Hasrat: Hidup dalam Realitas Abu-Abu
A
A
A
Apa yang mendorong orang untuk terus “berani” hidup? Darwin dalam teori evolusi mengenai kelangsungan hidup menegaskan bahwa hanya mereka-mereka yang terus bersaing dengan hasrat hidupnya dan memenangkan persaingan untuk terus hidup.
Merekalah yang merupakan pemenang, karena itu doktrin kelangsungan hidup dari mereka ini (baca: tak hanya manusia namun pula fauna dan flora makhluk-makhluknya) dinamai survival of the fittest. Di tayangan-tayangan visual National Geographic, Animal Planet, dan observasi antara predator dan korban yang demi kelangsungan hidup semesta seakan-akan dibahasakan harus melalui seleksi alamiah sebuah kewajaran untuk keseimbangan alam hukum seleksi itu diiyakan bahkan diteguhkan.
Tema hasrat ini di ranah politik dalam pengertian dan praksis kekuasaan semakin digarap, diolah mulai dari F Nietzsche yang memberi kata kunci “hasrat untuk berkuasa” agar melangsungkan hidup berkuasa ia tegaskan sebagai will to power atau kehendak untuk berkuasa. Bahkan Michel Foucault mengaitkannya tidak hanya untuk hidup dan hasrat kuasa, tetapi sudah mengungkap dalam diskursus sebagai bahasa wacana.
Ketika wacana feminisme sebagai mazhab yang memperjuangkan kesetaraan mulai dari gender antara perempuan dan laki-laki sampai ke konstruksikonstruksi kekuasaan patriarki yang menelikung perkembangan perempuan untuk menjadi subjek karena selalu “dijadikan”, sedang berdiskusi untuk menemukan kata kunci di bahasa Indonesia untuk feminisme, mereka berbeda pendapat mengenai pemakaian wanita atau perempuan.
Yang setuju terhadap kata kunci perempuan, memperjuangkan makna positif dari kata baku “empu”. Maka perempuan adalah yang dihormati sebagai “empu”: yang diempukan. Empu dimaknai gurunya guru yang sudah makan garam kehidupan, sedangkan mereka ini kurang pas dengan kata kunci wanita.
Padahal setelah meminta penjelasan dari ahli bahasa Sanskerta, yaitu Prof Edi Sedyawati, makna wanita positif sekali artinya, yaitu sebagai “yang diharapkan”, yang bisa dijadikan sandaran. Dan ketika saya menimpali, apakah bisa pula diartikan sebagai “yang dihasrati”, jawabannya bisa diartikan demikian tetapi dalam bingkai kelangsungan hidup yang berlaku pula untuk lelaki. Tanpa hasrat maka kelangsungan hidup dan evolusinya akan berhenti. ***
Hasrat berkuasa di dalam hasrat untuk terus hidup menemukan ungkapan nyatanya dalam wacana, diskusi bahkan di tingkat bahasa ucap sebagai ekspresi saat-saat ini. Di ranah politik arti positifnya sebagai strategi, siasat cerdas agar kuasa dipakai untuk mencapai tujuan sejahteranya warga “polis”/kota kecil.
Sedangkan arti negatifnya sebagai pokil laku tindak memenangkan kepentingan pemilik kuasa mencapai tujuannya dengan segala cara, maka di situ sejarah peradaban yang ingin membangun keadaban manusia melalui politik yang beretika dan bersumber dari moralitas akan menolak praktik-praktik kekuasaan yang biadab.
Justru di sini, hasrat untuk hidup dan di dalamnya bermuara hasrat untuk berkuasa diuji praksisnya dalam pisau irisan akal sehat dan moralitas nurani dalam dua wilayah. Yang pertama, will to power bersumber dari hasrat untuk membunuh, mematikan lawan-lawan dalam persaingan agar tetap hidup; dan inilah naluri hasrat kematian atau death instinct yang dalam bahasa purba disebut thanatos, hasrat mengalahkan dan mematikan saingan hidup demi survival -nya.
Kedua, live instinct atau hasrat untuk melahirkan hidup, merawatnya dan menumbuhkannya. Bila direnungi isinya, wilayah hasrat untuk berkuasa mempunyai bahasa kepentingan untuk dipenuhi, sementara hasrat untuk hidup sebagai life instinct memiliki wilayah bahasa nilai atau yang dipandang dan dihayati sebagai berharga dalam hidup ini.
Benturan dua insting atau naluri itu ada dalam diskresi manusia atau pertimbangan akal budinya yang rasional dan nuraninya yang hening menimbang lalu memilih antara nilai yang berperang berhadaphadapan dengan kepentingan.
