Seni Politik dan Reshuffle Kabinet
A
A
A
Kata reshuffle tentu membawa rasa tersendiri bagi para menteri di Kabinet Kerja. Masing-masing tak ada yang bisa memastikan sepenuhnya siapa saja yang akan kena reshuffle.
Selain masalah perimbangan kekuasaan dan konstelasi politik, tentu kebutuhan akan reshuffle datang dari kondisi riil bahwa banyak masalah yang tak tertangani dengan baik oleh beberapa menteri. Sayangnya, bukannya mengakui kekurangan, para menteri terus saja membuat alasan-alasan untuk merasionalisasi keterlambatan program dan buruknya kinerja.
Lihat saja para menteri yang terkait bidang ekonomi selalu saja mencantelkan alasannya pada permasalahan ekonomi global yang memburuk. Bidang perekonomian ini menjadi bidang yang paling buruk rapornya. Rupiah yang terjun bebas sampai ke level Rp13.000-an per USD serta kontraksi ekonomi yang di kuartal 1 hanya tumbuh 4,71% menjadi rangkumannya.
Di sektor riil harga bahan pokok yang tak terkendali menjadi menu sehari-hari rakyat. Namun para menteri di bidang ekonomi selalu punya jurus mujarab untuk menangkisnya: dunia sedang mengalami perlambatan ekonomi.
Kalau hanya selalu itu-itu saja alasannya untuk apa kita punya menteri-menteri dengan kaliber tinggi? Pemimpin yang baik adalah orang-orang yang bisa mengoptimalkan potensi yang ada dan tidak sibuk mengeluh dirinya gagal karena faktor eksternal.
Mereka pun harusnya tahu akan menghadapi berbagai masalah karena sejak dilantik pada Oktober 2014 masalah ekonomi memang sedang merundung antero bumi ini. Sementara para menteri di bidang nonekonomi selalu berlindung di balik tameng bahwa memajukan negeri ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Padahal jika progresnya baik dan terlihat tentunya apresiasi akan datang sendiri.
Negeri ini jelas butuh quickwins dari pemerintah dan itulah yang perlu di suguhkan. Bukannya hanya berbagai elakan yang akan di tolak oleh rakyat yang kian cerdas. Sekalipun butuh solusi cepat, rakyat tentu juga berharap pembangunan negeri ini berjalan di atas rel rencana jangka panjang.
Pembangunan tanpa konsep hanya akan membuat bangsa ini tersesat dan terus makin jauh di setiap persimpangan yang ada. Tentunya masalah reshuffle ini menjadi persoalan yang sangat berat bagi Presiden Jokowi. Semua orang mafhum bahwa Presiden Jokowi tidak langsung memegang kekuatan politik tertentu sebagai gerbong politik utamanya. Namun tentunya berpolitik itu bukan hanya bicara tataran legal formal, tetapi juga bicara seni berpolitik.
Presiden tentu sadar bahwa memang dalam negara demokrasi itu kekuatan politik tidak pernah terpusat. Robert Dahl dalam buku babonnya WhoGoverns: Democracy and Powerin American City State yang diterbitkan pada 1961 menjadi rujukan kaum pluralis menyatakan bahwa kekuasaan itu terdistribusi pada beberapa pusat kekuasaan. Misalnya ada pada Presiden sendiri, Wakil Presiden, DPR, partai pemerintah, partai oposisi, kapitalis pemilik modal, dan lain-lain. Bicara kekuasaan tentunya bicara seni berkuasa itu sendiri.
Di sini Presiden Jokowi bisa dan akan memainkan perannya layaknya seorang pecatur andal untuk mengamankan pemerintahannya, menguatkan sumber daya dan pendukungnya, serta mengeliminasi yang membahayakan pemerintahannya. Namun dalam menjalankan kekuatan politiknya itu Presiden Jokowi harus selalu ingat bahwa kesejahteraan rakyat harus menjadi yang utama.
Namun kita semua tahu PresidenJokowi punya kekuatan yang efektif dalam menjaga konstelasi politik di sekitarnya. Hak prerogatif adalah sumbernya. Presiden Jokowi bisa memilih pusat-pusat kekuasaan mana yang akan ditarik mendekat dan mana yang akan dibuat jarak.
Beberapa menteri mungkin saat ini merasa tenang-tenang saja karena merasa dekat dengan Presiden Jokowi atau lingkaran utama kekuasaan, sementara beberapa menteri lain merasa waswas karena makin jauh dari Presiden Jokowi dan lingkaran utama kekuasaan.
Namun semuanya tentu sangat paham bahwa keputusan ada di tangan Presiden Jokowi dan semuanya menunggu keputusan tersebut. Tentunya apa pun keputusan yang diambil Presiden Jokowi semoga didasarkan pada tujuan untuk Indonesia lebih baik.
