Aksi Sindikat Mafia Penjualan Tanah Semakin Canggih
A
A
A
DEPOK - Berhati-hatilah jika mendapat informasi atau tawaran penjualan tanah dengan harga murah. Jangan cepat-cepat tergiur.
Baru-baru ini komplotan mafia penipuan dengan modus menjual tanah diringkus polisi. Mereka diringkus setelah beraksi di Kampung Kandang, Durenseribu, Bojongsari, Depok. Dalam aksi kawanan ini menyusun strategi dengan sangat rapi. Ada yang berperan sebagai pemilik tanah, perangkat desa, bahkan notaris. Kemudian salah satu pelaku memasang iklan di media massa untuk menarik calon korban.
Kelompok ini terdiri atas 12 orang yaitu SM, SPR, EMP, CCP, ACP, AEP, AJY, SMD, YY, UMR, JMD, dan ED. Dari hasil penyelidikan, SMD berperan sebagai pemilik tanah, SPR sebagai pemasang iklan di media massa, EMP berperan sebagai yang menyewakan rumah untuk transaksi, ED sebagai penggarap, ACP sebagai ketua RT, dan AEP sebagai pemilik tanah.
Kemudian AJY sebagai penjaga tanah, YY sebagai pemilik tanah, UMR sebagai penjaga tanah, dan JMD sebagai pegawai kelurahan. Sebelum berpura-pura menjual tanah, para pelaku berkeliling mencari tanah kosong. Setelah didapatkan, mereka memasang plang di tanah itu. Selanjutnya mereka memasang iklan di media massa.
Harga tanah yang ditawarkan terhitung murah sehingga banyak yang tertarik dan menghubungi nomor kontak yang tersedia. ”Setelah itu mereka janjian bertemu untuk melihat lokasi tanah. Saat bertemu dengan orang yang berpura- pura menjadi perangkat desa,” kata Kepala Polresta Depok Kombes Pol Dwiyono kemarin. Korban komplotan ini berinisial CJ.
Kepada korban, komplotan ini menjual tanah seluas 2 hektare seharga Rp850 juta. Transaksi jual beli ini terjadi pada Agustus 2014. Agar lebih meyakinkan, korban juga dipertemukan dengan notaris. Kemudian dilakukan pembayaran pada pelaku yang berperan sebagai calo. ”Uang kemudian dibagi-bagi pada tiap anggota yang berjumlah 12 orang. Cara kerja mereka sangat rapi,” ungkapnya.
Dalam transaksi tersebut CJ juga diberikan surat tanah yang merupakan tanah girik. Setelah mendapat hasil, uang hasil penipuan lalu dibagi-bagi berdasarkan peran masing-masing. Tiap pelaku mendapat jatah Rp20 juta. Misalnya ED, yang berperan sebagai penggarap lahan dan ACP sebagai ketua RT, mengaku mendapat bagian Rp20 juta.
”Korban mengaku tergiur membeli tanah itu karena harganya yang murah. Setelah ditelusuri ternyata tanah itu bukan milik tersangka, tetapi mereka mengaku-aku sebagai tanah mereka,” ungkapnya. Biasanya komplotan ini mencari tanah hanya dalam waktu satu minggu. Namun, dari pengakuan para pelaku, mereka baru beraksi satu kali dalam waktu setahun. ”Tapi, kami masih telusuri,” ujarnya.
Hingga saat ini polisi baru menerima laporan dari satu korban yaitu CJ. Dari hasil laporan ini, polisi menangkap delapan pelaku. Sedangkan empat lainnya masih buron. Dari catatan kepolisian, beberapa anggota dari komplotan ini pernah mendekam di tahanan Polsek Bojong Gede yaitu SPR, EMPT, dan CCP dengan kasus yang sama. ”Pelaku dijerat Pasal 378 KUHP dengan ancaman lima tahun penjara,” tuturnya.
ED mengaku baru pertama kali ikut kelompok ini. Sebelumnya dia hanya bekerja sebagai buruh serabutan. ”Saya dapat Rp20 juta. Saya cuma disuruh jaga tanahnya aja karena dekat dengan rumah,” akunya.