Sekolah pendidikan nilai, dalam hal ini pembatinan dan pendarahdagingan pada manusia apa-apa yang dipahami sebagai baik, dipandang sebagai benar, dihayati sebagai suci dan dirasakan sebagai indah dalam hidup ini agar setiap makhluk hidup tetap survival , atau hidup terus ketika berhadap-hadapan dengan kenyataan yang dimotori oleh kepentingankepentingan yang saling berkecamuk, ternyata membaginya dalam perang antara putih (simbol keutamaan, yang baik, yang bernilai) melawan yang hitam (simbol yang jahat, yang merusak hidup dan yang death instinct).
Bahasa ungkapan perang yang putih lawan yang hitam itu diabadikan dalam ajaran-ajaran kebijaksanaan hidup sebagai perang terus menerus antara kebaikan versus kejahatan. Maka itu, kita jumpai ajaran perang kurusetra antara yang putih yaitu pandawa dan yang hitam ialah kurawa.
Dalam diri manusia pun, perang ini dinarasikan simbolis, namun dipersonifikasikan sebagai perlawanan terus antara setan dan malaikat. Wajah narasi penghakiman untuk pahala bagi pemilih jalan mengikuti yang putih dan kebaikan adalah masuk ke surga, sedangkan jalan lawannya adalah masuk ke neraka.
Teks-teks ajaran kebijaksanaan hidup dibahasakan dengan larangan-larangan untuk berbuat jahat dan dukungan untuk berbuat baik, lalu disumberkan pada kitab suci yang memiliki perwahyuan bagi nabi atau sang guru kebenaran yang lalu diyakini sebagai acuan perilaku hidup baik karena keyakinan bahwa ajaran suci ini diwahyukan oleh yang Ilahi.
Sedangkan agamaagama bumi menyumberkan ajaran kebaikan dengan membaca dan menghayati harmoni dalam semesta sebagai jagat besar dan jagat kecil bersama manusia. Apakah hasrat berkuasa itu hitam, sementara hasrat untuk hidup itu putih?
Keterbatasan jalan pikiran renung yang dikotomik atau memperlawankan kenyataan hidup sebagai dua wilayah yang putih versus yang hitam, pertama-tama ditengahi atau diberi jalan tengah sebagai dirangkum dan diterimanya dua kekuatan itu sebagai silih berganti mana yang sedang berkuasa di atas dalam hal putih (kebaikan) harus sadar nanti akan berputar ke bawah.
Yang kedua, paham dalam yang putih saling membutuhkan dan mengisi dengan yang hitam justru untuk dinamika gerak kosmos, kita kenal dalam pandangan seimbang Yin dan Yang atau kain poleng (hitam putih Bali) yang silih berganti untuk dinamika harmonisasi.
Artinya, daya hidup Yin membutuhkan Yang, begitu pun Yang membutuhkan Yin entah dimaknai energi perempuan yang butuh laki-laki dan sebaliknya energi hidup lelaki butuh perempuan. Yang ketiga, mencoba memakai pendekatan deskripsi fenomenologis yaitu membiarkan realitas menggejala ke kita untuk dialami lalu manusia menyikapinya as such as it is: sebagaimana adanya.
Untuk jalan ketiga inilah, tema pokok hasrat untuk hidup dan kehendak atau hasrat berkuasa ingin kita deskripsikan apa adanya di realitas hidup nyata kita untuk disikapi. Realitas hidup ini dalam deskripsi apa adanya secara gejala nyata adalah abu-abu. Artinya, antara yang putih (yang baik) dan yang hitam (yang jahat) itu berkelindan, campur sebagai tidak seluruhnya putih dan tidak seluruhnya hitam.
Ya itu tadi : abu-abu. Maka sebenarnya, pada masa puasa saudara-saudariku yang muslim, saya ingin bersama- sama ikut merenungkan bahwa dalam realitas abu-abu kita inilah, sekecil cuatan kuas atau tindakan memberi warna putih, sesungguhnya akan membuat yang abu-abu menjadi lebih putih.
Bila kita sepakat yang putih adalah kebaikan, kalau semakin banyak yang mewarnai realitas Tanah Air yang abu-abu dengan yang putih, maka makin putihlah dan makin menanglah kebaikan di sini. Kalau tindakan menghitamkan merajalela, akan semakin kelam hitam pekat kenyataan riil yang sudah abu-abu ini.