Selain masalah perimbangan kekuasaan dan konstelasi politik, tentu kebutuhan akan reshuffle datang dari kondisi riil bahwa banyak masalah yang tak tertangani dengan baik oleh beberapa menteri. Sayangnya, bukannya mengakui kekurangan, para menteri terus saja membuat alasan-alasan untuk merasionalisasi keterlambatan program dan buruknya kinerja.
Lihat saja para menteri yang terkait bidang ekonomi selalu saja mencantelkan alasannya pada permasalahan ekonomi global yang memburuk. Bidang perekonomian ini menjadi bidang yang paling buruk rapornya. Rupiah yang terjun bebas sampai ke level Rp13.000-an per USD serta kontraksi ekonomi yang di kuartal 1 hanya tumbuh 4,71% menjadi rangkumannya.
Di sektor riil harga bahan pokok yang tak terkendali menjadi menu sehari-hari rakyat. Namun para menteri di bidang ekonomi selalu punya jurus mujarab untuk menangkisnya: dunia sedang mengalami perlambatan ekonomi.
Kalau hanya selalu itu-itu saja alasannya untuk apa kita punya menteri-menteri dengan kaliber tinggi? Pemimpin yang baik adalah orang-orang yang bisa mengoptimalkan potensi yang ada dan tidak sibuk mengeluh dirinya gagal karena faktor eksternal.
Mereka pun harusnya tahu akan menghadapi berbagai masalah karena sejak dilantik pada Oktober 2014 masalah ekonomi memang sedang merundung antero bumi ini. Sementara para menteri di bidang nonekonomi selalu berlindung di balik tameng bahwa memajukan negeri ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Padahal jika progresnya baik dan terlihat tentunya apresiasi akan datang sendiri.
Negeri ini jelas butuh quickwins dari pemerintah dan itulah yang perlu di suguhkan. Bukannya hanya berbagai elakan yang akan di tolak oleh rakyat yang kian cerdas. Sekalipun butuh solusi cepat, rakyat tentu juga berharap pembangunan negeri ini berjalan di atas rel rencana jangka panjang.
Pembangunan tanpa konsep hanya akan membuat bangsa ini tersesat dan terus makin jauh di setiap persimpangan yang ada. Tentunya masalah reshuffle ini menjadi persoalan yang sangat berat bagi Presiden Jokowi. Semua orang mafhum bahwa Presiden Jokowi tidak langsung memegang kekuatan politik tertentu sebagai gerbong politik utamanya. Namun tentunya berpolitik itu bukan hanya bicara tataran legal formal, tetapi juga bicara seni berpolitik.
Presiden tentu sadar bahwa memang dalam negara demokrasi itu kekuatan politik tidak pernah terpusat. Robert Dahl dalam buku babonnya WhoGoverns: Democracy and Powerin American City State yang diterbitkan pada 1961 menjadi rujukan kaum pluralis menyatakan bahwa kekuasaan itu terdistribusi pada beberapa pusat kekuasaan. Misalnya ada pada Presiden sendiri, Wakil Presiden, DPR, partai pemerintah, partai oposisi, kapitalis pemilik modal, dan lain-lain. Bicara kekuasaan tentunya bicara seni berkuasa itu sendiri.
Di sini Presiden Jokowi bisa dan akan memainkan perannya layaknya seorang pecatur andal untuk mengamankan pemerintahannya, menguatkan sumber daya dan pendukungnya, serta mengeliminasi yang membahayakan pemerintahannya. Namun dalam menjalankan kekuatan politiknya itu Presiden Jokowi harus selalu ingat bahwa kesejahteraan rakyat harus menjadi yang utama.
Namun kita semua tahu PresidenJokowi punya kekuatan yang efektif dalam menjaga konstelasi politik di sekitarnya. Hak prerogatif adalah sumbernya. Presiden Jokowi bisa memilih pusat-pusat kekuasaan mana yang akan ditarik mendekat dan mana yang akan dibuat jarak.
Beberapa menteri mungkin saat ini merasa tenang-tenang saja karena merasa dekat dengan Presiden Jokowi atau lingkaran utama kekuasaan, sementara beberapa menteri lain merasa waswas karena makin jauh dari Presiden Jokowi dan lingkaran utama kekuasaan.
Namun semuanya tentu sangat paham bahwa keputusan ada di tangan Presiden Jokowi dan semuanya menunggu keputusan tersebut. Tentunya apa pun keputusan yang diambil Presiden Jokowi semoga didasarkan pada tujuan untuk Indonesia lebih baik.
(ftr)