Efisiensi Versus Regulasi
A
A
A
Meningkatnya kemacetan di kota-kota besar menjadi tantangan bagi sebagian kalangan untuk menghadirkan model bisnis jasa transportasi modern berbasis aplikasi teknologi informasi (TI). Lazimnya ada hal baru, fenomena ini memicu pro dan kontra.
Kemacetan sebagai salah satu dinamika umum yang terjadi di kota metropolitan membuat pergerakan menjadi lebih lambat dan memicu ekonomi biaya tinggi.
Segalanya menjadi tidak efisien. Kondisi inilah yang dimanfaatkan Go-Jek, Grab Taxi, Grab Bike, dan Uber sebagai celah bisnis yang menjanjikan. Mereka mengandalkan prinsip cepat, pasti, serbamudah, dan aman dalam pelayanannya. Tidak hanya jasa antar-jemput orang dengan mobil atau sepeda motor, mereka juga me-ladeni kebutuhan titip belanja dan beli makanan! Calon konsumen tinggal memesan melalui aplikasi di telepon genggam (Android dan iPhone) dan pelayanan pun dimulai.
Konsumen juga dapat memantau langsung pergerakan kendaraan yang mereka pesan sejak sebelum tiba, selama perjalanan, hingga selesai karena dilengkapi perangkat global positioning system (GPS). Bahkan, data pengemudi dan kendaraan pun langsung teridentifikasi di layar ponsel pemesan. Yang juga membuat jasa model baru ini cepat menggaet pelanggan, operator penyedia jasa tak segan-segan memberlakukan tarif promo yang nilainya lebih murah dibandingkan jasa transportasi sejenis yang konvensional.
Itu belum termasuk hadiahhadiah menarik dan keramahan pengemudi yang sebelumnya memang mendapat orientasi terlebih dulu. Dari sisi pengemudi, mereka dijamin meraih pendapatan lebih baik serta jam kerja dan sarana kerja yang lebih layak. Kehadiran model bisnis jasa transportasi baru ini sedikit banyak mulai membentuk gaya hidup baru di tengah masyarakat.
Masing-masing pun memiliki segmen konsumen berbeda dengan segala kelebihan dan kekurangannya, meski sama-sama berbasis aplikasi Android. Grab Taxi, misalnya. Aplikasi pesan taksi ini menjanjikan pelayanan tercepat dan teraman. Mereka menyediakan tiga jenis layanan yaitu taksi reguler dengan mobil sekelas low MPV , taksi premium dengan mobil yang lebih mewah, dan ojek.
Sementara itu, Go-Jek fokus memberdayakan ojek dengan variasi pelayanan. Tidak hanya antar-jemput penumpang, Go-Jek pun melayani kebutuhan pengiriman barang (kurir), membeli makanan, menitip berbelanja, dan lainnya. Adapun pelayanan Uber sama dengan taksi, yakni antar-jemput penumpang dengan mobil. Uber—yang menggunakan kendaraan pelat hitam—mengklaim tarifnya jauh lebih murah dibandingkan tarif taksi konvensional.
Menurut praktisi TI Anthony Liem, munculnya inovasi dalam model bisnis jasa pelayanan transportasi dipicu perubahan perilaku masyarakat yang juga butuh bergerak lebih cepat bahkan lebih ”gila”, sementara kondisi kurang mendukung. Pada akhirnya, keduanya— inovasi bisnis dan gaya hidup-saling memengaruhi. Masyarakat mencari hal-hal yang lebih maju, lebih cepat, lebih mudah, lebih membuatnya nyaman, aman, dan murah. Ketika muncul hal baru seperti yang mereka dambakan, dahaga pun terlampiaskan.
”Para pemain model baru bisnis jasa transportasi ini benarbenar mengandalkan kualitas pelayanan. Ini sebuah kemajuan besar. Tidak perlu ada pihak yang merasa terganggu, tapi memang perlu disikapi secara proporsional. Maju tidaknya usaha toh bergantung pada kepuasan konsumen,” kata CEO MerahPutih Inc (MPI) ini. Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Ipoeng Poernomo mengungkapkan, inovasi teknologi dalam keseharian masyarakat merupakan sebuah keniscayaan termasuk di bidang pelayanan transportasi.
Sejauh itu memudahkan kehidupan mereka, masyarakat akan menerima perubahan ini dengan baik. Mengenai adanya kegundahan dari sebagian kalangan pelaku bisnis transportasi yang sudah ada sebelumnya, Ipoeng memandang hal itu memang perlu disikapi dengan bijak. ”Bisnis model baru ini telah memiliki pasar, sedangkan regulasinya belum ada. Jadi, regulasi perlu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, dengan perkembangan teknologi. Ini biasa terjadi di negara berkembang. Segala sesuatu berjalan dulu baru regulasinya menyusul,” ujarnya.
Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta Shafruhan Sinungan mengatakan, kehadiran aplikasi Grab Taxi sangat membantu para pengemudi taksi. Pengemudi taksi bisa mendapatkan pelanggan lebih banyak karena jumlah masyarakat yang menggunakan aplikasi ini semakin besar. Dalam hal ini, Grab Taxi memperdayakan para pengemudi taksi yang sudah beroperasi secara resmi sebagai mitranya.
”Pengemudi mendapat tambahan penghasilan karena pelanggannya banyak, penumpang terbantu, di sisi lain pengelola aplikasi Grab Taxi pun mendapatkan benefit . Semua untung,” jelasnya. Mengenai taksi Uber, Shafruhan menegaskan bahwa operasionalnya tidak memiliki legalitas. Armadanya tidak ada izin operasional dan pelat hitam, bukan pelat kuning. Padahal, terjadi kegiatan transaksi antara pengemudi dan penumpang.
Shafruhan mengatakan, kalau mau dianggap resmi, armada Uber harus mengikuti semua regulasi terkait yang ada baik UU, PP, maupun perda. ”Kalau di mobilnya tidak ada argometer dan penumpangnya harus punya kartu kredit, kan menyalahi aturan namanya,” tegas Shafruhan. Dia juga menyinggung bahwa armada Uber tidak mengantongi KIR atau tanda uji layak mobil. Pengemudinya pun cukup memiliki SIM A, bukan SIM A umum.
Organda dan Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI sempat melaporkan sejumlah pengemudi taksi Uber ke Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengaku mendukung inovasi model bisnis jasa transportasi. Yang penting, semua sesuai peraturan. Ahok bersikeras layanan taksi Uber ilegal karena melanggar UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No 5/2014 tentang Transportasi.
”Kalau mau legal, buka kantor di Jakarta. Harus jelas apa perusahaannya. Armadanya harus ada izin operasional,” katanya. Menurut Ahok, layanan taksi yang dapat dipesan melalui aplikasi mobile ini tak jauh berbeda dengan angkutan umum pelat hitam yang banyak beredar di jalanan Jakarta. Perwakilan Taksi Uber regional Asia Tenggara pernah menemui Ahok pada Jumat (19/6), tetapi Ahok tetap pada pendiriannya.
Ilham safutra/hermansah
Kemacetan sebagai salah satu dinamika umum yang terjadi di kota metropolitan membuat pergerakan menjadi lebih lambat dan memicu ekonomi biaya tinggi.
Segalanya menjadi tidak efisien. Kondisi inilah yang dimanfaatkan Go-Jek, Grab Taxi, Grab Bike, dan Uber sebagai celah bisnis yang menjanjikan. Mereka mengandalkan prinsip cepat, pasti, serbamudah, dan aman dalam pelayanannya. Tidak hanya jasa antar-jemput orang dengan mobil atau sepeda motor, mereka juga me-ladeni kebutuhan titip belanja dan beli makanan! Calon konsumen tinggal memesan melalui aplikasi di telepon genggam (Android dan iPhone) dan pelayanan pun dimulai.
Konsumen juga dapat memantau langsung pergerakan kendaraan yang mereka pesan sejak sebelum tiba, selama perjalanan, hingga selesai karena dilengkapi perangkat global positioning system (GPS). Bahkan, data pengemudi dan kendaraan pun langsung teridentifikasi di layar ponsel pemesan. Yang juga membuat jasa model baru ini cepat menggaet pelanggan, operator penyedia jasa tak segan-segan memberlakukan tarif promo yang nilainya lebih murah dibandingkan jasa transportasi sejenis yang konvensional.
Itu belum termasuk hadiahhadiah menarik dan keramahan pengemudi yang sebelumnya memang mendapat orientasi terlebih dulu. Dari sisi pengemudi, mereka dijamin meraih pendapatan lebih baik serta jam kerja dan sarana kerja yang lebih layak. Kehadiran model bisnis jasa transportasi baru ini sedikit banyak mulai membentuk gaya hidup baru di tengah masyarakat.
Masing-masing pun memiliki segmen konsumen berbeda dengan segala kelebihan dan kekurangannya, meski sama-sama berbasis aplikasi Android. Grab Taxi, misalnya. Aplikasi pesan taksi ini menjanjikan pelayanan tercepat dan teraman. Mereka menyediakan tiga jenis layanan yaitu taksi reguler dengan mobil sekelas low MPV , taksi premium dengan mobil yang lebih mewah, dan ojek.