R ratna purnama
Baru-baru ini komplotan mafia penipuan dengan modus menjual tanah diringkus polisi. Mereka diringkus setelah beraksi di Kampung Kandang, Durenseribu, Bojongsari, Depok. Dalam aksi kawanan ini menyusun strategi dengan sangat rapi. Ada yang berperan sebagai pemilik tanah, perangkat desa, bahkan notaris. Kemudian salah satu pelaku memasang iklan di media massa untuk menarik calon korban.
Kelompok ini terdiri atas 12 orang yaitu SM, SPR, EMP, CCP, ACP, AEP, AJY, SMD, YY, UMR, JMD, dan ED. Dari hasil penyelidikan, SMD berperan sebagai pemilik tanah, SPR sebagai pemasang iklan di media massa, EMP berperan sebagai yang menyewakan rumah untuk transaksi, ED sebagai penggarap, ACP sebagai ketua RT, dan AEP sebagai pemilik tanah.
Kemudian AJY sebagai penjaga tanah, YY sebagai pemilik tanah, UMR sebagai penjaga tanah, dan JMD sebagai pegawai kelurahan. Sebelum berpura-pura menjual tanah, para pelaku berkeliling mencari tanah kosong. Setelah didapatkan, mereka memasang plang di tanah itu. Selanjutnya mereka memasang iklan di media massa.
Harga tanah yang ditawarkan terhitung murah sehingga banyak yang tertarik dan menghubungi nomor kontak yang tersedia. ”Setelah itu mereka janjian bertemu untuk melihat lokasi tanah. Saat bertemu dengan orang yang berpura- pura menjadi perangkat desa,” kata Kepala Polresta Depok Kombes Pol Dwiyono kemarin. Korban komplotan ini berinisial CJ.
Kepada korban, komplotan ini menjual tanah seluas 2 hektare seharga Rp850 juta. Transaksi jual beli ini terjadi pada Agustus 2014. Agar lebih meyakinkan, korban juga dipertemukan dengan notaris. Kemudian dilakukan pembayaran pada pelaku yang berperan sebagai calo. ”Uang kemudian dibagi-bagi pada tiap anggota yang berjumlah 12 orang. Cara kerja mereka sangat rapi,” ungkapnya.
Dalam transaksi tersebut CJ juga diberikan surat tanah yang merupakan tanah girik. Setelah mendapat hasil, uang hasil penipuan lalu dibagi-bagi berdasarkan peran masing-masing. Tiap pelaku mendapat jatah Rp20 juta. Misalnya ED, yang berperan sebagai penggarap lahan dan ACP sebagai ketua RT, mengaku mendapat bagian Rp20 juta.
”Korban mengaku tergiur membeli tanah itu karena harganya yang murah. Setelah ditelusuri ternyata tanah itu bukan milik tersangka, tetapi mereka mengaku-aku sebagai tanah mereka,” ungkapnya. Biasanya komplotan ini mencari tanah hanya dalam waktu satu minggu. Namun, dari pengakuan para pelaku, mereka baru beraksi satu kali dalam waktu setahun. ”Tapi, kami masih telusuri,” ujarnya.
Hingga saat ini polisi baru menerima laporan dari satu korban yaitu CJ. Dari hasil laporan ini, polisi menangkap delapan pelaku. Sedangkan empat lainnya masih buron. Dari catatan kepolisian, beberapa anggota dari komplotan ini pernah mendekam di tahanan Polsek Bojong Gede yaitu SPR, EMPT, dan CCP dengan kasus yang sama. ”Pelaku dijerat Pasal 378 KUHP dengan ancaman lima tahun penjara,” tuturnya.
ED mengaku baru pertama kali ikut kelompok ini. Sebelumnya dia hanya bekerja sebagai buruh serabutan. ”Saya dapat Rp20 juta. Saya cuma disuruh jaga tanahnya aja karena dekat dengan rumah,” akunya.
R ratna purnama
(ftr)