Politik Dinasti Tetap Harus Dibatasi

Senin, 22 Juni 2015 - 09:42 WIB
Politik Dinasti Tetap Harus Dibatasi
Politik Dinasti Tetap Harus Dibatasi
A A A
JAKARTA - Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus tegas menindaklanjuti politik dinasti sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Pasalnya, politik dinasti lebih banyak melahirkan kepala daerah yang tidak kompeten.

Direktur Eksekutif Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, mereka hanya mengandalkan kekuatan birokrasi, fasilitas dan anggaran yang telah disiapkan petahana.

”Tidak bisa dibandingkan politik kita dengan Amerika Serikat, termasuk dalam keterlibatan sebuah keluarga dalam politik. Banyak istri yang melanjutkan tampuk kepemimpinan suami di daerah, tapi tidak kompeten,” kata dia saat dihubungi KORAN SINDO kemarin. Dari data yang dimilikinya, kecenderungan politik dinasti mencapai 10–20% daerah di Indonesia. Praktik tersebut banyak muncul di Banten, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Yogyakarta.

Menurut dia, pemimpin yang lahir lantaran politik dinasti di daerah sejak awal sudah dititipi berbagai kepentingan. Bahkan, proyek-proyek di daerah hanya berada di lingkaran pemimpin tersebut. ”Misalnya di Banten bisa dilihat proyek- proyeknya hanya di sekitar pemimpin daerah,” kata Endi. Karena itu, dia sangat mendukung adanya aturan tegas keluarga petahana maju dalam pilkada sebagaimana telah diatur dalam UU Pilkada.

Dari sini, KPU bisa memperketat regulasi yang bisa mencegah lahirnya politik dinasti. Pengamat otonomi daerah dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Umbu Rauta mengatakan, politik dinasti yang saat ini dipraktikkan di beberapa daerah cenderung membagi penguasaan dan pengelolaan sumber daya hanya pada segelintir orang. Karena itu, hanya lingkaran dinasti yang akan meraup keuntungan, sedangkan masyarakat memiliki keterbatasan akses untuk mengelolanya.

Sementara itu, DPR menilai tafsir KPU terkait calon petahana yang dilarang ikut pemilihan kepala daerah dinilai tidak tepat. Akibatnya tafsir tersebut menjadi celah praktik-praktik politik dinasti tetap terulang. Anggota Komisi II Arif Wibowo mengatakan, sebagaimana yang telah diatur bahwa satu periode kepala daerah dijalani sekurang-kurangnya 2,5 tahun, seharusnya para kepala daerah yang mengundurkan diri sebelum penetapan calon dalam pilkada serentak tetap dihitung sebagai petahana.

”Harusnya tidak mencalonkan. Mereka menyiasati UU. Begitu 2,5 tahun itu masuk satu periode. Artinya masuk kategori petahana,” ujarnya kemarin. Seperti diketahui, Peraturan KPU (PKPU) No.9/2015 tentang Pencalonan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota Pasal 1 ayat 19 diatur terkait calon petahana. Pada ayat tersebut disebutkan petahana adalah gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang sedang menjabat.

Artinya ketika tidak menjabat lagi sebelum pencalonan pilkada, yang bersangkutan bukanlah petahana sehingga aturan pelarangan politik dinasti tidak berlaku. Mantan anggota Panja Pilkada mengaku memang selalu saja terjadi perbedaan tafsir antara pembuat UU dan pengguna UU. Karena itu, perlu dibuat sebuah forum konsultasi antara KPU dan Komisi II.

”Konsultasi agar DPR menjelaskan ke KPU terkait norma di UU. Kalau KPU tidak mendengarkan, ya tidak bisa apa-apa. Kecuali yudisial reviu PKPU itu,” ungka Arif. Politikus PDIP ini sudah menduga bahwa aturan ini akan disiasati. Padahal, tetap ada batasan tentang apa yang disebut dengan petahana. ”Batasan konkret 2,5 tahun dianggap petahana,” paparnya. Untuk menghindari penyiasatan para kepala daerah, Arif mengatakan tafsir harus dikembalikan sebagaimana mestinya. Kemudian, hal ini juga berkaitan dengan etika dari para calon kepala daerah.

”Terakhir adalah harus ada kontrol dari partai,” Kata mantan Wakil Ketua Komisi II ini. Dia menambahkan, menteri dalam negeri (mendagri) dapat menerbitkan kebijakan yang tegas terkait arti petahana, terutama aturan mengenai masa jabatan kepala daerah. Sementara itu, Mendagri Tjahjo Kumolo mengaku tidak bisa berbuat banyak terkait penyiasatankepaladaerahyangmundur sebelum tahapan pencalonan. Pasalnya, hal tersebut menjadi hak dari para kepala daerah.

”Sebagai mendagri dia mengajukan ke saya, kalau mengajukan tertulis untuk meminta mundur, saya tidak bisa menghalangi. Itu hak yang bersangkutan,” kata dia. Meski begitu, dia menegaskan kepala daerah yang mengundurkan diri sebelum masa jabatannya habis akan berpengaruh pada komitmennya. Seharusnya sebagaimana kontrak politik sampai satu periode masa jabatan.

”Nah, mundurnya itu alasannya apa. Kalau alasan pribadi yang bagaimana, mungkin sakit tidak bisa optimal itu apa boleh buat. Tapi kalau alasannya berkaitan dengan keluarganya, padahal itu ketentuan UU-nya jelas, itu yang sangat kami sayangkan,” ungkap dia. Dia mengatakan seharusnya kepala daerah menunggu keputusan di MK. Seperti diketahui, aturan mengenai larangan politik dinasti tengah digugat di MK. Dia mengaku baru memberikan persetujuan pengunduran atas Bupati Kutai Timur Isran Noor.

Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, untuk mengantisipasi adanya penyiasatan, KPU sebenarnya telah berkirim surat kepada Mendagri sebagai pemilik otoritas soal persetujuan pengunduran diri kepala daerah. Pihaknya meminta agar mendagri tidak memberikan persetujuan pengunduran diri sampai adanya penetapan calon kepala daerah.

”Maka kami dalam rangka menciptakan pilkada yang adil, agar orangnya tidak bersiasat, meminta surat pemberhentiannya itu agar diturunkan setelah penetapan pasangan calon. Kalau memang punya hubungan dengan petahana, kami akan cek. Kalau ternyata mengundurkan diri, kami akan minta surat pemberhentiannya,” imbuhnya.

Dita angga
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9238 seconds (0.1#10.140)