Pemerintah Harus Jelaskan Tolak Revisi UU KPK
A
A
A
JAKARTA - DPR mendesak pemerintah untuk menjelaskan sikap pemerintah yang menolak revisi Undang-undang (UU) Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pasalnya pemerintah lewat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly yang meminta revisi UU KPK menjadi UU Prolegnas Prioritas 2015.
"Kita harus meminta pemerintah menjelaskan dalam forum paripurna, kenapa kemarin mengusulkan kemudian mencabut. Jangan DPR dijadikan bemper pemerintah untuk test on the water," kata Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Firman Soebagyo kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.
Firman menjelaskan, revisi UU KPK awalnya masuk longlist prolegnas jangka menengah yang akan direvisi setelah DPR selesai rampungkan revisi UU KUHAP.
Kemudian Menkumham meminta agar revisi UU KPK dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2015. Namun tiba-tiba, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan menolak, dan DPR dinilai publik sebagai lembaga yang mendorong revisi UU KPK.
"Pemerintah perlu jelaskan agar, jangan hanya DPR yang hiruk pikuk mengklarifikasi. Dengan mencabut harus dengan penjelasan logika yang bisa diterima," jelasnya.
Menurut Firman, kalau presiden hendak mencabut RUU KPK tersebut, ada mekanisme yang harus dilalui yakni, pemerintah perlu mengirimkan surat resmi ke pimpinan DPR kemudian surat tersebut akan dibacakan di paripurna DPR dimana perwakilan pemerintah hadir tuk menjelaskan. Lalu, surat dibahas dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus).
"Ini lembaga DPR agar jangan dijadikan main-main oleh oknum. Pemerintah kan dipimpin Presiden, jangan DPR dikorbankan kalau tiba-tiba ada kelemahan koordinasi Presiden dengan pembantunya tidak taat," tegas politikus Partai Golkar itu.
Namun lanjut Firman, sejauh ini DPR belum menerima surat pencabutan revisi UU KPK itu dari pemerintah. Kalau belum, maka DPR akan terus memproses pembahasan revisi UU KPK. Tapi, sampai saat ini draf dan naskah akademik revisi UU KPK dari pemerintah belum ada.
"Kalau sampai akhir tahun pemerintah tidak menyampaikan berarti masuk ke tahun berikutnya. Nanti publik bisa melihat siapa yang bermartabat dalam menjalankan UU," tandasnya.
Pasalnya pemerintah lewat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly yang meminta revisi UU KPK menjadi UU Prolegnas Prioritas 2015.
"Kita harus meminta pemerintah menjelaskan dalam forum paripurna, kenapa kemarin mengusulkan kemudian mencabut. Jangan DPR dijadikan bemper pemerintah untuk test on the water," kata Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Firman Soebagyo kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.
Firman menjelaskan, revisi UU KPK awalnya masuk longlist prolegnas jangka menengah yang akan direvisi setelah DPR selesai rampungkan revisi UU KUHAP.
Kemudian Menkumham meminta agar revisi UU KPK dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2015. Namun tiba-tiba, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan menolak, dan DPR dinilai publik sebagai lembaga yang mendorong revisi UU KPK.
"Pemerintah perlu jelaskan agar, jangan hanya DPR yang hiruk pikuk mengklarifikasi. Dengan mencabut harus dengan penjelasan logika yang bisa diterima," jelasnya.
Menurut Firman, kalau presiden hendak mencabut RUU KPK tersebut, ada mekanisme yang harus dilalui yakni, pemerintah perlu mengirimkan surat resmi ke pimpinan DPR kemudian surat tersebut akan dibacakan di paripurna DPR dimana perwakilan pemerintah hadir tuk menjelaskan. Lalu, surat dibahas dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus).
"Ini lembaga DPR agar jangan dijadikan main-main oleh oknum. Pemerintah kan dipimpin Presiden, jangan DPR dikorbankan kalau tiba-tiba ada kelemahan koordinasi Presiden dengan pembantunya tidak taat," tegas politikus Partai Golkar itu.
Namun lanjut Firman, sejauh ini DPR belum menerima surat pencabutan revisi UU KPK itu dari pemerintah. Kalau belum, maka DPR akan terus memproses pembahasan revisi UU KPK. Tapi, sampai saat ini draf dan naskah akademik revisi UU KPK dari pemerintah belum ada.
"Kalau sampai akhir tahun pemerintah tidak menyampaikan berarti masuk ke tahun berikutnya. Nanti publik bisa melihat siapa yang bermartabat dalam menjalankan UU," tandasnya.
(maf)