Sementara itu, Go-Jek fokus memberdayakan ojek dengan variasi pelayanan. Tidak hanya antar-jemput penumpang, Go-Jek pun melayani kebutuhan pengiriman barang (kurir), membeli makanan, menitip berbelanja, dan lainnya. Adapun pelayanan Uber sama dengan taksi, yakni antar-jemput penumpang dengan mobil. Uber—yang menggunakan kendaraan pelat hitam—mengklaim tarifnya jauh lebih murah dibandingkan tarif taksi konvensional.
Menurut praktisi TI Anthony Liem, munculnya inovasi dalam model bisnis jasa pelayanan transportasi dipicu perubahan perilaku masyarakat yang juga butuh bergerak lebih cepat bahkan lebih ”gila”, sementara kondisi kurang mendukung. Pada akhirnya, keduanya— inovasi bisnis dan gaya hidup-saling memengaruhi. Masyarakat mencari hal-hal yang lebih maju, lebih cepat, lebih mudah, lebih membuatnya nyaman, aman, dan murah. Ketika muncul hal baru seperti yang mereka dambakan, dahaga pun terlampiaskan.
”Para pemain model baru bisnis jasa transportasi ini benarbenar mengandalkan kualitas pelayanan. Ini sebuah kemajuan besar. Tidak perlu ada pihak yang merasa terganggu, tapi memang perlu disikapi secara proporsional. Maju tidaknya usaha toh bergantung pada kepuasan konsumen,” kata CEO MerahPutih Inc (MPI) ini. Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Ipoeng Poernomo mengungkapkan, inovasi teknologi dalam keseharian masyarakat merupakan sebuah keniscayaan termasuk di bidang pelayanan transportasi.
Sejauh itu memudahkan kehidupan mereka, masyarakat akan menerima perubahan ini dengan baik. Mengenai adanya kegundahan dari sebagian kalangan pelaku bisnis transportasi yang sudah ada sebelumnya, Ipoeng memandang hal itu memang perlu disikapi dengan bijak. ”Bisnis model baru ini telah memiliki pasar, sedangkan regulasinya belum ada. Jadi, regulasi perlu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, dengan perkembangan teknologi. Ini biasa terjadi di negara berkembang. Segala sesuatu berjalan dulu baru regulasinya menyusul,” ujarnya.
Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta Shafruhan Sinungan mengatakan, kehadiran aplikasi Grab Taxi sangat membantu para pengemudi taksi. Pengemudi taksi bisa mendapatkan pelanggan lebih banyak karena jumlah masyarakat yang menggunakan aplikasi ini semakin besar. Dalam hal ini, Grab Taxi memperdayakan para pengemudi taksi yang sudah beroperasi secara resmi sebagai mitranya.
”Pengemudi mendapat tambahan penghasilan karena pelanggannya banyak, penumpang terbantu, di sisi lain pengelola aplikasi Grab Taxi pun mendapatkan benefit . Semua untung,” jelasnya. Mengenai taksi Uber, Shafruhan menegaskan bahwa operasionalnya tidak memiliki legalitas. Armadanya tidak ada izin operasional dan pelat hitam, bukan pelat kuning. Padahal, terjadi kegiatan transaksi antara pengemudi dan penumpang.
Shafruhan mengatakan, kalau mau dianggap resmi, armada Uber harus mengikuti semua regulasi terkait yang ada baik UU, PP, maupun perda. ”Kalau di mobilnya tidak ada argometer dan penumpangnya harus punya kartu kredit, kan menyalahi aturan namanya,” tegas Shafruhan. Dia juga menyinggung bahwa armada Uber tidak mengantongi KIR atau tanda uji layak mobil. Pengemudinya pun cukup memiliki SIM A, bukan SIM A umum.
Organda dan Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI sempat melaporkan sejumlah pengemudi taksi Uber ke Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengaku mendukung inovasi model bisnis jasa transportasi. Yang penting, semua sesuai peraturan. Ahok bersikeras layanan taksi Uber ilegal karena melanggar UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No 5/2014 tentang Transportasi.
”Kalau mau legal, buka kantor di Jakarta. Harus jelas apa perusahaannya. Armadanya harus ada izin operasional,” katanya. Menurut Ahok, layanan taksi yang dapat dipesan melalui aplikasi mobile ini tak jauh berbeda dengan angkutan umum pelat hitam yang banyak beredar di jalanan Jakarta. Perwakilan Taksi Uber regional Asia Tenggara pernah menemui Ahok pada Jumat (19/6), tetapi Ahok tetap pada pendiriannya.
Ilham safutra/hermansah
(ars)