Dengan kata lain, hasrat untk hidup berbagi dan peduli semoga lebih kuat daripada hasrat untuk berkuasa demi kepentingan ego-ego hitam naluri anti kehidupan.
Mudji Sutrisno Sj
Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
Merekalah yang merupakan pemenang, karena itu doktrin kelangsungan hidup dari mereka ini (baca: tak hanya manusia namun pula fauna dan flora makhluk-makhluknya) dinamai survival of the fittest. Di tayangan-tayangan visual National Geographic, Animal Planet, dan observasi antara predator dan korban yang demi kelangsungan hidup semesta seakan-akan dibahasakan harus melalui seleksi alamiah sebuah kewajaran untuk keseimbangan alam hukum seleksi itu diiyakan bahkan diteguhkan.
Tema hasrat ini di ranah politik dalam pengertian dan praksis kekuasaan semakin digarap, diolah mulai dari F Nietzsche yang memberi kata kunci “hasrat untuk berkuasa” agar melangsungkan hidup berkuasa ia tegaskan sebagai will to power atau kehendak untuk berkuasa. Bahkan Michel Foucault mengaitkannya tidak hanya untuk hidup dan hasrat kuasa, tetapi sudah mengungkap dalam diskursus sebagai bahasa wacana.
Ketika wacana feminisme sebagai mazhab yang memperjuangkan kesetaraan mulai dari gender antara perempuan dan laki-laki sampai ke konstruksikonstruksi kekuasaan patriarki yang menelikung perkembangan perempuan untuk menjadi subjek karena selalu “dijadikan”, sedang berdiskusi untuk menemukan kata kunci di bahasa Indonesia untuk feminisme, mereka berbeda pendapat mengenai pemakaian wanita atau perempuan.
Yang setuju terhadap kata kunci perempuan, memperjuangkan makna positif dari kata baku “empu”. Maka perempuan adalah yang dihormati sebagai “empu”: yang diempukan. Empu dimaknai gurunya guru yang sudah makan garam kehidupan, sedangkan mereka ini kurang pas dengan kata kunci wanita.
Padahal setelah meminta penjelasan dari ahli bahasa Sanskerta, yaitu Prof Edi Sedyawati, makna wanita positif sekali artinya, yaitu sebagai “yang diharapkan”, yang bisa dijadikan sandaran. Dan ketika saya menimpali, apakah bisa pula diartikan sebagai “yang dihasrati”, jawabannya bisa diartikan demikian tetapi dalam bingkai kelangsungan hidup yang berlaku pula untuk lelaki. Tanpa hasrat maka kelangsungan hidup dan evolusinya akan berhenti. ***
Hasrat berkuasa di dalam hasrat untuk terus hidup menemukan ungkapan nyatanya dalam wacana, diskusi bahkan di tingkat bahasa ucap sebagai ekspresi saat-saat ini. Di ranah politik arti positifnya sebagai strategi, siasat cerdas agar kuasa dipakai untuk mencapai tujuan sejahteranya warga “polis”/kota kecil.
Sedangkan arti negatifnya sebagai pokil laku tindak memenangkan kepentingan pemilik kuasa mencapai tujuannya dengan segala cara, maka di situ sejarah peradaban yang ingin membangun keadaban manusia melalui politik yang beretika dan bersumber dari moralitas akan menolak praktik-praktik kekuasaan yang biadab.
Justru di sini, hasrat untuk hidup dan di dalamnya bermuara hasrat untuk berkuasa diuji praksisnya dalam pisau irisan akal sehat dan moralitas nurani dalam dua wilayah. Yang pertama, will to power bersumber dari hasrat untuk membunuh, mematikan lawan-lawan dalam persaingan agar tetap hidup; dan inilah naluri hasrat kematian atau death instinct yang dalam bahasa purba disebut thanatos, hasrat mengalahkan dan mematikan saingan hidup demi survival -nya.
Kedua, live instinct atau hasrat untuk melahirkan hidup, merawatnya dan menumbuhkannya. Bila direnungi isinya, wilayah hasrat untuk berkuasa mempunyai bahasa kepentingan untuk dipenuhi, sementara hasrat untuk hidup sebagai life instinct memiliki wilayah bahasa nilai atau yang dipandang dan dihayati sebagai berharga dalam hidup ini.
Benturan dua insting atau naluri itu ada dalam diskresi manusia atau pertimbangan akal budinya yang rasional dan nuraninya yang hening menimbang lalu memilih antara nilai yang berperang berhadaphadapan dengan kepentingan.
