasem, Yogya Patrol, Pasar Eretan, Tegal Gubuk. Kemacetan, kemacetan, dan kemacetan yang begitu parah, panjang, hingga menghabiskan waktu sehari semalam selaras dengan terkurasnya stamina dan konsentrasi.
Dampak kemudian adalah tingginya kecelakaan selama arus mudik dan balik lebaran di jalur tersebut. Sejauh ini cerita kelam tentang jalur tersebut tidak pernah menyurut pemudik, bahkan setiap tahun pasti bertambah dan bertambah. Namun, cerita tentang kemacetan di jalur pantura tampaknya bakal tinggal legenda. Hal terkait dengan kehadiran tol Cikopo- Palimanan (Cipali).
Tol sepanjang 116 kilometer diperkirakan dapat mengalihkan 40% beban jalur pantura. Jalan lebih mulus, lebar, tanpa harus bersenggolan dengan motor, dan lebih pendek 40 km dibandingkan jalur pantura, jelas menjadi pilihan rasional bagi mobil pribadi atau kendaraan umum. Hanya, dari sekian kisah tentang pantura yang dialami pemudik, kecelakaan tampaknya bakal membayangi para pemudik, yaitu ancaman kecelakaan.
Ancaman ini bukan isapan jempol. Berdasarkan data Polda Jabar, sejak dibuka untuk umum pada 14 Juni hingga 8 Juli, tercatat terjadi 56 kecelakaan, dengan korban jiwa mencapai 12 orang. Dengan demikian, rata-rata lebih dari dua kali kecelakaan setiap hari. Sebagian besar kecelakaan terjadi akibat human error. Temuan kepolisian tersebut masuk akal.
Jalan lapang, lurus, dan mulus sering kali membuat siapa pun pengemudi lupa diri. Saking menikmatinya, mereka sering kali lupa bahwa kendaraan yang mereka pacu sudah berjalan pada kecepatan jauh di atas 100 km/per jam. Saking nikmatnya pula, tak jarang pengemudi mengantuk dan kehilangan konsentrasi.
Sementara di depan mereka, tanpa disadari ada kendaraan memperlambat kendaraan atau mogok, ada binatang yang menyelonong, ada fatamorgana yang bisa menipu pandangan, dan seribu perkara lainnya yang bisa memicu kecelakaan dan berakibat fatal. Human error terjadi karena keterlambatan atau juga kealpaan pengendara mengemudikan kendaraan.
Siapa pun tentu tidak ingin kecelakaan menimpa pada diri dan keluarga. Kuncinya, kewaspadaan dan kemampuan mengendalikan diri sendiri. Jika merasa lelah, jangan memaksakan diri, namun istirahatlah atau bergantian memegang kendali. Tak kalah penting, harus ada pendamping sopir yang selalu membuka mata lebar-lebar dan sigap memberikan peringatan kepada sang sopir jika sudah lupa diri atau kehilangan konsentrasi.
Lebih dari itu, siapa pun harus selalu mengingat bahwa esensi mudik atau bertemu dengan keluarga besar, tetangga, atau teman sepermainan. Tujuan mudik adalah bisa berlebaran di kampung halaman. Seperti kata Sunan Kalijaga, dengan berlebaran, kita bisa leburan, menghapuskan segala dosa dan khilaf dengan bermaafmaafan. Hanya dengan mudik selamatlah kita bisa mewujudkannya.
(bhr)