Bunda, Mas Mau Tidur Dulu Ya...

Rabu, 01 Juli 2015 - 08:56 WIB
Bunda, Mas Mau Tidur...
Bunda, Mas Mau Tidur Dulu Ya...
A A A
Pasca kejadian memilukan siang kemarin, Dewi dibantu keluarga mencoba menghubungi ponsel Lettu Pnb Pandu.

Namun, upaya komunikasi itu sama sekali tak mendapat respons. Melalui tayangan televisi di rumahnya di Dusun Patukan, Ambarketawang, Gamping, Sleman, DIY, Dewi pun seakan tak kuasa melihat tragedi di Jalan Jamin Ginting, Medan tersebut. Dia sempat merasa tak percaya jika pesawat yang dipiloti suaminya tersebut mengalami celaka.

Dewi mengenang, selama ini, Lettu Pnb Pandu selalu menghubunginya setiap hari, lebih-lebih saat bertugas terbang ke luar daerah. Sebagai penerbang, lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) Adisutjipto, Yogyakarta pada 2011 itu berpindahpindah wilayah dinasnya. Sementara Dewi mengaku belum bisa mendampingi penuh suaminya, karena juga masih disibukkan dengan bekerja di salah satu apotek di Sleman.

“Selama ini kita memang jarak jauh. Ketemu terakhir saat awal puasa lalu, Jumat (19/6), Sabtu (2/6), dan Minggu (21/6),” kata Dewi lirih. Komunikasi lewat telepon ini dilakukan tiap hari khususnya waktu malam. Akan tetapi, baru pada Senin (29/6), Pandu sama sekali tidak meneleponnya.

“Biasanya telepon, tapi (Senin) malam kemarin tidak. Hanya mengirim BBM. Isinya, ‘Bunda, Mas mau tidur dulu ya,” kata Dewi yang mengungkapkan baru membina keluarga dengan Lettu Pnb Pandu sejak 25 April 2015. Dewi pun hanya bisa pasrah menghadapi kenyataan ini. Profesi sebagai pilot merupakan pilihan dari suaminya sendiri saat masih duduk di bangku sekolah. “Memang cita-citanya ingin menjadi pilot. Kata Mas Pandu, jodoh dan mati itu sudah di tangan Tuhan,” tuturnya.

Di Madiun, Jawa Timur, keluarga Kopral Dua (Kopda) Dany Setya Wahyudi juga sangat terguncang kala mengetahui salah satu awak pesawat Hercules C-130 itu turut menjadi korban. Jumiati, ibu kandung Kopda Dany, mengatakan di tengah kecemasan awalnya dia berharap anak ketiganya itu selamat dari peristiwa memilukan itu.

“Saya berprasangka baik Dany tidak ada dalam pesawat itu, sambil terus memantau siaran itu. Lalu, ada anggota Paskhas Lanud Iswahjudi mendatangi rumah sekitar pukul 12.00 lebih dan memberi kabar ini,” ujar Jumiati di rumahnya di Desa Sambirejo, Kecamatan Jiwan, Kabupaten Madiun, tadi malam. Kopda Dany meninggalkan seorang istri dan satu putra. Jumiati menceritakan, Kopda Dany terakhir kali meneleponnya menjelang puasa lalu untuk meminta maaf. Kebiasaan korban menjelang berangkat tugas selalu menelepon sang ibu untuk meminta doa keselamatan.

“Tapi kali ini dia tidak menelepon. Entah mengapa begitu. Saya pun tidak ada firasat apa pun jelang kepergian dia,” ujar Jumiati. Kepedihan mendalam juga dirasakan puluhan keluarga korban yang memenuhi Ruang Instalasi Forensik Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik, Kota Medan, beberapa saat seusai kejadian kemarin. Isak tangis pecah tatkala satu per satu ambulans menurunkan kantong-kantong berisi jenazah korban pesawat. Jenson Halomoan Sinaga, 52, menangis meraung-raung mengetahui lima kerabat keluarganya tewas dalam kecelakaan itu.

Dia sama sekali tak menyangka karena beberapa jam sebelumnya mengantarkan kelima korban ke Pangkalan Udara (Lanud) Soewondo, Medan. “Aduh.. sudah meninggal semua, berat kali kutanggung. Enggak sanggup aku,” ucap Jenson. Di tengah kepedihan itu, dia berupaya menyampaikan berita duka itu kepada keluarganya melalui ponsel di depan ruangan jenazah. Dengan terbata-bata, Jenson mengungkapkan bahwa kelima saudaranya yang menjadi korban adalah adik laki-lakinya, Sahat Martua Sinaga, 50, bersama istrinya, Boru Purba, 50, dan anaknya Irene, 15.

Selain itu, dua keponakannya, Line Br Sinaga, 15, dan Agus Salim Sitio, 24, asal Pematangsiantar. “Keponakan kami Line, baru tamat SMP di Samosir dan rencananya dibawa ke Natuna untuk disekolahkan karena bapaknya sudah meninggal,” ungkap Jenson, sembari menyeka air matanya. Jenson tidak menyangka kepergian adik, ipar, dan keponakannya begitu tragis.

Dia mengantarkan kelima keluarganya pukul 08.00 WIB, kemarin, dengan mobil pribadinya ke Lanud Soewondo. “Semua tampak biasa saja,” katanya. Sebenarnya ada sembilan orang yang hendak terbang bersama. Namun, empat lainnya tidak jadi karena sudah membeli tiket pesawat umum ke Natuna. Setelah mengantarkan Sahat bersama istri, anak-anak, dan keponakannya ke Lanud Soewondo, Jenson lalu pamit untuk mengantarkan empat keluarga lainnya ke Bandara Internasional Kualanamu (KNIA).

“Pukul 11.00 WIB, saya masih sempat berkomunikasi dengan Sahat lewat telepon dan katanya pesawat akan bergerak pukul 12.00 WIB,” ujarnya. Namun tak lama setelah itu, Jenson justru mendapat kabar bahwa pesawat Hercules yang ditumpangi keluarganya mengalami kecelakaan di Jalan Jamin Ginting. Kesedihan yang sama dirasakan, Mikael Sembiring, 40, warga Perumnas Simalingkar, Medan.

Dua keponakannya, Yosepin, 19, dan Yuanita, 16, menjadi korban jatuhnya pesawat Hercules. Satu jam sebelumnya, Mikael baru mengantarkan keduanya ke Lanud Soewondo. Sama halnya seperti Jenson, dia tidak memiliki firasat buruk saat mengantarkan keponakannya. Dalam perjalanan dari rumahnya di Perumnas Simalingkar menuju Bandara Lanud Soewondo, Yosepin dan Yuanita terlihat sangat gembira.

Mikael menceritakan, kedua keponakannya itu naik pesawat Hercules C-130 karena akan berlibur ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. “Kebetulan ayah dua keponakanku ini personel TNI. Makanya bisa menumpang di pesawat.”

Dody ferdiansyah/ bambang swanda harahap/dili eyato
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1027 seconds (0.1#10.140)