Sekolah pendidikan nilai, dalam hal ini pembatinan dan pendarahdagingan pada manusia apa-apa yang dipahami sebagai baik, dipandang sebagai benar, dihayati sebagai suci dan dirasakan sebagai indah dalam hidup ini agar setiap makhluk hidup tetap survival , atau hidup terus ketika berhadap-hadapan dengan kenyataan yang dimotori oleh kepentingankepentingan yang saling berkecamuk, ternyata membaginya dalam perang antara putih (simbol keutamaan, yang baik, yang bernilai) melawan yang hitam (simbol yang jahat, yang merusak hidup dan yang death instinct).
Bahasa ungkapan perang yang putih lawan yang hitam itu diabadikan dalam ajaran-ajaran kebijaksanaan hidup sebagai perang terus menerus antara kebaikan versus kejahatan. Maka itu, kita jumpai ajaran perang kurusetra antara yang putih yaitu pandawa dan yang hitam ialah kurawa.
Dalam diri manusia pun, perang ini dinarasikan simbolis, namun dipersonifikasikan sebagai perlawanan terus antara setan dan malaikat. Wajah narasi penghakiman untuk pahala bagi pemilih jalan mengikuti yang putih dan kebaikan adalah masuk ke surga, sedangkan jalan lawannya adalah masuk ke neraka.
Teks-teks ajaran kebijaksanaan hidup dibahasakan dengan larangan-larangan untuk berbuat jahat dan dukungan untuk berbuat baik, lalu disumberkan pada kitab suci yang memiliki perwahyuan bagi nabi atau sang guru kebenaran yang lalu diyakini sebagai acuan perilaku hidup baik karena keyakinan bahwa ajaran suci ini diwahyukan oleh yang Ilahi.
Sedangkan agamaagama bumi menyumberkan ajaran kebaikan dengan membaca dan menghayati harmoni dalam semesta sebagai jagat besar dan jagat kecil bersama manusia. Apakah hasrat berkuasa itu hitam, sementara hasrat untuk hidup itu putih?
Keterbatasan jalan pikiran renung yang dikotomik atau memperlawankan kenyataan hidup sebagai dua wilayah yang putih versus yang hitam, pertama-tama ditengahi atau diberi jalan tengah sebagai dirangkum dan diterimanya dua kekuatan itu sebagai silih berganti mana yang sedang berkuasa di atas dalam hal putih (kebaikan) harus sadar nanti akan berputar ke bawah.
Yang kedua, paham dalam yang putih saling membutuhkan dan mengisi dengan yang hitam justru untuk dinamika gerak kosmos, kita kenal dalam pandangan seimbang Yin dan Yang atau kain poleng (hitam putih Bali) yang silih berganti untuk dinamika harmonisasi.
Artinya, daya hidup Yin membutuhkan Yang, begitu pun Yang membutuhkan Yin entah dimaknai energi perempuan yang butuh laki-laki dan sebaliknya energi hidup lelaki butuh perempuan. Yang ketiga, mencoba memakai pendekatan deskripsi fenomenologis yaitu membiarkan realitas menggejala ke kita untuk dialami lalu manusia menyikapinya as such as it is: sebagaimana adanya.
Untuk jalan ketiga inilah, tema pokok hasrat untuk hidup dan kehendak atau hasrat berkuasa ingin kita deskripsikan apa adanya di realitas hidup nyata kita untuk disikapi. Realitas hidup ini dalam deskripsi apa adanya secara gejala nyata adalah abu-abu. Artinya, antara yang putih (yang baik) dan yang hitam (yang jahat) itu berkelindan, campur sebagai tidak seluruhnya putih dan tidak seluruhnya hitam.
Ya itu tadi : abu-abu. Maka sebenarnya, pada masa puasa saudara-saudariku yang muslim, saya ingin bersama- sama ikut merenungkan bahwa dalam realitas abu-abu kita inilah, sekecil cuatan kuas atau tindakan memberi warna putih, sesungguhnya akan membuat yang abu-abu menjadi lebih putih.
Bila kita sepakat yang putih adalah kebaikan, kalau semakin banyak yang mewarnai realitas Tanah Air yang abu-abu dengan yang putih, maka makin putihlah dan makin menanglah kebaikan di sini. Kalau tindakan menghitamkan merajalela, akan semakin kelam hitam pekat kenyataan riil yang sudah abu-abu ini.
Dengan kata lain, hasrat untk hidup berbagi dan peduli semoga lebih kuat daripada hasrat untuk berkuasa demi kepentingan ego-ego hitam naluri anti kehidupan.
Mudji Sutrisno Sj
Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
(ftr)