AS: China Tersangka Utama Peretasan

Sabtu, 27 Juni 2015 - 10:39 WIB
AS: China Tersangka Utama Peretasan
AS: China Tersangka Utama Peretasan
A A A
WASHINGTON - Dugaan keterlibatan China dalam aksi peretasan jutaan data pribadi pegawai pemerintah Amerika Serikat (AS) menguat. AS menuduh China sebagai tersangka utama.

Namun, tuduhan itu berulang kali dibantah. Direktur Intelijen Nasional AS James Clapper memunculkan tuduhan itu secara gamblang. Menurutnya, China sebagai tersangka paling atas dalam daftar tersangka peretasan Kantor Manajemen Pribadi (OPM) AS pada 4 Juni silam. Hal itu terungkap setelah Clapper terdesak dalam konferensi di Washington.

”Di satu sisi, Anda jangan sampai salah paham, tapi Anda patut salut dengan apa yang dilakukan dan dicapai China,” ujar Clapper dalam Konferensi Intelijen Washington, dikutip The Wall Street Journal, kemarin. Namun, para peserta konferensi tidak puas dan menekan Clapper agar memberikan jawaban yang jelas.

”China merupakan tersangka utama dalam kasus itu,” jawabnya. Pernyataan Clapper memperkuat sejumlah tuduhan yang pernah dilayangkan para pejabat senior AS sebelumnya. Bedanya, mereka berbicara secara anonim. Hal ini menunjukkan adanya kecurigaan AS terhadap China sejak lama. Tak heran jika beberapa pejabat pemerintah AS terjebak dalam perdebatan sengit mengenai masalah ini.

Sejauh ini, otoritas terkait AS masih menyelidiki total data pribadi yang gagal dilindungi dan bocor ke tangan ”orang lain”. Namun, berdasarkan data tidak resmi, sekitar 18 juta jumlah Keamanan Sosial berhasil dibobol. Petinggi AS pun membangun diskusi mengenai bagaimana cara mendekati China mengenai masalah ini.

Pada April, Presiden AS Barack Obama menandatangani perintah eksekutif agar Departemen Keuangan memiliki kewenangan khusus. Dengan diresmikannya perintah eksekutif itu, Departemen Keuangan bisa menjatuhkan sanksi terhadap setiap orang yang melakukan serangan internet milik pemerintah ataupun perusahaan AS.

Namun, Gedung Putih masih ragu dengan kewenangan baru itu sehingga mereka belum menggunakannya. Mereka juga masih mempertimbangkan penerapan perintah eksekutif dalam kasus ini. Juru Bicara Gedung Putih Josh Earnest mengatakan, perintah eksekutif merupakan kekuatan baru yang baru kali ini mereka pakai. ”Kewenangan baru dalam memberikan sanksi tersebut membuat pemerintah AS seolah mendapatkan alat baru dalam merespons insiden seperti ini,” kata Earnest.

”Gedung Putih tidak akan memberikan respons terhadap insiden ini. Namun, hal itu bukan berarti Gedung Putih tidak bersedia,” tambahnya. Selain China, Rusia juga menjadi salah satu negara yang membuat AS prihatin. Menurut Clapper, Rusia jauh lebih maju dan sulit dideteksi dalam perkara peretasan jika dibandingkan dengan China.

”Kemampuan orang Rusia menimbulkan ancaman besar terhadap AS,” ujar Clapper tanpa memberikan rincian lebih lanjut. Menurut Clapper, para peretas akan terus mencoba mencuri informasi dari pemerintah dan perusahaan AS sampai otoritas terkait mampu mencegah mereka. ”Kasus seperti ini tidak akan berhenti sampai kita bisa menciptakan pencegahan substansial. Ini merupakan tantangan bagi kita karena konsekuensinya tinggi,” tandas Clapper.

Menteri Pertahanan Ashton Carter dan Direktur Biro Keamanan Nasional (NSA) Michael Roger juga mengatakan bahwa AS harus membuat protokol yang jelas mengenai bagaimana cara merespons serangan internet. Ketika peretas melewati garis merah, mereka perlu dilacak dan dikenai sanksi sesuai hukum yang akan ditetapkan.

Muh shamil
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0080 seconds (0.1#10.140)